Surat Terbuka Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin untuk Menkes Terawan

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin menuliskan surat terbuka untuk Menkes Terawan

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 14 Okt 2020, 15:30 WIB
Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto membahas Travel Corridor Arrangement (TCA) bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly secara virtual, Kamis (1/10/2020). (Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta Kehadiran Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto di tengah perang melawan COVID-19 dinantikan publik Tanah Air. Sederet pertanyaan seperti, "Pak Menkes ke mana ya?, Kenapa Menkes tak juga muncul?, Apa kabarnya Pak Menkes?" menjadi perbincangan warganet.

Dalam menghadapi COVID-19, publik melihat kehadiran Menkes Terawan, dalam hal ini Kementerian Kesehatan bak 'komandan perang.' Seorang komandan yang seharusnya mampu memimpin dengan tegas penanganan COVID-19 di lapangan.

Apalagi permasalahan COVID-19 di Indonesia membutuhkan perhatian serius. Tidak hanya persoalan angka kasus positif dan meninggal, tetapi juga ketimpangan data yang terjadi antara pemerintah daerah dan pusat.

Perjuangan tenaga kesehatan dan medis yang gugur akibat terpapar COVID-19 hingga kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit, seperti tempat tidur, ruang isolasi, dan ICU yang terus dipantau. Upaya 3T (testing, tracing, treatment) yang digencarkan pemerintah dinilai masih lemah.

Hal tersebut melihat angka testing dan tracing yang lebih tinggi berada di ibu kota DKI Jakarta. Menyentil situasi COVID-19 di Tanah Air dan menantikan Menkes Terawan, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin menuliskan surat terbuka untuk Menkes Terawan.

Isi surat terbuka Zainal mewakili perspektif bukan hanya perseorangan, melainkan para dokter umum, spesialis, residen di Indonesia saat ini. Berikut ini isi surat terbuka Zainal untuk Menkes Terawan yang diterima Health Liputan6.com, Selasa (13/10/2020).

Load More

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:


Menkes Terawan, Komandan Lapangan

Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto membahas Travel Corridor Arrangement (TCA) bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly secara virtual, Kamis (1/10/2020). (Kementerian Kesehatan RI)

"Terawan Oh Terawan"

Ada sebuah kalimat bijak: "Di saat anda tidak bisa memperbaiki keadaan, paling tidak janganlah berbuat sesuatu yang akan memperburuk dan memperkeruh keadaan".

Terkait dengan carut marutnya persoalan menghadapi dan mengatasi pandemi COVID-19 ini, mulai dari perbedaan data korban mati sampai saling bertolak belakangnya kebijakan antara pusat daerah dan antar kementerian, Kementerian Kesehatan haruslah menjadi wajah dari kehadiran negara dan pemerintah yang menjadi ‘komandan lapangan’ di medan laga pertempuran melawan COVID-19.

Masih terbayang di benak ingatan kita, saat COVID-19 ini mulai masuk ke beberapa negeri tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, alih-alih memimpin di lapangan, komandan Terawan bahkan abai dan terkesan menyepelekan ancaman wabah yang ada di ambang pintu, atau mungkin sudah mulai masuk tanpa terdeteksi.

“Jangan Panik, Jangan Resah, Enjoy saja, ya Harvard suruh ke sinilah untuk melihat, kan virusnya ringan-ringan saja, Batuk Pilek itu kematiannya lebih tinggi dari virus Corona ini, memang ini akan sembuh sendiri, Corona ini tidak seganas Flu Burung, dengan mortality yang lebih rendah”, semua ini adalah ucapan sang ‘Komandan Lapangan’ di depan media resmi.

Sikap seorang komandan yang abai dan menyepelekan perang melawan COVID-19 inilah yang secara langsung menyebabkan gagap dan terlambatnya respons seluruh pasukan di lapangan dalam peperangan ini.


Kapasitas Tes COVID-19 Belum Capai Target WHO

Warga menjalani "swab test" di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Rabu (7/10/2020). Pemerintah menetapkan harga batas tes usap alias tes swab melalui PCR untuk mendeteksi Covid-19 agar mendorong masyarakat melakukan tes secara mandiri. (merdeka.com/Imam Buhori)

Saat ini, kita sudah memasuki bulan kedelapan sejak pertama kali virus ini resmi masuk ke Indonesia. Belum lagi tampak tanda-tanda terkontrolnya wabah ini, penularan pun semakin tinggi dan penyebaran semakin luas, dengan jumlah kasus terkonfirmasi lebih dari 303.000, dengan kematian lebih dari 11.151 orang (data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 sampai 4 Oktober 2020).

Di sisi lain, kapasitas rumah sakit untuk mengelola dan mengobati 20 persen pasien yang bergejala sedang sampai berat sudah hampir terlampaui, dengan dampak angka kematian Tenaga Kesehatan yang cukup tinggi, bahkan proporsinya tertinggi di dunia.

Dari awal pandemi COVID-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengingatkan tentang pentingnya 3 T (testing, tracing, dan treatment) sebagai senjata ampuh yang dianjurkan dalam perang melawan COVID-19.

Semua ilmuwan sepakat bahwa tes yang diperlukan adalah tes PCR, bukan rapid test (tes antibodi) yang angka positif palsu maupun negatif palsunya lebih dari 30 persen. Lagi-lagi, tanpa alasan yang terbuka dan jelas, pendapat sains ini ditelikung dan dibungkam dengan mengimpor sebanyak-banyaknya tes rapid, bukannya PCR.

 

Sampai memasuki bulan kedelapan perang menghadapi pandemi ini, kapasitas tes kita belum bisa mencapai yang dianjurkan WHO, yaitu 1 test per 1000 penduduk dalam 1 minggu, atau 1000 test per 1 juta penduduk dalam 1 minggu. Kita baru bisa mencapai 70 persen dari standar WHO (@pandemictalks, 27 September 2020), tapi persoalannya adalah ketimpangan kapasitas test antar provinsi.

Hanya DKI yang kapasitas test nya melebihi standar WHO, sedangkan beberapa provinsi (Lampung, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur) bahkan memiliki kapasitas tes kurang dari 100 per 1 juta penduduk.

 

 


Tracing yang Masih Lemah dan Tenaga Medis

Warga menjalani "swab test" di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Rabu (7/10/2020). Pemerintah menetapkan harga batas tes usap alias tes swab melalui PCR untuk mendeteksi Covid-19 agar mendorong masyarakat melakukan tes secara mandiri. (merdeka.com/Imam Buhori)

Pelacakan kontak (tracing) juga masih lemah. Menurut perhitungan Kawalcovid19.id, kemampuan tracing (Rasio Lacak Isolasi - RLI) Indonesia sangat kurang, yaitu 3,3. Padahal, standar WHO harus lebih dari 30. Artinya, dari setiap kasus positif, harus dilacak-isolasi sampai minimal 30 orang, bukan hanya 3 orang (di Singapura RLI-nya mencapai 70 orang).

Dalam situasi peperangan yang penuh dengan kegagapan dan ketidaksiapan pasukan di lapangan, dengan amunisi yang serba kekurangan, tenaga Medis merupakan pasukan khusus yang dipersiapkan untuk menghadapi musuh di medan tempur yang paling sulit, yaitu 20 persen kasus yang membutuhkan perawatan di ruang isolasi dan ruang ICU rumah sakit.

Pasukan khusus ini terutama terdiri atas para dokter yang jumlahnya terbatas dan memerlukan pendidikan dan pelatihan lamanya 6-10 tahun, sebelum dinyatakan lulus dengan kompetensi tempur di medan yang paling sulit dan risiko kematian paling tinggi.

Alih-alih memberikan dukungan kepada para anggota ‘pasukan khusus’ menghadapi ‘perang yang berkepanjangan’ melawan pandemi COVID-19 yang seolah tanpa akhir ini, sang komandan Terawan malah dengan tega dan terang-terangan mengobok-obok dan membuat kekacauan di institusi dan wahana pendidikan yang menjadi markas pelatihan kompetensi tempur para nakes, khususnya para dokter spesialis.

Awal Agustus 2020, saat penambahan kasus positif harian mencapai lebih dari 3.000 orang dan angka kematian tenaga kesehatan (data Ikatan Dokter Indonesia) mencapai 6,5 persen (20 kali angka kematian tenaga kesehatan dunia yang 0,37 persen), atas usulan Menteri Terawan, tiba-tiba Presiden Joko Widodo melantik para anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang ditolak oleh IDI, Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan seluruh Perhimpunan Dokter Spesialis.

Penolakan ini karena penunjukannya oleh sang komandan tidak mewakili dan tidak pernah dikomunikasikan dengan organisasi yang mewakili para anggota pasukan khusus yang sedang sibuk bertempur di medan perang. Alhasil, satu kekacauan dan kekisruhan telah diciptakan oleh Terawan, sang komandan lapangan yang tidak pernah hadir di medan tempur, bahkan tidak jelas keberadaannya.


Kemunculan PMK 24 tahun 2020

Kemunculan PMK 24 tahun 2020. Ilustrasi dokter. (dok. unsplash/@marceloleal80)

Pada September 2020, belum lagi jelas kapan peperangan (COVID-19) ini akan berakhir, saat lebih dari 130 dokter menjadi korban meninggal bersama dengan ratusan tenaga kesehatan lain, dengan enteng dan tanpa perasaan sang komandan masih bisa berteriak siap untuk memasok sebanyak 3.500 'tentara cadangan.'

 

Para dokter yang pendidikannya memerlukan waktu 6-11 tahun (6 tahun untuk dokter umum, termasuk masa internship, dan tambahan 4-5 tahun untuk dokter spesialis) bukanlah ‘barang disposable’ yang gampang diproduksi dengan instan.

Mereka adalah sumber daya manusia langka yang menjadi pilar utama untuk bisa terlaksananya sila kelima dari Pancasila, khususnya pemenuhan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

 

Belum puas rasanya sang komandan Terawan 'mengganggu' konsentrasi tempur pasukan khusus para dokter spesialis ini. Tiba-tiba sang komandan Terawan (yang tidak pernah diketahui keberadaannya) di luar kewenangannya sebagai Menkes, mengeluarkan surat perintah berupa PMK 24 tahun 2020 pada 21 September kemarin (data mengenai hal ini bisa di unduh di aplikasi sehatpedia, sebuah aplikasi resmi milik Kemenkes).

Sampai artikel ini ditulis, data ini belum ditayangkan di situs resmi Kemenkes yang isinya menyebabkan kekisruhan dan mengacaukan Tugas Pokok dan Fungsi (TuPokSi) berbagai satuan tempur dari pasukan khusus yang sedang sibuk bertugas di medan tempur. Para dokter spesialis ini masing-masing memiliki kompetensi khusus yang sebagian memang ada ‘overlap’ atau tumpang tindih antar bidang spesialis.


Diatur oleh Kolegium Kedokteran

Diatur oleh Kolegium Kedokteran. Dokter Gigi | unsplash.com/@hikeshaw

Semua persoalan terkait kesamaan kompetensi tempur dan penguasaan persenjataan di antara bidang spesialis sudah diatur dan disepakati antar korlap (koordinator lapangan), yaitu Kolegium bidang Ilmu yang tergabung dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI).

Kesepakatan mengenai kompetensi dari setiap satuan tempur sudah disahkan oleh KKI dan masuk ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran PMK 24 tahun 2020 yang telah menimbulkan kekisruhan dan kekacauan di antara satuan tempur yang sedang sibuk terlibat dalam peperangan menghadapi COVID-19 ini selayaknya dicabut.

 

Ini karena selain diluar kewenangan sang komandan Terawan juga mengacaukan TuPokSi para anggota satuan tempur yang bisa berakibat semakin lemahnya pertahanan kita dalam ‘perang’ bersama melawan pandemi COVID-19 ini.

Imbas aturan "sepihak' sang komandan Terawan ini berpotensi merugikan masyarakat. Bayangkan saja, layanan standar yang semestinya dan sudah di sepakati bersama bisa dilakukan lebih dari 25.000 dokter dalam 16 bidang medis, dengan PMK ini, hanya akan dilayani oleh 1.500-an dokter spesialis radiologi se-Indonesia.

 

Per hari ini, semua kolegium bidang spesialistik di Indonesia sudah menandatangani permintaan resmi untuk membatalkan PMK tersebut. Dan sampai artikel ini ditulis, belum ada respons dari sang komandan.

Nasihat terbaik untuk sang komandan Terawan adalah kata bijak yang tertera di awal tulisan ini, “Di saat Anda tidak bisa memperbaiki keadaan, paling tidak janganlah berbuat sesuatu yang akan memperburuk dan memperkeruh keadaan."


Infografis Ganti Istilah Terkait Covid-19

Infografis Ganti Istilah Terkait Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya