Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok tahun 2021 diibaratkan oleh kalangan petani seperti penerapan kebijakan kerja paksa. Hal ini mengingat kenaikan cukai sebesar 23 persen yang berlaku tahun ini saja sudah sangat menyengsarakan petani.
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji mengingatkan apabila pemerintah masih bersikeras untuk menaikkan cukai, maka seluruh petani di pulau Jawa bakal unjuk rasa turun ke jalan.
Advertisement
“Kalau perlu tol trans Jawa kita penuhi dengan petani dan bermalam di jalanan hinga berhari-hari,” kecam Agus. Kamis (15/10/2020).
Agus Parmuji mengungkapkan kesengsaraan yang dihadapi petani pada tahun ini, dimana cukai naik 23 persen itu sudah memberatkan, ditambah dengan serangan pandemi Covid-19 yang mengharuskan setiap warga negara untuk bekerja dari rumah, tidak terkecuali petani sudah sangat memberikan pukulan bagi pendapatan petani.
“Ini cukai mau dinaikkan lagi, saya rasa pemerintah sudah seperti penjajah Belanda terhadap bangsanya sendiri. Sekarang bayangkan, kalau cukai naik yang diuntungkan itu kan pemerintah dan industri, petani rugi. Nah, kalau mau dinaikkan lagi, pemerintah dan industri tambah untung petaninya mati semua,” cetus Agus.
Lebih lanjut Agus mengatakan, sebenarnya para petani sudah ingin menghadap Presiden Jokowi untuk mengadukan masalah ini. Jika tidak bisa bertemu, petani tembakau akan melakukan unjuk rasa besar-besaran untuk menuntut keadilan.
“Tapi karena pandemi Covid-19, rencana ini urung dilakukan, dan sebagai gantinya kami berencana meminta pertemuan dengan Presiden, DPR-RI, MPR-RI, DPD, Menkeu, dan Mentan untuk duduk bersama. Jangan seenaknya sendiri menetapkan kebijakan di tengah pandemi ini,” ujar Agus geram.
Surat permohonan pertemuan itu sudah dilayangkan dan tinggal menunggu persetujuan dari masing-masing lembaga. Para petani, lanjut Agus, siap kapanpun jika diperlukan.
“Kami menunggu itikad baik (good will) dari pemerintah untuk membantu para petani ada apa enggak. Kalau mereka nggak mau bertemu berarti jelas mereka tidak memiliki kepedulian sama sekali terhadap petani dan ini harus disikapi dengan tegas dan keras,” tuturnya.
Menurut Agus, dampak kenaikkan cukai sebesar 23 persen pada tahun ini ditambah dengan efek pandemi sudah menurunkan serapan industri sedikitnya 50 persen.
“Kalau naik lagi jelas pemerintah gendeng (gila, red) yang tega mematikan petaninya sendiri,” ujarnya.
Menurut Agus, pemerintah itu hendaknya bertindak sebagai hakim atau wasit dalam suatu pertandingan, tidak memihak kubu manapun apakah itu industri atau desakan dari asing yang menuntut agar tingkat prevalensi perokok dikurangi.
“Prevalensi remaja dan anak yang cenderung meningkat itu dilihat dari mana? Surveinya mana? Ini kan terkait dengan bantuan yang bakal diberikan oleh pihak asing ke pemerintah jika cukai naik. Permainan ini,” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lindungin IHT
Seharusnya pemerintah justru melindungi IHT dengan cara tidak menaikkan cukai rokok di tahun 2021 mendatang. Jika pemerintah tidak menaikan cukai rokok, maka akan menyelamatkan ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja di sektor industri rokok dan perkebunan tembakau.
"Menyelamatkan IHT nasional merupakan bagian dari menyelamatkan perekonomian nasional agar tidak terseret ke jurang resesi. Sebaliknya, jika pemerintah menaikkan cukai rokok maka hanya akan menambah beban industri nasional," tegas Agus.
Berdasarkan temuan APTI, musim saat ini memang kurang bersahabat bagi petani tembakau, harga tembakau rajangan Rp55.000/kg dalam kondisi kering, harga ini relatif. Bahkan, di kabupaten-kabupaten penghasil tembakau di Jawa Tengah harga malah lebih rendah. Serapan tembakau yang rendah dari pabrikan juga menambah pedih petani tembakau. Pasalnya, pabrikan tak banyak membeli tembakau.
"Salah satu faktornya, adanya kebijakan kenaikan cukai tiap tahun yang mengganggu stabilitas kelangsungan penyerapan industri hasil tembakau nasional," katanya.
APTI juga mengingatkan bahwa Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Bea Cukai seharusnya ikut bertanggungjawab karena mereka dalang hancurnya harga tembakau. Karena merekalah yang juga ikut menentukan hidup matinya petani sebagai penyedia bahan baku.
“Tapi biasanya sih pemerintah itu ngelimpe’ake (tiba-tiba mengeluarkan kebijakan tanpa mendengarkan berbagai pihak, red) ujug-ujug (tiba-tiba, red) ada kebijakan baru. Kalau seperti ini buat apa bernegara,” kata Agus.
Di lain sisi, Agus Parmuji mengapresiasi Presiden Jokowi yang bisa memahami kondisi petani tembakau. Pasalnya, presiden Jokowi juga mengalami hal seperti yang dialami oleh petani.
“Yang buruk itu bawahannya, menteri-menterinya itu,” pungkas Agus.
Advertisement