Liputan6.com, Jakarta - Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) di Papua dinilai menerapkan taktik licik dan mengorbankan warga sipil dalam rangkaian kekerasan brutal yang mereka lancarkan.
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III TNI Kolonel Czi IGN Suriastawa mengatakan, rangkaian kekerasan gerombolan bersenjata ini semakin brutal dan gelap mata, tidak lagi memperhatikan siapa yang menjadi korban termasuk warga sipil.
Advertisement
"Hal ini sangat disesalkan karena ini berarti pelanggaran terhadap HAM dan nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat sipil adalah pihak yang perlu dilindungi semua pihak," kata dia dalam pernyataannya, di Jakarta, Sabtu (10/10/2020), seperti dikutip dari Antara.
Sama seperti serangan-serangan sebelumnya, serangan gerombolan bersenjata terjadi lagi. Kali ini terhadap Pos TNI, pada Sabtu (10/10/2020), di Kampung Koteka, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, yang diduga untuk memprovokasi personel-personel TNI agar membalas tembakan.
Namun ternyata, personel TNI bertindak profesional dengan cara tetap siaga dalam kedudukan pertahanannya dan terus mengintai arah datang tembakan. Personel TNI akan membalas tembakan secara terbidik bila anggota gerombolan bersenjata yang menyerang telah teridentifikasi secara pasti untuk menghindari jatuhnya korban warga sipil di sekitar tempat kejadian. Hal ini juga dilakukan personel TNI lain yang bertugas di setiap tempat di Papua.
Suriastawa menyampaikan, ada fenomena menarik dari taktik KKSB akhir-akhir ini dengan berusaha memprovokasi TNI-Polri di setiap tempat, waktu dan kesempatan dan menyerang di tengah-tengah keramaian warga sipil.
Ia menyatakan, KKSB itu berharap agar personel TNI-Polri membalas tembakan sehingga bila jatuh korban warga sipil akan menjadi bahan fitnah dan berita bohong dari mereka bahwa para korban dibunuh personel TNI.
"Sepertinya cara ini merupakan pesanan dari pendukung mereka di luar negeri yang selalu berbicara tentang pelanggaran HAM," kata Suriastawa.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Putarbalikkan fakta
Mereka, kata Suriastawa, memerlukan bahan untuk memojokkan pemerintah Indonesia di forum internasional padahal ternyata merekalah pelakunya. Sudah beberapa kali kesempatan terbukti bahwa kelompok bersenjata dan pendukungnya selalu memutarbalikkan fakta kejadian.
"Mereka tidak berkomentar bila korban yang terbukti mereka bunuh adalah warga sipil, baik orang asli Papua maupun pendatang. Ini bukti bahwa merekalah pelanggar HAM yang sebenarnya," ucap dia.
Menurut dia, hal ini sangat besar kemungkinan karena personel TNI bersikap profesional, tetap tenang, tidak membalas tembakan dari serangan-serangan mereka, kelompok separatis bersenjata itu sendirilah yang akan menembakkan dan berusaha membunuh warga sipil sebagai bahan fitnah kepada TNI-Polri.
"Semoga warga masyarakat dan dunia internasional bisa paham akan situasi ini dan tidak mudah percaya dengan fitnah dan berita bohong yang selalu dimainkan KKSB beserta kelompok pendukungnya di luar negeri," kata dia.
Dia mengatakan, setelah gagal mendapatkan perhatian dari Sidang Umum PBB pada 22-29 September 2020 lalu, kelompok separatis bersenjata di Papua semakin beringas dan membabi buta menyerang aparat negara dan warga sipil untuk menunjukan keberadaannya yang semakin diabaikan masyarakat.
Cara yang digunakan antara lain memprovokasi, meneror, mengorbankan masyarakat sipil kemudian memfitnah aparat TNI-Polri yang bertugas menjaga keamanan dan kedamaian di Papua.
Tujuannya adalah agar masyarakat setempat tertekan dan terpaksa mendukung mereka serta mendapatkan perhatian dunia.
Advertisement
Deretan Aksi KKSB
Serangan gerombolan bersenjata di Papua terhadap aparat negara dan warga sipil beberapa bulan terakhir semakin mengganas. Dimulai dari penembakan terhadap dua tenaga kesehatan penanganan Covid-19, yakni Almanek Bagau (luka tembak) dan Heniko Somau (tewas di tempat), pada Jumat, 22 Mei 2020, di Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya.
Sejak tanggal itu hingga kini, tercatat gerombolan bersenjata itu telah menewaskan paling tidak 11 orang, terdiri dari dua personel TNI AD dan sembilan warga sipil. Selain itu mereka juga telah melukai secara serius seorang tentara dan seorang warga sipil anggota TGPF Intan Jaya.
Kemudian penembakan terhadap petani bernama Yunus Sani (tewas) pada Jumat 29 Mei 2020 di Kampung Magataga, Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, penembakan warga bernama Laode Zainudin (luka tembak) pada Sabtu 15 Agustus 2020 di Kampung Bilogai, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.
Lebih lanjut, penembakan dua warga sipil berprofesi tukang ojek bernama Laode Anas (kemudian meninggal dunia) dan Fatur Rahman (luka tembak) pada Senin 14 September 2020 di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.
Kemudian pembunuhan warga sipil berprofesi tukang ojek bernama Badawi (tewas di tempat) dan penembakan anggota TNI bernama Sersan Kepala Sahlan (tewas di tempat) pada Kamis, 17 September 2020, di Kampung Hitadipa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.
Lalu penyerangan terhadap Markas Koramil Persiapan Hitadipa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya pada Sabtu, 19 September 2020, yang menewaskan anggota TNI AD bernama Prajurit Satu Dwi Akbar Utomo.
Berikutnya, penembakan Pendeta Yeremia Zanambani (kemudian meninggal dunia) pada Sabtu sore, 19 September 2020, Kampung Hitadipa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, yang diikuti penembakan polisi dan transportasi di sekitar Bandara Bilorai, Distrik Sugapa, Jumat, 18 September, dan Jumat, 25 September 2020.
Penembakan ke arah Kodim Persiapan Kabupaten Intan Jaya pada Senin 5 Oktober 2020, penembakan pos TNI di Pasar Baru Kenyam Kabupaten Nduga 6 Oktober 2020 yang menewaskan warga sipil bernama Yulius Wetipo.
Penyerangan terhadap rombongan TGPF di tanjakan Wabogopone, Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, pada 9 Oktober 2020, yang mengakibatkan anggota tim TGPF Intan Jaya, Bambang Purwoko (dosen FISIPOL UGM), dan anggota tim pengamanan bernama Sersan Satu Faisal Akbar terluka tembak.
Paling akhir adalah Sabtu pagi, 10 Oktober 2020, gerombolan bersenjaya itu menyerang Pos TNI di Kampung Koteka, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga.