Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban memeprtanyakan komponen perhitungan upah minimum dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Pemerintah mengatakan bahwa pengaturan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK) mengacu kepada Undang-Undang 13 Tahun 2003 dan PP 78 Tahun 2015. Dalam aturan itu disebutkan bahwa perhitungan upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Advertisement
Namun Elly, hal itu kini diubah dalam UU Cipta Kerja. “Upah minimum yang ada sekarang ini didasarkan atas pertumbuhan ekonomi atau inflasi, jadi “atau”, dulu pakai kata “dan” yang baru ini “atau” berarti yang lebih rendah pun bisa jadi dipilih dan tidak akan ada sanksi karena sudah ada di UU Cipta Kerja,” ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (11/10/2020).
Menurut Elly, para pengusaha bisa menentukan upah sesuai keinginannya yang disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Jika pertumbuhan ekonomi rendah, otomatis Pengusaha akan mengupah pekerja/buruh rendah, begitupun sebaliknya.
“Pengusaha bisa menentukan suka-suka dia, mereka bisa menentukan dari inflasi atau pertumbuhan ekonomi tergantung mereka, kalua mereka punya pri kemanusiaan tinggi, ya saya kira pengusaha tidak akan mau pilih yang tertinggi,” katanya.
Oleh karena itu, ia meminta kepada Presiden untuk mengeluarkan Perpu dan mengatur sedemikian rupa agar substansi yang disuarakan pekerja atau buruh bisa diganti dan disesuaikan dengan keinginan para buruh.
“Sebenarnya harus jeli diperhatikan dalam buruh-buruh, di kalimat-kalimat itulah yang bikin bahaya. Harusnya pemerintah mengatur sedemikian rupa, kan kami sebagai tim meminta untuk merubah dari substansi yang sudah diserahkan (UU Cipta Kerja) Pemerintah kepada DPR,” pungkasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Cegah Polemik, Pemerintah Diminta Segera Keluarkan Draft Final UU Cipta Kerja
Sebelumnya, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengaku bingung atas pernyataan pemerintah terkait maraknya hoaks atas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Menyusul pemerintah masih enggan menyampaikan draf final UU anyar kepada publik.
"Kalau hoax, mana draf finalnya. Tolong sesegera mungkin disampaikan secara resmi, mana draf final yang resmi disampaikan oleh DPR," ujar Enny dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (10/10/2020).
Untuk itu, dia menilai seharusnya saat ini pemerintah dapat segera menyampaikan draf Undang-Undang Cipta Kerja kepada masyarakat luas. Imbasnya dapat menciptakan keterbukaan informasi publik sekaligus memperkuat pernyataan pemerintah terkait adanya hoaks.
"Ini harus dibuka. Supaya yang kita perdebatkan sesuatu yg konstruktif. Bukan hanya masyarakat menganggap itu pencitraan atau masyarakat yang dianggap anarki dan ada agenda politik," terangnya.
Lebih jauh, dia juga mengkritisi transparansi oleh DPR RI ataupun pemerintah selama proses penyusunan, pembahasan, sampai pengesahan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Lalu, klaim atas pelibatan semua pihak terkait juga dianggap hanya untuk pencitraan semata.
"Jadi, paradoks adalah kalau tujuannya semulia itu, mengapa pembahasannya seolah sembunyi-sembunyi. Kesannya kayak gerabak-gerubuk," tandasnya.
Advertisement