Liputan6.com, Jakarta - Selama ini belum pernah ada jaminan terhadap tenaga kerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun pemerintah kini memastikan narasi tersebut ada dan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah disahkan, pekan lalu.
"Pekerja harus memikirkan produktivitas, jangan memikirkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), itu tidak tepat. Jadi selama perusahaan ini positif membawa keuntungan, pekerja juga akan lebih berpikir mengenai upah, baik Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota," papar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Kamis (15/10/2020).
Advertisement
Tentu akan lebih produktif bagi buruh dan tentunya perusahaan untuk lebih memandang manfaat yang juga ditambah atau disediakan dalam UU tersebut.
UU Cipta Kerja itu juga telah diatur bonus yang diterima buruh berbasis kinerja mereka. Bahkan jumlah maksimal jam lembur yang ditambah dari tiga jam menjadi empat jam per hari. Ini tentunya menjadikan buruh lebih produktif.
Menurut Airlangga yang juga dipercaya sebagai Ketua Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), saat ini asumsi-asumsi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bekerja dulu.
“PHK itu adalah langkah terakhir. Buruh tidak suka PHK, dan pengusaha juga tidak suka PHK. Karena PHK terjadi kalau perusahaan itu rugi atau bangkrut,” kata Airlangga
Dia mengungkapkan, dengan UU Cipta Kerja pemerintah hadir lewat JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan). Apabila terjadi PHK, pemerintah akan membantu dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Bahkan pekerja yang terkena PHK setelah mengikuti pelatihan, menurut Airlangga bisa diberikan akses untuk mencari pekerjaan lain. Apabila belum mendapatkan pekerjaan, akan mendapatkan bantuan gaji selama enam bulan yang dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Formatnya adalah asuransi.
"Ini yang belum pernah terjadi. Sebelumnya hanya ada jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua,” tegas Airlangga Hartarto.
Dia juga menambahkan dengan UU Cipta Kerja diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan terus membaik.
“Kalau pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai 5-5,5 persen maka 2,5 juta masyarakat bisa memperoleh lapangan kerja,” ucap Airlangga.
Ke depan sektor digitalisasi juga diharapkan terus bertambah, seiring perkembangan teknologi. “Digitalisasi di Indonesia pada tahun 2025 bisa mencapai 130 miliar dolar AS ( sekitar 1914 triliun rupiah). Tentu ini bisa menjadi pengungkit APBN,” ungkap Airlangga.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menaker: Jam Kerja dalam UU Cipta Kerja Sama Persis UU Ketenagakerjaan
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyangkal tudingan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bakal mengeksploitasi waktu para pekerja. Dia menjelaskan, aturan baru tersebut tidak mengubah porsi jam kerja seperti yang tertera di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni 40 jam per pekan.
Ketentuan ini pun berlaku sama bagi seluruh pekerja formal, baik yang bekerja 5 hari atau 6 hari dalam sepekan.
"Waktu kerja itu tetep diatur sebagaimana Undang-Undang 13/2003. Isinya itu 7 jam sehari, dan atau 40 jam untuk 6 hari kerja dalam satu minggu," jelasnya saat berbincang dalam podcast YouTube milik Deddy Corbuzier, Rabu (14/10/2020).
"Jadi kalau 6 hari kerja itu jam kerjanya 7 jam. Nah, 8 jam sehari dan atau 40 jam seminggu untuk yang 5 hari kerja dalam satu minggu," dia menambahkan.
Dengan begitu, Ida menegaskan, para pekerja tetap bisa mencari nafkah dalam 5 hari setiap pekannya. Setelah melalui proses panjang, ia menyebutkan, banyak hal yang disepakati bahwa beberapa pasal terkait ketenagakerjaan dalam UU 13/2003 tetap dipertahankan.
"Dan memang bacanya gini. Undang-Undang 13/2003 ini kan tentang Ketenagakerjaan. Kemudian ada UU Cipta Kerja. Ketentuan yang ada di UU 13 sepanjang tidak dihapus, sepanjang tidak diatur ulang di UU Cipta Kerja, maka ketentuannya tetap berlaku. Termasuk tentang waktu kerja ini," tuturnya.
"Tetap libur bisa 5/2 atau 6/1 dalam seminggu, tergantung kesepakatan bersama antara penerima kerja dan pemberi kerja," pungkas Ida.
Advertisement
Isi Lengkap UU Cipta Kerja 812 Halaman yang Diserahkan ke Jokowi
DPR RI hari ini telah menyerahkan Undang-Undang/UU Cipta Kerja ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada sidang paripurna beberapa waktu lalu.
Usai disahkan di sidang paripurna, DPR RI melakukan sedikit revisi minor sebelum diserahkan ke Presiden Jokowi dan ditandatangani menjadi Undang-Undang.
Draf final UU itu diserahkan oleh Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar kepada Menteri Sekretariat Negara Pratikno, Rabu (14/10/2020).
Pada saat pengesahan, draf UU Cipta Kerja yang diberikan anggota Baleg sejumlah 905 halaman. Kemudian, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyebut draf final sebelum diubah format memiliki 1.035 halaman. Draf yang paling final setelah diubah format kertas menjadi legal paper berkurang menjadi 812 halaman.
Dalam draf UU Cipta Kerja versi 812 halaman ini, terdapat beberapa perubahan dari naskah sebelumnya yang setebal 1.035 halaman. Salah satunya terkait pembayaran pesangon, seperti yang tercantum di Pasal 156 halaman 355 UU Cipta Kerja.
Pada halaman tersebut, dituliskan bahwa ketentuan Pasal 156 diubah dari naskah UU Cipta Kerja sebelumnya yang setebal 1.035 halaman. Perubahan pertama terjadi di Pasal 156 ayat (1).
Lalu apa saja yang berubah dalam UU Cipta Kerja yang terdiri dari 15 bab, 11 klaster dan 186 pasal?