KSPI Tolak Terlibat Bahas Aturan Turunan UU Cipta Kerja

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan pihaknya tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja.

oleh Tira Santia diperbarui 15 Okt 2020, 10:00 WIB
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan pihaknya tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja. Sikap ini sejalan dengan komitmen kaum buruh, yang hingga saat ini menolak omnibus law UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan.

"Buruh menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan demikian tidak mungkin buruh menerima peraturan turunannya. Apalagi terlibat membahasnya," kata Said Iqbal di Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Said mengatakan ke depan aksi penolakan omnibus law oleh buruh akan semakin membesar dan bergelombang. Apabila pemerintah kejar tayang lagi dalam membuat aturan turunannya.

"Ada dugaan serikat buruh hanya digunakan sebagai stempel atau alat legitimasi saja," ujarnya.

Lanjutnya, menyinggung sikap DPR yang sempat menjanjikan buruh akan dilibatkan dalam pembahasan, tetapi terkesan seperti sedang kejar setoran, ia menegaskan buruh merasa dikhianati.

"Padahal kami sudah menyerahkan draft sandingan usulan buruh, tetapi masukan yang kami sampaikan banyak yang tidak terakomodir" ujarnya. Ditambakan, tidak benar apa yang dikatakan DPR RI bahwa 80 persen usulan buruh sudah diadopsi dalam UU Cipta Kerja.

Ada 4 (empat) langkah yang akan dilakukan buruh dalam menolak UU Cipta Kerja. Pertama, akan mempersiapkan aksi lanjutan secara terukur terarah dan konstitusional, baik di daerah maupun aksi secara nasional.

Kedua, mempersiapkan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji formil dan uji materiil. Ketiga, meminta legislatif review ke DPR RI dan eksekutif review ke Pemerintah. Keempat, melakukan sosialisasi atau kampanye tentang isi dan alasan penolakan omnibus law UU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan oleh buruh.

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dinilai Cacat Formil, KSPI Bakal Gugat UU Cipta Kerja ke MK

Presiden KSPI Said Iqbal (kiri) dan Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea saat konferensi pers, Jakarta, Rabu (25/9/2019). Kendati menilai revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan merugikan buruh, serikat pekerja meminta buruh menahan diri dan mengedepankan keutuhan NKRI. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

DPR RI sudah selesai melakukan penyuntingan terhadap UU Cipta Kerja yang disetujui pekan lalu 5 Oktober 2020, dan siap mengirimkan UU Cipta Kerja yang berjumlah 812 halaman kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk disahkan.

Menanggapi hal itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mengatakan pihaknya akan menunggu hingga diperoleh nomor resmi dari draf RUU yang telah disahkan tersebut, kemudian akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

"Kita tunggu dulu pengumuman resmi dari dpr dan pemerintah, takut berubah lagi," kata Said kepada Liputan6.com, Rabu (14/10/2020).

Menurut KSPI, omnibus law UU Cipta Kerja ini merupakan UU yang cacat formil. Hal itu terlihat dari mulai proses pembuatan draft yang diam-diam tanpa melibatkan partisipasi publik dan tergesa-gesa dalam pengesahannya.

lanjutnya, dalam pengesahannya saat sidang Paripurna yang menurut Drajad Wibowo (ekonom) diduga hanya kertas kosong, serta anggota DPR RI yang mengikuti sidang paripurna tersebut tidak memegang RUU yang akan disahkan.

"Bahkan beredar info jumlah halaman UU yang berubah ubah, mulai 905 halaman, 1028 halaman, 1055 halaman, 1035 halaman, dan 812 halaman, sungguh menggelikan dan memalukan "tontonan" yang disuguhkan DPR RI," ungkapnya.

Maka KSPI akan mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi akibat proses pembuatan UU Cipta Kerja yang cacat formil tersebut. Disamping itu, pihaknya juga akan uji materiil UU Cipta Kerja.

"Selain itu ,buruh juga akan melanjutkan aksi-aksi yang terukur, terarah, dan konstitusional menolak UU Cipta Kerja," ujarnya.

Adapun Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menjelaskan alasan jumlah halaman draf UU Cipta Kerja yang berubah-ubah, karena ketentuan margin harus mengikuti standar yang disepakati oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka margin kertas diganti menjadi ukuran Legal.

"Saya telepon Pak Sekjen, kenapa sudah keluar 1.032 halaman (1.035 halaman). Pak Sekjen jawab, Pak (Azis) ini masih draf kasar. Masih diketik dalam posisi kertas, bukan sebagai Legal Paper-nya," kata Azis.

Namun, setelah penyuntingan selesai mengikuti panduan legal oleh Sekjen dan jajaran, jumlah halamannya resminya kini 812 halaman, termasuk di dalamnya adalah penjelasan UU Cipta Kerja. UU secara resmi hanya 488 halaman.


UU Cipta Kerja Disebut jadi Cita-Cita Besar Jokowi

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Nantinya DPR akan membahas RAPBN 2020 untuk selanjutnya disahkan menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Peneliti Saiful Mujani Research Center (SMRC), Saidiman Achmad menilai Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja merupakan rencana besar Joko Widodo sejak awal menjadi Presiden Indonesia. Namun omnibus law ini baru didengungkan satu tahun terakhir.

"Saya percaya ini adalah ide dari Jokowi. Saya kira omnibus law ini bagian dari cita-cita besar Pak Jokowi," kata Saidiman dalam Webinar bertajuk UU Cipta Kerja dan Dampaknya Bagi Kepentingan Publik, Jakarta, Selasa (13/10/2020).

Berdasarkan teori yang dipelajarinya, ada tiga dasar yang bisa mempercepat transformasi pembangunan ekonomi. Pertama aspek infrastruktur sebagai modal utama untuk keluar dari jerat ekonomi. Dalam hal ini pemerintah harus membangun infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, tol, pelabuhan hingga bandara.

"Ini sudah dilakukan di periode pertama, infrastruktur dibangun untuk menggenjot ekonomi," kata Saidiman.

Kedua, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Tak heran sejak awal periode kedua, Presiden Jokowi mencanangkan 5 tahun ini periode pembangunan SDM melalui perbaikan dan inovasi di dalam pendidikan, dan kesehatan yang dilakukan secara serius.

"Dua faktor ini yang sedang dilakukan di pemerintah," kata dia.

Namun, dua hal ini kata Saidiman belum cukup. Perlu ada aspek konstitusi yang mendukung infrastruktur dan pembangunan SDM. Maka aspek ketiganya konstitusi yang dalam hal berwujud undang-undang omnibus law. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya