Liputan6.com, Bandung - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menerbitkan analisa soal banjir bandang yang menerjang kawasan Garut Selatan, Jawa Barat dipicu curah hujan tinggi. Akibat kejadian itu seratusan warga menjadi pengungsi, bangunan serta fasilitas umum rusak.
Menurut Forecaster on Duty (FOD) Stasiun Klimatologi Bogor Irlando Kusumo, berdasarkan kondisi musim pada bulan Oktober dan beberapa zona musim di sebagian Jawa Barat sudah memasuki musim hujan. Diantaranya kata Irlando, Kabupaten Garut dan KabupatenTasikmalaya.
Baca Juga
Advertisement
"Potensi hujan yang terjadi karena faktor awal musim hujan disertai peningkatan akumulasi hujan akibat fenomena La Nina, berpotensi menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologis seperti banjir dan tanah longsor," ujar Irlando dalam keterangan resminya ditulis Bandung, Senin, 12 Oktober 2020.
Irlando menambahkan kondisi lain yang mendukung bencana banjir bandang di Garut yaitu oleh faktor lokal, labilitas udara atmosfer dan kelembaban udara yang masih basah sehingga menyebabkan terbentuknya awan konvektif dengan jenis Cumulonimbus yang berpotensi terhadap cuaca ekstrem. Seperti hujan lebat yang dapat disertai kilat dan petir dan angin kencang pada siang dan sore hingga malam serta dini hari.
Irlando menambahkan berdasarkan data curah hujan di sekitar lokasi kejadian, telah terjadi hujan yang cukup merata dengan intensitas lebat. Akumulasi curah hujan yang cukup tinggi berpotensi menyebabkan meluapnya sungai dan genangan di beberapa wilayah dataran rendah.
"Berdasarkan pola sebaran angin pada ketinggian 3.000 feet wilayah Jawa Barat, dilewati oleh daerah belokan dan perlambatan angin sehingga mendukung suplai awan-awan hujan di wilayah Jawa Barat," kata Irlando.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Hujan Ekstrem di 15 Pos Pemantau
Irlando mengungkapkan turunnya hujan ringan sampai dengan ekstrem, terdeteksi oleh 15 pos pemantau hujan otoritasnya. Ke 15 pos itu adalah Pos Hujan Cisompet, Cisaruni - Cikajang, Cisurupan, Singajaya, ARG Cisompet, Tarogong Kaler, Bayongbong, Bungbulang, Cibalong, Sodong Hilir, Karang Nunggal, Salopa, Cayur, Taraju dan Wangumwati Karang.
Data analisis meteorologi menunjukan berdasarkan model kelembaban udara tanggal 12 Oktober 2020 pukul 12.00 UTC, secara umum wilayah Garut menunjukkan kelembaban udara pada lapisan 850 – 500 mb masih basah atau setara 70- 90 persen. Sedangkan berdasarkan citra satelit himawari tanggal 12 Oktober 2020 pukul 19.40 WIB, terpantau sel awan konvektif yang tumbuh di wilayahGarut dan Tasikmalaya Selatan.
"Kemudian mulai pukul 20.00 WIB awan tersebut semakin tumbuh signifikan dan bergerak meluas di seluruh wilayah Garut dan Tasikmalaya. Pada pukul 01.00 WIB dini hari sel awan konvektif kembali tumbuh di wilayah Garut dan Tasikmalaya hingga pukul 06.00 WIB," tutur Irlando.
Jika dilihat dari anomali cuaca di Indonesia, Irlando menuturkan terdapat potensi penguapan atau penambahan massa uap air di Laut Andaman, Samudera Hindia Barat Sumatera, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Bali, Samudera Hindia Selatan Jawa - NTB.
Kondisi cuaca ekstrem kali ini dipengaruhi aktivitas Madden Julian Oscalliation (MJO) pada fase basah yang diprediksi cukup signifikan dalam periode satu pekan ke depan, berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dan diamati atas rentang waktu tertentu (grafik time series IR2) di lokasi kejadian tuirnnya hujan berakibat banjir bandang di kawasan Garut Selatan, Irlando menjelaskan terjadi penurunan suhu puncak awan kurang dari minus -60 derajat Celsius mulai terjadi pada pukul 01.56 - 06.36 WIB.
"Dengan suhu puncak awan terendah sebesar -72.8 derajat Celsius pada pukul 04.36 WIB yang menandakan terjadinya peningkatan proses konvektif signifikan dengan potensi hujan intensitas sedang hingga lebat pada periode tersebut," sebut Irlando.
Advertisement