Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melaksanakan survei terkait dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan work from home (WFH) terhadap dampak sampah plastik di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Survei yang dilaksanakan secara online pada 20 April-5 Mei 2020 tersebut hasilnya menunjukkan bahwa belanja online cenderung meningkat, yaitu dari satu hingga lima kali menjadi satu hingga 10 kali per bulan.
Makanan dan disinfektan adalah produk favorit dalam berbelanja online. Namun, 96 persen dari paket yang diterima dibungkus dengan bahan plastik, terutama selotip, bungkus plastik dan bubble wrap.
Baca Juga
Advertisement
"Sampai sekarang orang masih ramai belanja online. Ya, memang terjadi peningkatan transaksi selama pandemi," ujar Heryanto, pengelola toko online Thaisocco Mall Indonesia, saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Toko online yang berlokasi Karangmulya, Karang Tengah, Tangerang menjual berbagai kebutuhan konsumen, mulai dari makanan untuk kesehatan, kosmetik, kompor, perlengkapan taman, hingga tanaman hias. "Pemesanan makanan dan tanaman hias sangat ramai dari berbagai daerah di Indonesia, seperti aglaonema dan adenium, sedangkan makanan untuk kesehatan, seperti susu," jelas lelaki yang biasa disapa Heri itu.
Heri tak membantah bahwa pengiriman paket kepada konsumen pihaknya menggunakan selotip, lakban, kantong plastik, bubble wrap, dan juga kardus. Semua itu ia gunakan agar barang-barang yang diterima konsumen tetap dalam kondisi baik.
"Barang-barang jadi nggak rusak atau pecah. Kalau barang yang dikirim rusak, saya harus bertanggung jawab. Jadi, saya harus hati-hati," kata Heri.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Sulit Dihindari
Heryanto menambahkan, ia tak bisa menghindari penggunaan bubble wrap saat ini. Selain praktis, bahan tersebut juga terbilang relatif murah.
"Hampir semua saya menggunakan bubble untuk packing. Saya menambahkan itu sebagai bagian dari servis kepada konsumen agar barang yang diterima nggak rusak," kata Heri.
Soal penggunaan bubble wrap, Heri mengaku tak sendiri. Ia menilai banyak pengiriman-pengiriman barang yang dilapisi dengan bubble wrap.
"Nggak hanya saya yang menggunakan bubble. Banyak orang yang menggunakan barang itu agar aman. Saya pernah di-complain konsumen soal itu, makanya demi kepuasan konsumen, saya pakai bubble juga," imbuh Heri.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Yani, seorang konsumen yang sering berbelanja lewat online. Penggunaan bubble wrap lebih aman karena bisa menghindari barang elektronik atau pecah belah agar tidak rusak.
"Ya, barang pesanan saya akan lebih aman. Sebelum pengiriman, saya juga meminta agar barang pesanan saya agar dibungkus dengan bubble, seperti handphone atau kosmetik," kata Yani, warga Karang Tengah, Tangerang.
Advertisement
Daur Ulang
Heri menyadari penggunaan plastik dan juga bubble warp, kurang bagus untuk alam karena sulit terurai. Namun, ia tak banyak pilihan lain.
"Paling saya menggunakan kardus. Itu pun nggak banyak ya, karena kalau pakai kardus itu cukup mahal. Biaya untuk satu kardus itu harganya Rp3.500, nah kalau mau pesan harus 5.000 kardus. Nggak bisa sedikit. Tapi saya sudah mempertimbangkan untuk menggunakan kardus ke depannya," kata Heri.
Berbeda dengan Heri, Bank Sampah Malang (BSM) mendaur ulang sampah plastik, termasuk bubble wrap menjadi barang-barang yang layak pakai. Hal itu diungkapkan Isa Trio Zulmi, administrator BSM.
"Kami mendaur ulang sampah-sampah plastik menjadi barang yang layak pakai, seperti dijadikan tas, dari plastik snack, dan sandal serta tas dari bahan plastik yang lain," ujar Isa saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Isa menjelaskan, selain didaur ulang menjadi barang-barang yang layak pakai, sebagian sampah plastik yang lain juga dijual ke lapak-lapak. Hal itu dilakukan agar sampah plastik yang ada tak semua menumpuk di BSM.
Kata Isa, saat ini BSM lebih banyak menerima sampah anorganik, seperti botol, kertas, plastik, dan logam. Selain itu, pihaknya juga menerima sampah dari rumah tangga, seperti kardus, plastik, botol minuman, kertas. "Itu yang lebih sering kami terima," katanya.
Selama pandemi, Isa mengungkapkan BSM lebih banyak menerima sampah berbagai jenis plastik dan kertas seperti kardus, majalah, kertas semen, dan HVS. "Sementara kalau plastik itu, seperti bungkus paket, plastik mi instan, botol, dan lain-lain," kata Isa. "Tapi selama pandemi terjadi penurunan sampah sekitar 50 persen dibanding sebelum pandemi," imbuhnya.