Liputan6.com, Banyumas - Polresta Banyumas membubarkan paksa aksi mahasiswa menggunakan gas air mata dan water canon pada Kamis malam (15/10/2020). Polisi membubarkan demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja karena hingga malam massa tak kunjung membubarkan diri.
“Unjuk rasa malam itu akan berakibat dan berefek lebih jelek,” kata Kapolresta Banyumas, Kombes Wishnu Caraka usai bertemu rektor UMP, Jumat (16/10/2020).
Pembubaran paksa menggunakan gas air mata membuat dua mahasiswa harus menjalani perawatan di rumah sakit. Dua mahasiswa itu masing-masing dari Unsoed dan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).
Baca Juga
Advertisement
Kombes Wishnu menjelaskan prosedur pembubaran massa peserta demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja kepada rektor UMP saat kunjungan silaturahmi, Jumat (16/10/2020).
Menurut Kapolresta Banyumas, polisi telah memperingatkan mahasiswa agar membubarkan diri. Namun massa tetap bertahan menunggu pernyataan sikap anggota DPRD Banyumas terhadap UU Cipta Kerja.
Karena mengabaikan peringatan polisi, pada pukul 20.00 WIB polisi menyemprotkan air melalui kendaraan water canon. Setelah itu, polisi melontarkan gas air mata ke arah kerumunan massa yang mulai berpencar menyelamatkan diri.
Wishnu menyatakan polisi telah bertindak sesuai prosedur dalam pembubaran demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut. Ia membantah kabar hoaks yang menyebut ada aksi perusakan.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Sempat Tangkap 4 Orang
“Kami jelaskna SOP yang sudah kami terapkan, apabila ada hal-hal yang tidak berkenan ya kami sampaikan mohon maaf,” kata dia.
Wishnu juga membenarkan ada indikasi aksi Kamis malam ditunggangi pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, ia tak menjelaskan pihak yang diduga menunggangi aksi mahasiswa tersebut.
Memang, massa aksi demonstrasi di Alun-alun Purwokerto tak hanya terdiri dari mahasiswa. Sejumlah kelompok di luar mahasiswa juga ikut berdemonstrasi.
Malam itu, polisi juga sempat menangkap empat peserta aksi untuk dimintai keterangan. Polisi melepas keempatnya setelah meminta keterangan malam itu juga.
“Diamankan bukan ditangkap, kami amankan empat orang. Tidak ada (provokator), karena provokator itu, kalau provokator (berarti) ada rusuh,” kata dia.
Meski begitu, Kapolresta Banyumas dan Rektor UMP sepakat unjuk rasa merupakan hak konstitusional warga negara yang dilindungi undang-undang. Wishnu dan Anjar menyatakan tidak berhak melarang mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa.
Rektor UMP, Anjar Nugroho menyatakan bisa memahami tindakan kepolisian. Namun, Anjar meminta polisi menempuh cara yang lebih aman ketika membubarkan aksi mahasiswa.
“Cara yang bisa meminimalisir korban, baik peserta aksi maupun aparat kepolisian,” ujar Anjar.
Advertisement
Respons Mahasiswa
Koordinator lapangan aksi Aliansi Serikat Masyarakat Bergerak (Semarak) Banyumas, Fakhrul Firdausi, menyayangkan tindakan kepolisian yang dinilai represif.
Mahasiswa sepakat aksi paling malam akan berlangsung hingga pukul 21.00 WIB. Namun pukul 20.00 WIB, polisi sudah bergerak membubarkan massa.
Perihal waktu aksi, Polresta Banyumas mengacu pada Peraturan Kapolri No 9 tahun 2008 yang menyebut unjuk rasa harus berakhir paling lambat pukul 18.00 WIB. Sementara mahasiswa merujuk pada UU nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Di undang-undang ini tidak disebut batasan waktu untuk berunjuk rasa.
“Memang teman-temen menyatakan bertahan sampai tuntutan ditandatangani, bupati dan DPRD mau menyatakan sikap. Kita sudah pasang skenario paling malam sampai pukul sembilan, ketika pukul sembilan tidak ditemui ya sudah lah,sudahlarut malam kita pulang,” katanya ketika dihubungi melalui sambungan telepon.