Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha Yan Hiksas mengkritisi pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR RI. Khususnya terkait ketentuan PKWT yang dinilai tidak mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) karena merugikan kaum pekerja/buruh.
"Jujur saya uu (Cipta Kerja) ini tidak happy. Karena tidak membangun budaya perusahaan good corporate governance. Sehingga akhirnya nanti yang ada industri akan proses jadi kuli rakyat kita terus menerus pak PKWT ini," ujar dia dalam webinar bertajuk Pekerja dan UU Cipta Kerja, Sabtu (10/10).
Advertisement
Hiksas mengatakan, dengan dihapuskannya ketentuan batas waktu PKWT maka berpeluang menurunkan loyalitas buruh terhadap perusahaan. Menyusul tidak adanya kepastian waktu kontrak kerja dalam UU Cipta Kerja.
"Tapi kalau kita kontrak besok pagi bisa kita pecat dalam uu ini. Jadi, kondisi seperti itu tidak membuat karyawan punya loyalitas loh pak. Karyawan tidak punya kesetiaan terhadap kita," terangnya.
Bahkan, dia menyebut, kehadiran UU kontroversial tersebut dapat memicu tindak korupsi oleh pekerja. Mengingat risiko tindak PHK kian terbuka lebar.
"Pasti dia korupsi, nih mumpung gue belum dipecat ya udah gue sikat aja perusahaan. Karena dia tidak ada kepastian besok berusaha," tegasnya.
Maka dari itu, Hiksas menilai Undang-Undang Cipta Kerja akan menghambat terwujudnya tata kelola perusahaan yang baik. Setelah pekerja selaku motor penggerak industri dihadapkan pada kondisi yang tidak menguntungkan.
"Nah budaya seperti itu (GCG) yang kita ingin bangun dri UU Cipta Kerja ini. Saya jujur saja pak, kalau melihat UU (Cipta Kerja) seperti ini loh akan sulit," tandasnya.
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
KSPI Nilai UU Cipta Kerja Permudah PHK Buruh
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memutuskan untuk membuat gugatan melalui jalur hukum dalam membatalkan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, ada sejumlah alasan mengapa kelompok buruh bakal memproses UU Cipta Kerja secara hukum. Salah satunya, aturan baru tersebut dianggap menguntungkan perusahaan dalam melakukan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya kapanpun secara sepihak.
"Omnibus law juga mempermudah PHK, sebagaimana terlihat dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i) yang mengatur: Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; dan (huruf i) pekerja/buruh mangkir," jelasnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/10/2020).
Padahal, Iqbal mengatakan, Mahkamah Konstitusi sebelumnya sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen.
"Dengan pasal ini (154A UU Cipta Kerja), bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar,"
Poin berikutnya yang ia soroti, aksi PHK bisa dilakukan dengan alasan buruh mangkir bekerja. Menurut dia, ketentuan tersebut sangat ambigu lantaran tidak dijelaskan mangkirnya berapa lama, sehingga bisa hanya 1 hari.
Iqbal menjelaskan, dalam UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah terjadi 5 hari berturut-turut dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis.
"Adapun permintaan buruh, semua hal yang mengatur mengenai PHK dikembalikan kepada UU Nomor 13 Tahun 2003," seru Iqbal.
Advertisement