4 Kondisi Psikologis yang Bisa Berakibat pada Gangguan Jiwa

Stressor adalah segala sesuatu yang membuat orang tertekan secara psikologis. Stressor ini setidaknya memicu 4 kondisi psikologis yaitu frustasi, konflik, tekanan, dan krisis.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 17 Okt 2020, 11:00 WIB
Aktivitas pasien dalam gangguan jiwa di Panti Sosial Disabilitas Mental, Yayasan Jamrud Biru, Bekasi, Selasa (5/5/2020). Pihak panti melakukan pencegahan Covid-19 dengan membersihkan secara rutin juga menyemprot desinfektan dan memberikan jadwal olahraga serta berjemur (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Stressor adalah segala sesuatu yang membuat orang tertekan secara psikologis. Stressor ini setidaknya memicu 4 kondisi psikologis yaitu frustasi, konflik, tekanan, dan krisis.

Menurut psikolog dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Waru, Surabaya, Naftalia Kusumawardhani, S.Psi, M.si, seseorang yang mengalami kondisi tertekan tidak tiba-tiba akan mengalami gangguan kejiwaan.

“Jadi sebetulnya agak panjang perjalanannya, gak tiba-tiba gila kalau orang awam bilang,” ujar Naftalia dalam webinar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ditulis pada Jumat (16/10/2020).

Ia menambahkan, proses seseorang menuju fase orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) itu panjang. Ada setidaknya 4 fase atau kondisi yang akan dilalui seseorang sebelum sampai pada istilah ODGJ.

“Kalau kita bisa mengetahui (prosesnya) sedini mungkin, pertolongan bisa diberikan dan harapannya distres itu bisa diminimalkan.”

Dari 4 fase atau kondisi psikologis tersebut, yang pertama adalah frustasi. Fase ini biasanya dipicu ketika seseorang ingin mendapatkan sesuatu namun ada hambatan. Menurut orang tersebut, hambatannya sangat berat walau bisa jadi menurut orang lain hambatannya sederhana.

“Yang kedua adalah konflik. Fase ini terjadi ketika orang bingung memilih dua kondisi. Memilih satu berarti membuang yang lainnya. Misal, milih istri atau orangtua, milih mengutamakan keinginan anak pertama atau kedua, dan sebagainya. Kalau orangtua terus menerus dihadapkan dengan konflik ya dia sakit, bukan hanya fisik tapi mentalnya juga.”

Simak Video Berikut Ini:


Tekanan dan Krisis

Fase ketiga adalah tekanan berupa tuntutan dari dalam maupun luar diri yang datang terus menerus, bertumpuk, dan berlangsung lama.

Naftalia mencontohkan, tekanan bisa datang dari orangtua yang menuntut anaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak realistis. Misal, harus selalu juara di sekolah dan berprestasi di berbagai bidang lain dengan tuntutan yang terus-menerus. Namun, anak tidak pernah diberi kesempatan untuk mengemukakan keinginannya pribadinya.

“Kondisi ini akan membuat seseorang ada dalam tekanan, dia akan cape, gak cuma fisiknya tapi mentalnya juga.”

Kondisi keempat adalah krisis. Kondisi ini dipicu oleh stressor yang besar, mendadak, dan tidak diprediksi sebelumnya.

“Contohnya kondisi pandemi COVID-19 ini, tidak bisa diprediksi, gak ada orang yang siap menghadapi COVID-19. Tiba-tiba pekerjaan hilang, tiba-tiba kebutuhan meningkat, pelanggan pindah ke orang lain yang lebih murah, dan sebagainya.”


Infografis Efek Negatif Marah

Infografis Deretan Efek Negatif Marah bagi Kesehatan Tubuh. (Liputan6.com/Lois Wilhelmina)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya