Soal Sanksi, Menaker Pastikan UU Cipta Kerja Tidak Ompong

Menteri ketenagakerjaan, Ida Fauziyah terus menyosialisasikan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Okt 2020, 19:00 WIB
Menaker Ida pada acara Webinar Nasional Program Promotif dan Preventif yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri ketenagakerjaan, Ida Fauziyah terus menyosialisasikan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan bagi seluruh stakeholder terkait. Pada Kamis (15/10) pagi ini, Menaker Ida berdialog secara virtual dengan sekitar 1.308 pekerja dan manajemen Pertamina di lingkungan Subholding Upstream PT Pertamina Hulu Energi, dari seluruh lokasi perusahaannya di Indonesia.

Dalam kesempatan ini, Menaker Ida didampingi Dirjen Pengawasan dan K3, Haiyani Rumondang dan Kepala Biro Humas Soes Hindharno. Sementara dari Pertamina hadir Direktur Utama Subholding Upstream, Direktur HRD, dan jajaran penunjang bisnisnya.

"Proses pembahasan UU Cipta Kerja ini sangat terbuka. Rapat-rapat di Raker, Panja dan Baleg dapat diakses melalui banyak kanal. Ada live streaming, ada liputan dari TV Parlemen, bisa juga dari youtube. Sepanjang karir saya di DPR, baru kali ini saya lihat ada proses pembahasan yang menit demi menit bisa diakses public. Jadi tuduhan bahwa kita mengendap-ngendap itu tidak benar," papar Menaker Ida membuka dialog dengan para pekerja dan direksi Pertamina.

Menaker Ida juga menegaskan beberapa klarifikasi, di antaranya tentang tuduhan bahwa UU Cipta Kerja ini akan ompong karena pasal-pasal tentang sanksi dari UU lama dihapus. "Ini misleading lagi. Sanksi tetap ada, kita adopsi dari UU lama, baik sanksi pidana maupun administratif. UU ini bergigi kuat, tidak ompong," ucapnya.

Selain itu, sebagai bukti komitmen terhadap peningkatan kompetensi, dalam skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) Kemnaker memasukkan tambahan vocational training benefit. Artinya, pekerja ter-PHK berhak atas pelatihan dan sertifikasi gratis, sambil menunggu mendapat pekerjaan baru.

"Sehingga saat ada lowongan kerja, sudah punya sertifikat kompetensi. Bisa nego gaji lebih tinggi, kan" sambungnya.

 

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sebelumnya

Suasana Rapat Paripurna pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan, sementara tujuh fraksi lainnya menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, menilai pemberlakuan sanksi dan denda bagi pelaku usaha yang membahayakan lingkungan harus tetap ada dalam Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Felippa menyayangkan relaksasi persyaratan lingkungan yang dicabut dari UU.

Oleh karena itu, dia meminta agar pemerintah dapat meninjau ulang persyaratan lingkungan yang dihilangkan dari UU Cipta Kerja dan akan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. "Penghapusan denda dan sanksi perlu ditinjau ulang oleh pemerintah mempertimbangkan dampak dari kerusakan lingkungan terhadap masyarakat," kata Felippa seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Selasa (6/10).

Menurut dia, dihilangkannya sanksi dan denda akan semakin meminimalisasi kehadiran pemerintah dalam upaya menjaga kelangsungan lahan. Setidaknya, ada acuan dari pemerintah yang dapat dilihat oleh para pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengelola lahan.

Untuk itu, dia meminta upaya pemerintah dapat memastikan masuknya investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) tidak serta merta menghilangkan kewajiban para investor untuk menjaga kelangsungan lingkungan. Khususnya pada investasi sektor pertanian, keberadaan lahan sangat penting untuk memastikan kelangsungan sektor pertanian itu sendiri.

Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya