Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar mempertanyakan hubungan strategis antara Indonesia dan Jepang hampir tidak begitu terlihat selama masa pandemi Covid-19. Padahal kedua negara cukup memiliki hubungan erat sejak lama. Namun, tidak ada kerjasama dibangun pada saat pandemi.
"Kalau boleh berterus terang kami selama beberapa bulan ini agak bertanya tanya kemana hubungan Indonesia-Jepang yang begitu strategis? Memang hubungan yang rutin sudah terjadi tetap berjalan, tetapi hubungan kerjasama strategis yang kita harapkan justru semakin menonjol disaat krisis hampir tidak terlihat," kata dia dalam acara Indonesia-Japan Virtual Business Forum, secara virtual, Rabu (14/10/2020).
Advertisement
Menurutnya, kedua negara bisa saja melakukan berbagai kerjasama pada saat masa pandemi Covid-19. Misalnya saja, membanun kemitraan atau kerjasama di sektor kesehatan dan farmasi, dalam pengadaan vaksin hingga obat-obatan.
"Tidak terlihat nyata dalam kerjasama pengembangan vaksin, tidak terlihat nyata pengembangan kemampuan industri farmasi dan obat-obatan. Tidak terlihat nyata dalam industri alat kesehatan dan tidak terlihat nayata dalam membangun travel koridor aggrement," keluhnya.
Dia pun menyayangkan, dari lima negara yang merupakan mitra Indonesia yang dapat bekerjasama erat selama pandemi Covid-19, Jepang justru tidak termasuk di dalamnya. "Kami sekali lagi menyayangkan tidak termasuk Jepang," imbuh dia.
Mahendra juga mengeluhkan relokasi perusahaan Jepang di Tanah Air juga masih tercatat sedikit. Menurutnya, itu tidak sebanding dengan 60 tahun hubungan yang kuat terbangun kokoh antara Indonesia dan Jepang.
"Dan kita bersama sama hadapi global finaansial krisis 12 tahun lalu . Dan selalu jadi penunjang berbagai tantangan dan krisis dan bencana alam maupun kesulitan lain yang dialami oleh Indonesia dan Jepang," tururnya.
Untuk itu, ke depan dirinya mengajak pemerintah Jepang untuk sama-sama memperbaiki hubungan kerjasama yang sudah erat terjalin lama. Saat ini, tidak perlu mencari siapa yang salah. Karena ini sudah menjadi tanggungjawab kedua belah pihak.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perizinan Lebih Mudah Bikin 7 Perusahaan Relokasi ke Indonesia
Sebelumnya, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan 7 perusahaan berhasil merelokasi usahanya ke Indonesia. Ini seiring proses perizinan yang lebih mudah setelah adanya pendelegasian kewenangan.
Pendelegasian kewenangan perizinan usaha itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
"Kekuatan kita memfasilitasi relokasi investasi dari China sebenarnya adalah dari perizinan. Kalau dari harga tanah, kita masih belum, karena di Batang kita sedang proses," kata Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM Ikmal Lukman, seperti melansir Antara, Rabu (9/9/2020).
Ikmal menjelaskan kunci kemudahan perizinan itu karena adanya Inpres 7/2019 yang mendelegasikan kewenangan 22 kementerian/lembaga ke BKPM.
"Jadi investor tidak perlu keliling Jakarta, ke kementerian. Ke BKPM saja sudah bisa dapat izin yang diperlukan," jelas dia.
Faktor lainnya, yakni dukungan dari pemerintah daerah yang suportif. Ikmal menuturkan kini banyak daerah yang mendorong masuknya investasi sehingga membuat proses perizinan berjalan lancar dan lebih singkat.
"Sekarang daerah sudah sangat pro bisnis, sangat mendorong investasi karena mereka sadar dengan investasi bisa membuka lapangan kerja bagi rakyatnya," jelas dia.
Indonesia pernah gagal menarik relokasi investasi dari China pada 2018 lalu. Kala itu, sebanyak 33 perusahaan merelokasi investasi mereka dari China karena adanya perang dagang China-AS.
Namun, investor justru memilih Vietnam, Malaysia, Thailand hingga Kamboja. Indonesia disebut kalah bersaing dari sisi harga lahan, tenaga kerja, hingga tarif listrik dan air.
Sebelumnya, sebanyak 7 perusahaan asing yang berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan memastikan akan merelokasi usahanya ke Indonesia.
Total keseluruhan nilai investasi dari tujuh perusahaan tersebut mencapai USD 850 juta (sekitar Rp 11,9 triliun) dengan potensi penyerapan tenaga kerja hingga 30.000 orang.
Perusahaan-perusahaan ini memindahkan pabriknya dari China, Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia dan Korea Selatan.
Pada tahapan selanjutnya, ada 17 perusahaan yang dijajaki oleh BKPM dengan potensi investasi senilai USD 37 miliar(Rp 518 triliun).
Advertisement