Ternyata, Asia Pasifik Jadi Penghasil Terbanyak Miliarder di Dunia saat Pandemi

Saat ini, tercatat ada 2.189 miliarder di seluruh dunia dengan total kekayaan gabungan USD 10,2 triliun.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Okt 2020, 08:00 WIB
Ilustrasi miliarder (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Reli pasar saham yang dipicu pandemi mampu melambungkan kekayaan bersih para miliarder dunia menggapai puncaknya. Saat ini, tercatat ada 2.189 miliarder di seluruh dunia dengan total kekayaan gabungan USD 10,2 triliun.

“Pada Juli 2020, Asia-Pasifik menyumbang jumlah miliarder terbanyak dengan kekayaan sangat tinggi, mencapai 831 (38 persen), di mana nilai kekayaannya mencapai USD 3,3 triliun,” menurut laporan Bank Swiss UBS, seperti melansir CNBC, Kamis (15/10/2020).

Kemudian diikuti Amerika sebanyak 762 miliarder (35 persen) dan 596 (27 persen) tersebar di Eropa, Timur Tengah dan Afrika (EMEA).

Temuan tersebut berdasarkan hasil wawancara dan data terhadap 2.000 miliarder di 43 pasar saham. "Terlihat Asia-Pasifik mempertahankan posisi globalnya sebagai ‘mesin pertumbuhan kekayaan," ujar Anurag Mahesh dari UBS Global Wealth Management.

Untuk penghasil kekayaan terbanyak, Daratan Tiongkok muncul sebagai pasar teratas dengan 415 miliarder, diikuti India (114 miliarder), Hong Kong (65 miliarder), Taiwan (40 miliarder) dan Australia (39 miliarder).

Pada tahun ini, sebagian besar pertumbuhan kekayaan miliarder berkorelasi erat dengan pemulihan pasar. Di mana, aset orang sangat kaya biasanya terikat di perusahaan publik tempat mereka berinvestasi.

Namun, dari 2019 hingga puncak penurunan pada April 2020, kekayaan miliarder Asia muncul relatif tanpa cedera, hanya turun 2,1 persen dibandingkan 10,1 persen di EMEA dan 7,4 persen di Amerika.

“Hal tersebut mungkin karena kawasan tersebut didominasi oleh dua industri utama yakni teknologi dan perawatan kesehatan yang melonjak setelah pandemi,” ujar Manesh, Wakil Kepala Global UBS.

Asia-Pasifik merupakan rumah bagi miliarder teknologi dan perawatan kesehatan tertinggi di dunia, terhitung 181 miliarder (8 persen) dari total populasi miliarder, dibandingkan dengan 153 miliarder (7 persen ) di Amerika dan 88 miliarder (4 persen ) di EMEA.

“Dalam dekade terakhir, kekayaan miliarder di sektor teknologi tumbuh 5,7 kali lipat. Sementara kekayaan di sektor jasa keuangan tumbuh 2x3 kali lipat,” ujar Anju Kagalwata, Rekan dan Pimpinan Manajemen Aset dan Kekayaan PwC Singapura.

Menurut sebuah laporan, 209 miliarder menyumbangkan total USD 7,2 miliar saat pandemi dari Maret hingga Juni 2020. Sebanyak 175 miliarder (76 persen) memberikan donor keuangan.

Sementara 24 miliarder (19 persen) adalah pembuat yang menggunakan kembali lini manufakturnya untuk memproduksi peralatan, semisal.

Kemudian 10 dari mereka (5 persen) adalah pengusaha berdampak, yang berkontribusi pada strategi jangka panjang seperti menemukan vaksin.

 

Reporter: Tasya Stevany

Saksikan video di bawah ini:


Gara-gara Sakit Usus, Perempuan Ini Justru Sukses Bangun Bisnis Suplemen

Sumber: Freepik

Tahun 2015, merupakan waktu pertama kali, Jules Miller merasakan ada sesuatu yang salah dengan kondisi ususnya. Dia sering merasa lemah, dan cepat lelah saat beraktivitas sehari-hari.

Sampai pada akhirnya, tepat saat Jules berusia 25 tahun, dia didiagnosa mengidap Irritable Bowel Syndrom (IBS) atau sindrom iritasi usus besar.

Berbagai macam pengobatan telah dilakukan wanita berdarah Kolombia ini, tetapi dirinya merasa tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Banyak sekali macam-macam pengobatan bahkan suplemen yang telah dikonsumsi untuk bisa menyembuhkan rasa tidak nyaman pada ususku, tetapi justru semuanya malah membuat permasalahan jauh lebih buruk," ungkap Jules seperti melansir laman BBC, Senin (12/10/2020).

Dia mengaku bahwa beberapa pengobatan dan suplemen yang dikonsumsi saat itu justru membuat berat badan dan massa tubuhnya membesar. Disadarinya bahwa banyak dari suplemen vitamin yang pernah digunakan mengandung nutrisi yang rendah, sehingga tubuh pun mengolahnya menjadi gula.

Dari latar belakang masalahnya tersebut, perempuan kelahiran London ini memutuskan bekerja sama dengan kakeknya, Goerge Miller untuk melakukan riset suplemen yang mempunyai formulasi dan komposisi baik.

"George merupakan seorang kimiawan di Uniersity of Cambridge, jadi belajar dengan dirinya, memberikan saya banyak pengalaman dan pengetahuan baru tentang suplemen dan vitamin," jelas Jules.

Terinspirasi dari penyakit dan kerjasama dengan kakenya, pada tahun 2017, Jules pun mendirikan Nue yang merupakan perusahaan farmasi spesialis suplemen.

Motto dan tujuan dari perusahaan ini, didirikan untuk bisa mengkomposisikan suplemen dan vitamin yang sehat dan aman untuk dikonsumsi masyarakat.

Saat ini, Nue bisa meraup 7,8 juta pound atau sekitar Rp 147 miliar dari keuntungan dalam 3 tahun berlangsungnya eksistensi perusahaan ini.

Pendapatan dari Nue bahkan apda tahun ini sendiri meningkat 6 kali lebih besar akibat dari kecemasan kesehatan tiap orang atas pandemi Covid-19.

Produk utama dari Nue sendiri, utamanya dinamakan sebagai Debloat yang merupakan suplemen untuk meringankan sakit dari IBS. Karena kesuksesan dari produk dan meningkatnya kepercayaan klien, Nue sendiri pun mulai memperbesar aneka produk menjadi vitamin, perawatan kulit dan masih banyak lagi.

Jules yang sekarang ini berumur 31 tahun tersebut, mengklaim bahwa faktor kesuksesan laiinnya adalah karena lokasi kantornya di New York, Amerika Serikat.

"Dibandingkan dari Inggris, masyarakat Amerika Serikat dari riset yang kami lakukan jauh lebih sadar akan keuntungan dan manfaat suplemen atau vitamin terhadap kesehatan tubuh," kata Jules.

Caroline Peyton yang merupakan ahli ilmu gizi menyatakan, tidak banyak perusahaan di dunia suplemen ataupun vitamin yang bisa menjelaskan dengan baik komposisi dari produknya.

"Nue sendiri merupakan salah satu perusahaan yang menurut saya menjelaskan komposisi, manfaat dan proses produksi akan produknya dengan baik, karena tidak semua orang bisa mengerti dengan hal itu," tutur Peyton.

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya