Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan lockdown sebagai solusi utama pengendalian COVID-19 karena dapat memicu kemiskinan yang tinggi. Dikhawatirkan, orang yang miskin akan semakin miskin.
Menurut Utusan Khusus (Special Envoy) dari pemimpin WHO, David Nabarro, lockdown berdampak terhadap masyarakat dengan kondisi ekonomi rentan. Masyarakat pun bisa semakin miskin.
Advertisement
Senior Research Fellow The SMERU Research Institute Asep Suryahadi menduga, alasan WHO menekankan agar lockdown tidak dijadikan solusi utama untuk mengatasi pandemi COVID karena telah melihat dampaknya terhadap masyarakat.
"Kemungkinan karena mereka melihat bahwa lockdown yang berkepanjangan berdampak buruk terhadap orang miskin," kata Asep kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin (12/10/2020).
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Kemiskinan dan PSBB
Lain halnya dengan negara-negara di dunia, Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per 12 Oktober 2020, sejumlah daerah memberlakukan PSBB.
Sebut saja DKI Jakarta, yang kini memasuki masa PSBB Transisi pada 12-25 Oktober 2020. Lalu ada Banten dengan PSBB dari 21 September-20 Oktober 2020.
Lantas apakah PSBB yang diterapkan di Indonesia dapat 'mengendalikan' kemiskinan? Asep menjelaskan, dampak PSBB pun dialami masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.
"Indonesia sejak awal menghindari lockdown dan memilih PSBB. Karena memang sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor informal, sehingga mereka akan sangat kesulitan memperoleh penghidupan kalau diterapkan lockdown secara penuh."
"Walaupun demikian, PSBB tetap berdampak negatif terhadap penduduk kelompok bawah. Seperti terlihat dengan meningkatnya angka kemiskinan. Tetapi, kalau Indonesia memilih lockdown, kemungkinan kenaikan angka kemiskinannya akan semakin besar," imbuhnya.
Advertisement
Perlu Dibangun Sistem Pendataan
Untuk membantu ekonomi masyarakat terdampak COVID-19, khususnya penduduk miskin, Pemerintah menggelontorkan bantuan sosial. Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), dan lainnya dibantu Pemerintah.
Menurut Asep, pemberian bantuan sosial itu masih terdapat beberapa kendala. Perlu upaya agar bantuan sosial menyasar ke target yang tepat.
"Berbagai program bansos yang dibuat Pemerintah memang ditujukan bagi penduduk miskin dan yang terdampak COVID-19. Kendala utamanya ada dua," ujarnya.
"Pertama, database penduduk miskin dan rentan yang dimiliki pemerintah sistem updatingnya kurang berjalan baik, tergantung pada keaktifan Pemda dalam melakukan updating. Kedua, terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi penduduk miskin baru yang muncul karena terdampak oleh COVID-19.
Asep menambahkan, sistem pendataan perlu dibangun dengan lebih akurat.
"Dari kendala di atas, ini menunjukkan, perlunya dibangun sistem pendataan untuk penargetan bansos yang lebih akurat juga dinamis, sehingga bisa menangkap perubahan yang terjadi di masyarakat dengan relatif cepat," tambahnya.
Kemiskinan di Jakarta
Kemiskinan selama pandemi COVID-19, salah satu contoh di Ibu Kota Jakarta juga meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat 1,11 persen.
"Di DKI Jakarta sendiri, angka kemiskinan naik sekitar 1,11 persen di tengah pandmemi COVID-19, semula 3,42 persen pada September 2019, menjadi 4,53 persen pada Maret 2020," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria dalam diskusi virtual, Jumat (2/10/2020).
Adanya peningkatan jumlah kemiskinan warga Jakarta, cakupan atau data penerima bantuan sosial yang akan diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga bertambah.
"Saat ini, data penerima bantuan sosial di Jakarta sebanyak 2,46 juta kepala keluarga. Sumber distribusi bantuan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan sejumlah stimulus fiskal," lanjut Riza.
Agar bantuan sosial tepat sasaran, Riza mengatakan, pihaknya terus menerus melakukan pembaruan data terpadu kesejahteraan sosial.
"Kami pun menyadari, demi efektivitas penyaluran program Bansos itu diperlukan manajemen, terutama pendataan yang baik. Salah satunya dengan memperbaharui data terpadu kesejahteraan sosial atau DTKS melalui variabel khas daerah daftar negatif atau kriteria warga yang tidak layak daftar," jelasnya.
Advertisement