Liputan6.com, Jakarta - Di tengah pandemi covid-19 yang belum pasti kapan berakhir, tentunya menimbulkan banyak kekhawatiran bagi setiap orang, baik yang ingin berusaha hingga berinvestasi. Lalu bagaimana caranya investasiyang tepat di masa ketidakpastian ini?
Chairman and President Asosiasi Perencana Keuangan IARFC Aidil Akbar, mengatakan untuk kelas menengah yang berpenghasilan sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) bisa mulai berinvestasi setelah memiliki dana darurat sebelumnya.
Advertisement
“Kita ambil patokan dari upah minimum provinsi kita anggap orang yang pendapatannya UMP kita anggap masuk kelas menengah. Kalau saya menggunakan rumusan yang lebih sedikit konservatif kawasan Asia itu adalah 40 30 20 10,” kata Aidil dalam diskusi Forum Merdeka Barat (FMB 9) bertajuk "Investasi di Masa Pandemi", Selasa (13/10/2020).
Di mana 40 persen untuk menunjang biaya hidup termasuk transportasi, biaya sekolah anak dan sebagainya, 30 persen dipakai untuk biaya cicilan rumah atau kendaraan yang juga bagian dari investasi.
Kemudian 20 persen bisa digunakan untuk investasi, lalu 10 persen untuk tujuan sosial termasuk zakat, infaq, shodaqoh, dan untuk membantu saudara atau orang lain.
“Jadi sebenarnya ada kurang lebih 20 persen dana yang bisa diinvestasikan. Nah 20 persen inilah yang kita posting ke dalam produk investasi. Namun yang paling penting dana darurat atau emergency fund yang harus dimiliki untuk mereka yang tidak punya tanggungan sekurang-kurangnya adalah 3 bulan dari pengeluaran bulanan,” ujarnya.
Missal, jika pengeluaran Anda Rp 5 juta maka Anda harus punya dana darurat sekitar Rp 15 juta selama 3 bulan. Namun, jika Anda lebih mengkhawatirkan Kesehatan Anda bisa menaikkan dana darurat menjadi Rp 20-25 juta.
“Diatas Rp 20-25 juta dana tersebut bisa diinvestasikan, sudah boleh. Jadi yang paling penting kita amankan dulu dana taktis atau emergency fund, saat ini mereka saking takutnya dana darurat mereka terlalu banyak sekitar Rp 20-50 juta bahkan bisa nyampe ratusan juta yang ada di bank,” ujarnya.
Sementara bank belum bisa menyalurkan kredit secara maksimal, sehingga bank harus bayar bunga yang tinggi tapi mereka belum bisa menyalurkan. Maka bagi yang belum memiliki tanggungan disarankan untuk menyisihkan dana darurat dari 3 bulan sebelumnya.
“Kalau sudah punya tanggungan bisa sampai dengan 6-9 bulan dan punya tanggungan lebih dari 2-3 orang ke atas ya tanggungannya, maka mereka bisa mencadangkan selama 9-12 bulan, dengan kata lain kalau seorang keluarga dengan biaya hidup Rp 10 juta, maka dia harus punya sekurang-kurangnya Rp 120 juta dana darurat,” ujarnya.
Maka dana di atas Rp 120 juta itu boleh diinvestasikan, dengan kata lain jika terjadi apa-apa misalnya sampai ada PHK atau pengurangan penghasilan. Anda masih bisa survive paling tidak sampai 6 sampai 12 bulan ke depan hingga vaksin mulai bisa diakses.
“Dengan adanya vaksin, kuartal pertama tahun depan akan membaik, orang yang investasi sekarang yang lagi murah mereka akan mendapatkan untung nanti ketika pertumbuhan ekonomi sudah reborn lagi,” pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dongkrak Ekonomi, Lebih Penting Konsumsi atau Investasi?
Pemerintah terus berupaya menggenjot realisasi investasi untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Salah satunya melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai bahwa pelemahan ekonomi nasional lebih diakibatkan oleh lesuhnya faktor konsumsi akibat turunnya permintaan. Sehingga dia menilai mendorong pemulihan tingkat konsumsi jauh lebih penting ketimbang investasi.
"Saya mencoba melihat mana dulu konsumsi dulu atau investasi dulu. Kalau invesment yang di dorong makan konsumsi akan naik. Tetapi kalau konsumsi di dorong invesment naik lebih powerful. Jadi, konsumsinya yang di dorong," ujar dia dalam acara Bincang APBN 2021 bertajuk Percepat Pemulihan, Perkuat Reformasi Ekonomi, Selasa (13/10/2020).
Menurut mantan Menteri Keuangan Era SBY tersebut, saat ini sebaiknya pemerintah lebih fokus terlebih dulu untuk mengembalikan tingkat konsumsi masyarakat. Sehingga akan berdampak baik untuk peningkatan aktivitas produksi.
Sebaliknya, dia menilai jika pemerintah terlalu ambisius untuk mendatangkan investasi dalam negeri namun tingkat konsumsi masih rendah. Maka dikhawatirkan durasi proses pemulihan ekonomi justru bertambah lama atau tidak seperti yang diinginkan pemerintah.
"Misalnya, saya produksi kemudian akan cuman jadi stok. Sementara stok itu cost. Jadi saya ngga mau nambah produksi kalau permintaannya ngga ada," jelas dia.
Advertisement
Revisi Target Investasi
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak menutup kemungkinan akan ada revisi target realisasi investasi di 2021. Di mana target dipatok BKPM di tahun depan sendiri nilainya mencapai Rp886 triliun.
"Target realisasi investasi 2021, Rp886 triliun, namun kami akan melakukan pembahasan kajian dengan melihat animo calon investasi kalau tambah baik maka bisa kemungkinan kita tingkatkan," kata Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia di Jakarta, seperti ditulis Jumat (9/10).
Menurutnya, Pemerintah memang berharap lebih banyak investasi masuk demi menciptakan lapangan kerja. Bukan hanya investasi yang berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA) tetapi juga Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
"Bagi kami, semakin banyak realisasi investasi PMA dan PMDN semakin baik, untuk bagaimana menciptakan lapangan kerja. Semakin banyak investasi masuk, maka semakin banyak penciptaan lapangan kerja," jelas dia.