Liputan6.com, Jakarta Dokter saraf dari Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta Yuda Turana memaparkan dampak negatif yang dapat terjadi jika pasien hipertensi atau tekanan darah tinggi mengecek tekanan darah dengan salah.
Seseorang dinyatakan hipertensi melalui pengukuran tekanan darah yang benar menggunakan tensimeter. Guna mengecek tekanan darah secara rutin, pasien dianjurkan untuk melakukan pengecekan tekanan darah mandiri di rumah secara berkala. Namun, pengecekan mandiri memiliki risiko salah pengecekan.
Advertisement
Salahnya pengecekan tekanan darah akan berakibat misdiagnosis. Hal ini berakibat pada penanganan yang salah pula.
“Artinya, yang tidak hipertensi dinyatakan hipertensi dan yang hipertensi tidak dianggap hipertensi. Konsekuensinya panjang, jadi seseorang yang dinyatakan hipertensi padahal tidak akhirnya minum obat dan malah pusing karena tekanan darahnya jadi rendah,” kata Yuda dalam webinar Omron, Rabu (14/10/2020).
Sebaliknya, kesalahan pengecekan juga dapat berakibat pada orang yang harusnya diobati malah tidak diobati karena dinyatakan tidak hipertensi. Hal ini mengakibatkan orang tersebut akan terlambat mendapatkan terapi dan berakibat pada kerusakan target organ.
Simak Video Berikut Ini:
Faktor Pemicu Kesalahan Pengecekan
Salah pengukuran bisa dikarenakan berbagai hal, kata Yuda. Mulai dari persiapan hingga pada saat pengecekannya.
“Dari proses persiapan yang salah itu contohnya tidak kencing dulu, baru minum kopi, habis minum obat pilek tertentu dan obat nyeri yang bisa meningkatkan tekanan darah. Termasuk juga stress, itu persiapannya sudah salah.”
Di sisi lain, di tahap persiapan sudah benar namun jika metode pengukurannya salah maka kesalahan pengecekan bisa terjadi.
“Apakah penggunaan mansetnya betul atau tidak, kemudian pada saat pengukuran, alat yang digunakan aneroid yang menggunakan jarum itu lebih tidak akurat. Jadi banyak hal yang menyebabkan pengukuran salah.”
Menurut penelitian, 1 dari 3 orang salah mengukur tekanan darahnya dengan menempatkan manset pada posisi yang salah. Hal ini juga berkontribusi pada jumlah pasien hipertensi di Indonesia.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi hipertensi naik seiring bertambahnya usia. Prevalensi terendah yaitu di kelompok usia 20 sampai 29 tahun yaitu perempuan 6,2 persen dan laki-laki 14,4 persen.
Sedang, prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 70 tahun ke atas dengan persentase laki-laki 71,2 persen dan perempuan 80,3 persen.
Advertisement