Liputan6.com, Jakarta - Indonesia yang tengah bergulat melawan krisis pandemi Covid-19 harus kembali bersiaga menghadapi bencana lain. Sejumlah wilayah di Nusantara wajib bersiap menghadapi ancaman banjir akibat puncak musim hujan dan fenomena La Nina pada Oktober-November 2020.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jarot Widyoko, mengaku telah berdiskusi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait potensi banjir ke depan.
Advertisement
Menurut ramalan BMKG, ia mengatakan, puncak musim hujan akan datang mulai November 2020 hingga April 2021. Menghadapi situasi ini, Jarot mengutarakan, kawasan Indonesia Timur lebih berisiko terkena banjir dibanding wilayah adat.
"Dari hasil ralat kemarin, itu memang daerah timur yang potensi banjirnya agak tinggi. Sedangkan di Sumatera itu agak kurang. Tetapi berapa potensi (tingginya curah) hujan berapa, itu nanti yang lebih mengetahui BMKG," kata Jarot dalam sesi teleconference, Jumat (16/10/2020).
Mengutip prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jarot menyampaikan prakiraan puncak musim hujan di beberapa daerah di Indonesia. Seperti untuk Kalimantan, yakni antara Desember 2020 sampai Januari 2021.
Kemudian di Sulawesi, dimana intensitas hujan tertinggi akan terjadi pada Januari-April 2021. Lalu Sumatera pada November 2020, Jawa serta Bali dan Nusa Tenggara pada Februari 2021, Papua di Desember 2020, dan Maluku di Januari 2021.
Guna mengantisipasi potensi banjir, Jarot meminta partisipasi masyarakat untuk menanganinya. Terlebih dengan adanya potensi peningkatan curah hujan sebagai dampak dari fenomena La Nina.
"Apalagi ke depan dengan prediksi adanya La Nina, intensitas hujan akan bertambah 30-40 persen. Hadapi ini Kementerian PUPR tak bisa sendiri, harus ada persiapan, termasuk kesiapsiagaan dari kementerian yang lain. Masyarakat sendiri juga harus disosialisasikan dan tahu apa yang bisa dilakukan sebelum terjadi ini," imbuhnya.
Jarot pun menggarisbawahi, sejumlah daerah semakin rawan terkena banjir lantaran beberapa faktor. Seperti semakin sempitnya daerah tangkapan air (catchment area) hingga perubahan aliran air (run off). Itu semua terjadi akibat pertumbuhan pembangunan dan jumlah penduduk yang kian masif.
"Yang tadinya hujan turun masuk ke dalam bumi, ada pembangunan rumah dan lain-lain lahan terusik. Pada saat hujan turun, dia tidak sempat masuk ke dalam bumi karena lapisannya sudah diperkeras, paving, beton, dan lain-lain. Jadi hujan turun masuk ke selokan dan itu pasti mengalir ke sungai," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Antisipasi Dampak La Nina, Jokowi Minta Tak Ada Alih Fungsi Lahan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta lembaganya mengantisipasi dampak La Nina. Salah satu hal yang harus dilakukan meniadakan alih fungsi lahan.
"Tadi bapak Presiden mengingatkan tentang pentingnya masalah lahan. Tidak boleh ada alih fungsi lahan," ujarnya melalui YouTube BNPB Indonesia, Selasa (13/10/2020).
Namun, kata Doni, ketika terjadi alih fungsi lahan maka segera tanami dengan tanaman yang memiliki kemampuan mengikat partikel tanah sangat kuat.
Tak hanya alih fungsi lahan, Jokowi juga mengingatkan soal penambangan liar atau illegal mining untuk mengantisipasi dampak La Nina.
"Presiden juga mengingatkan tentang illegal mining sebagaimana yang terjadi pada awal tahun 2020 ini di daerah Banten," jelas Doni.
Sebelumnya, Penambangan liar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) perbatasan Bogor, Jawa Barat dan kabupaten Lebak, Banten mengakibatkan banjir dan longsor pada awal Januari lalu. Puluhan orang meninggal dunia akibat bencana tersebut.
Berdasarkan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), La Nina terjadi mulai saat ini hingga Februari atau Maret mendatang. La Nina merupakan fenomena alam yang menyebabkan curah hujan di suatu kawasan turun secara berlebihan.
Reporter: Titin Supriatin
Sumber: Merdeka.com
Advertisement