Sederet Temuan KPAI soal Ada Keterlibatan Anak dalam Demo Tolak RUU Cipta Kerja

Menurut KPAI, salah satu alasan anak ikut demo karena banyak dari mereka yang kurang perlindungan keluarga.

oleh Maria Flora diperbarui 14 Okt 2020, 16:12 WIB
Sejumlah pengunjuk rasa melemparkan batu di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selas (13/10/2020). Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law akhirnya dibubarkan dengan tembakan gas air mata. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan adanya anak-anak yang ikut dalam demo tolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).

Untuk mengungkap kebenaran tersebut, Komisioner KPAI Jasra Putra bahkan turun langsung ke lapangan dan berhasil mewawancarai sejumlah anak. Jasra Putra menyebut, ada pelajar yang ikut aksi demo RUU Cipta Kerja karena hanya untuk mengusir kebosanan.

"Saya menghampiri anak perempuan, ia mengaku sekolah di SMK Jatinegara. Ia datang ke lokasi diajak teman-temannya dan ia mengaku mulai bosan pembelajaran jarak jauh (PJJ)," kata Jasra kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020.

KPAI juga menemukan ada sejumlah anak yang telah diberi uang untuk ikut aksi demo tolak RUU Cipta Kerja.

Namun, Jasra tidak mengetahui apakah para pelajar yang rata-rata masih duduk di bangku SMP dan SMK itu memang dimobilisasi pihak tertentu atau tidak.

Berikut sederet fakta-fakta keterlibatan anak dalam aksi demo tolak RUU Cipta Kerja, pada Selasa 13 Oktober 2020: 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Diberi Uang Jajan Sebesar Rp 5 Ribu

Seorang anak mendapat perawatan setelah terkena gas air mata dalam demonstrasi di belakang Gedung DPR, Palmerah, Jakarta, Rabu (25/9/2019). Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan pelajar yang berdemonstrasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengungkapkan dalam aksi itu, dia memantau langsung keterlibatan anak-anak dalam aksi.

Dalam kesempatan tersebut, Jasra mengaku mendapati anak yang tengah memegang selembar uang dengan nominal Rp 5 ribu.

"Jadi saya melakukan pengawasan, saya enggak ikut demonya. Kebetulan ada anak memegang duit lima ribuan bersih, baru. Saya candain 'wah duitnya bagus banget ini,' dia lagi beli es. Dia spontan bilang, 'iya ini abis diberi abang-abang lima ribuan'," jelas Jasra Putra kepada Liputan6.com, Rabu (14/10/2020).

Jasra menuturkan, lantaran anak-anak merasa curiga dengan dirinya, mereka pun langsung segera pergi. Alhasil dirinya tak bisa lebih jauh mendalami soal uang tersebut.

"Saya enggak mendalami abang-abang yang mana. Setelah mereka pesan es teh, lalu mereka menjauh dari saya," kata dia.


Diduga Ada yang Mengoordinasi

Sejumlah pengunjuk rasa melemparkan batu di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selas (13/10/2020). Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law akhirnya dibubarkan dengan tembakan gas air mata. (merdeka.com/Arie Basuki)

Menurut keterangan anak-anak lain yang ia temui juga di lokasi demo, ada sejumlah anak yang memang datang ke demo atas kehendak sendiri dan ada juga yang memfasilitasi.

"Untuk yang difasilitasi, katanya ada yang mengordinir, saya nggak dalami siapa yang mengordinir karena kan antara mereka saling menutupi," papar Jasra Putra.

Atas fakta banyaknya anak yang dilibatkan dalam aksi unjuk rasa, Jasra mengatakan, KPAI akan mengundang sejumlah pihak guna mendiskusikan hal tersebut. 

"Kami akan rapat koordinasi ya, semua kementerian lembaga itu. Termasuk Mabes, Kemendikbud, Kemenag ya, kemudian Kementerian Kesehatan terkait protokol kesehatan ini gimana anak-anak kita gitu ya," ujar Jasra Putra.


Bosan

Sejumlah pengunjuk rasa melemparkan batu di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selas (13/10/2020). Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law akhirnya dibubarkan dengan tembakan gas air mata. (merdeka.com/Arie Basuki)

Berdasar penelusurannya, Jasra menyebut para pelajar yang ikut demo berujung rusuh di Jakarta, Selasa kemarin, salah satunya karena bosan tidak sekolah tatap muka.

"Saya menghampiri anak perempuan, ia mengaku sekolah di SMK Jatinegara. Ia datang ke lokasi diajak teman-temannya dan ia mengaku mulai bosan pembelajaran jarak jauh (PJJ)," kata Jasra kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/10/2020).

Ia mengatakan, latar belakang anak ikut demo banyak dari mereka yang kurang perlindungan keluarga, seperti karena putus sekolah, orangtua jarang pulang karena tempat kerja yang jauh dan PJJ yang belakangan cenderung hanya aktivitas pengajaran penugasan pekerjaan rumah.

Jasra mencontohkan salah satu peserta demo adalah siswa SMP dari Tangerang yang datang ke Jakarta Pusat dengan naik kereta. Si anak ikut demo setelah diajak temannya di media sosial dan kondisi di rumah yang tidak nyaman.

Dari pengamatan Jasra di lapangan, situasi anak dalam demo nampak bergerombol dan tidak memperhatikan orasi yang disampaikan dari mobil komando. Dengan kata lain, kedatangan mereka cenderung acuh dengan aksi utama. Jika terjadi provokasi mereka rentan terjebak dalam kerusuhan, bahkan terlibat.


Panggil Sejumlah Orang

Petugas Brimob Polri menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa usai terjadi lemparan batu di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selas (13/10/2020). Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law akhirnya dibubarkan aparat. (merdeka.com/Arie Basuki)

Setelah melihat banyak anak yang ikut terlibat dalam demo RUU Cipta Kerja, pihaknya akan mengundang semua pihak.

"Untuk itu KPAI akan segera melaksanakan sidang pleno dengan memanggil lintas kementerian dan lembaga, OKP pelajar berbasis agama, ormas dan Forum Anak Nasional dalam urun rembug situasi yang melibatkan anak-anak ini," ucap Jasra.

Jasra menjelaskan, anak-anak merupakan kelompok rentan yang mudah untuk terprovokasi mengikuti suatu unjuk rasa. Terlebih lagi, anak-anak dalam memahami sesuatu tak sekuat orang dewasa yang cenderung mengambil sikap yang logis.

"Karena mereka tidak sekuat orang dewasa dan muda terpengaruh. Bayangkan saja pengamanan kepolisian lebih banyak anak-anak dibanding orang dewasanya. Padahal, kita tahu anak-anak hadir di aksi dan terus menjadi hal yang semakin buruk dari dampak ajakan orang dewasa," ucap dia.

Sejumlah faktor lain juga membuat anak-anak menjadi kelompok rentan dalam menerima propaganda sebuah aksi massa.

Menurut Jasra, anak-anak merasa khawatir akan berlakunya sebuah aturan, dalam konteks ini UU Cipta Kerja bagi keberlangsungan keluarga mereka.

"Informasi yang diterima anak-anak, mereka khawatir aturan ini mengancam pada mereka dan orang tua. Dengan informasi yang sangat terbatas diterimanya. Namun, karena ramai di akun dan medsos mereka, menyebabkan mereka sampai di sini (ikut aksi)," ungkap dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya