Liputan6.com, Jakarta - Lebanon dan Israel akan memulai pembicaraan tidak langsung atas sengketa perbatasan maritim mereka, dengan para pejabat AS yang menengahi pembicaraan tersebut.
Kedua belah pihak bersikeras bahwa pembicaraan ini murni merupakan negosiasi teknis dan bukan tanda normalisasi hubungan.
Menurut laporan Al Jazeera, Rabu (14/10/2020), pembicaraan itu akan diadakan di markas pasukan penjaga perdamaian PBB UNIFIL di kota perbatasan Lebanon Naqoura mulai Rabu 14 Oktober 2020. Tidak jelas berapa lama mereka akan bertahan.
Advertisement
Perkembangan itu terjadi dengan latar belakang krisis ekonomi yang meningkat di Lebanon, yang terburuk dalam sejarah modernnya dan menyusul gelombang sanksi AS yang baru-baru ini mencakup dua mantan menteri kabinet berpengaruh yang bersekutu dengan kelompok bersenjata Hizbullah.
Israel, AS, serta beberapa negara Barat dan Arab lainnya menganggap Hizbullah sekutu Iran sebagai organisasi teroris.
Israel mengatakan bahwa akan ada "negosiasi langsung", sesuatu yang dibantah oleh pejabat Lebanon. Diharapkan kedua delegasi akan duduk di tempat yang sama.
Saksikan Juga Video Ini:
Delegasi Kedua Negara
Israel telah mengirim tim beranggotakan enam orang, termasuk direktur jenderal kementerian energinya, penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan kepala divisi strategis tentara.
Delegasi beranggotakan empat orang Lebanon terdiri dari dua perwira militer, seorang pejabat perminyakan Lebanon dan seorang ahli hukum perbatasan laut.
Hizbullah dan sekutunya, Amal, mengkritik delegasi yang akan mewakili Lebanon dalam pembicaraan tersebut.
Sebuah pernyataan dari dua partai utama Syiah Lebanon, yang datang hanya beberapa jam sebelum pertemuan itu akan dimulai, menyerukan reformasi tim perunding yang mereka katakan harus hanya memasukkan pejabat militer, tanpa warga sipil atau politisi.
Pada hari Senin, harian pro-Hizbullah Al-Akhbar menyebut pembicaraan itu sebagai "momen kelemahan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk Lebanon" dan menyatakan bahwa Israel adalah "penerima manfaat" yang sebenarnya.
Pembicaraan itu dilakukan beberapa minggu setelah Bahrain dan Uni Emirat Arab menjadi negara Arab pertama yang menjalin hubungan dengan Israel sejak Mesir melakukannya pada 1979 dan Yordania pada 1994.
Advertisement