Liputan6.com, Jakarta Orang yang mengalami disabilitas, contohnya tunanetra tidak dari lahir (bukan bawaan) akan memiliki waktu penerimaan diri atau resiliensi yang berbeda-beda di setiap individu.
Peneliti dari Universitas Negeri Yogyakarta Intan Mutiara Mir’atannisa melakukan studi terkait resiliensi terhadap penyandang tunanetra yang mengalami disabilitas tersebut tidak sejak lahir.
Advertisement
Ia mengutip berbagai pendapat ahli di antaranya Poerwadarminta (Winda Aprilia, 2013: 271) yang mengemukakan, secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam bahasa inggris resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula.
“Jadi menurut pendapat tersebut resiliensi mempunyai arti suatu daya lentur yang digunakan untuk kembali dalam keadaan semula,” tulis Intan dalam penelitiannya, ditulis Senin (12/10/2020).
Ia juga mengutip pendapat Smet (Desmita, 2014: 199) yang mengungkapkan bahwa istilah resiliensi diperkenalkan oleh Redl pada 1969 dan digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respons seseorang terhadap stres dan keadaan yang merugikan lainnya.
“Dengan demikian menurut pendapat Smet resiliensi berarti suatu kemampuan yang digunakan untuk mendeskripsikan respons individu terhadap keadaan yang menekan dirinya dan yang kurang menguntungkan lainnya.”
Simak Video Berikut Ini:
Contoh Kasus
Intan melakukan wawancara terhadap penyandang tunanetra berinisial IM yang merupakan mahasiswa tunanetra tidak dari lahir di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (2014).
IM mengalami tunanetra sejak kelas dua SD pada tahun 2000. IM mengalami tunanetra dikarenakan demam tinggi hingga mencapai suhu 40 sampai 41 derajat. IM melakukan tes darah dan terdapat tiga virus di dalam tubuhnya yang terdiri dari virus tokso, CMV, dan rubella.
Dokter mengatakan ketika prosentase virus sudah nol persen maka IM bisa melihat kembali, tetapi setelah virus sudah hilang dan prosentase sudah nol persen IM masih belum bisa melihat.
Respons awal IM saat mengalami tunanetra yaitu merasa sedih karena sempat tidak bisa bersekolah, tidak dapat bermain sepeda, dan tidak bisa bermain selayaknya teman-teman sebayanya. Sebagai seseorang yang tadinya bisa melihat kemudian kehilangan penglihatannya menyebabkan IM sempat mengalami kaget dan tertekan selama enam bulan.
Walau demikian, kondisi tunanetra tidak memengaruhi prestasi IM. Dibuktikan dengan peraihan IPK hingga 3,52 serta juara II pada pekan olahraga tunanetra provinsi Jawa Tengah (2014), juara I LKTI di Universitas Negeri Padang (2015), dan Juara I catur pada peringatan hari disabilitas di UNS.
Selain itu, IM dikenal sebagai mahasiswa yang aktif dalam perkuliahan dan aktif berorganisasi terutama organisasi di luar kampus, ia juga bisa memainkan alat musik yaitu drum.
Advertisement
3 Faktor Pendukung
Dari kasus tersebut Intan meninjau ada berbagai faktor yang mendukung kemampuan resiliensi IM. Faktor tersebut adalah faktor I Have, di mana IM mendapatkan dukungan dan perhatian dari orang lain, mengikuti norma dan aturan yang ada, mempunyai sosok yang menjadi panutan, mempunyai dorongan untuk mandiri, serta diskriminasi dalam hal pendidikan tetapi tetap mendapatkan layanan kesehatan dan keamanan dengan baik.
Faktor lain yang memengaruhi kemampuan resiliensi IM adalah faktor I Am yang meliputi sifat yang menarik dan mempunyai perasaan disayangi orang lain, mampu mengungkapkan rasa sayang melalui perbuatan, peduli dengan orang lain, mampu mandiri dan bertanggung jawab, mempunyai harapan atau rencana hidup serta yakin mampu mewujudkannya.
Faktor ketiga adalah I Can yang meliputi kemampuan mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan dengan cara masing-masing, IM mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan mampu mencari bantuan yang dibutuhkan serta menjalin hubungan baik dengan orang lain.
Infografis Disabilitas
Advertisement