Cerita Pilu 2 Bocah Korban Bom Molotov Samarinda, Tangan Mengeras Seperti Kayu

Keduanya matanya bengkak dan luka bakar kaki kanannya mulai membusuk

oleh Abelda RN diperbarui 19 Okt 2020, 02:00 WIB
Bocah korban bom molotov di Samarinda. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Liputan6.com, Samarinda - Langkah kaki Trinity Hutahean (7) tertatih bahkan terkadang tersungkur. Namun, ia terus bangkit memasuki pelataran Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim), lokasi teror bom beberapa tahun lalu.

“Pergi ke gereja termasuk peristiwa menyenangkan buatnya,” kata ibunya, Sarina Gultom saat dihubungi, Sabtu (17/10/2020).

Kondisi fisik Trinity berbeda dibandingkan bocah sepantaran. Keduanya kaki tidak tumbuh normal, tangan mengeras seperti kayu dan kulitnya bekas luka bakar.

Siswi sekolah dasar Samarinda Seberang ini menjadi korban bom molotov Gereja Oikumene pada bulan November 2016 silam. Ia menderita luka bakar bersama korban Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) dan Anita Kristobel (6).

Aksi keji pelaku teror Juhanda, alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia pun memakan korban jiwa Intan Olivia Banjarnahor (2,5).

Trinity mengalami luka bakar lebih setengah dari tubuhnya. Lukanya menyebar setiap jengkal badan, tangan, kaki, hingga sebagian muka.

Sesaat kejadian, bocah malang ini langsung ditangani intensif rumah sakit AW Sjahranie Samarinda. Pihak medis berusaha maksimal menangani penyebaran infeksi dampak luka bakar.

“Selama tiga bulan terbaring di ruang ICU rumah sakit,” papar Sarina.

Namun selama berbulan-bulan itu, kondisi Trinity tidak kunjung membaik. Keduanya matanya bengkak dan luka bakar kaki kanannya mulai mengalami pembusukan.

“Saya harus membawa anak saya memperoleh pengobatan medis lebih baik,” tegas Sarina.

Sehubungan itu, Sarina pun berinisiatif menerbangkan Trinity ke Tiongkok agar memperoleh pengobatan lebih baik. Di sini, pihak medis negeri tirai bambu mengupayakan operasi cangkok kulit demi mengobati korban bom ini.

“Dokter memasang balon di punggung Trinity untuk menumbuhkan jaringan kulit. Jaringan kulit ini lantas dicangkok di atas permukaan luka bakar,” tuturnya.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Biaya Tinggi Pengobatan

Bocah korban bom molotov di Samarinda. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Sarina dibuat terkesima akan kecanggihan teknologi medis Tiongkok. Mereka membantu jemari tangan kiri Trinity dulunya kaku jadi lebih lentur. Termasuk pula membaiknya tampilan jaringan kulit.

Selama empat tahun, keduanya pulang pergi berobat ke China. Sudah tidak terkira biaya dihabiskan selama pengobatan.

“Saya menghabiskan biaya Rp2 miliar untuk berobat ke China. Pengobatan masih butuh biaya besar hingga dia tumbuh dewasa,” dia menambahkan.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) enggan menanggung biaya pengobatan Trinity.

“Alasannya terbentur minimnya anggaran mereka,” ungkap Sarina.

Sementara itu, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga nasibnya setali tiga uang dialami Trinity. Orang tua korban, berjuang nyaris sendirian menyelamatkan masa depan putranya.

“Dana diupayakan keluarga, para relawan dan bantuan negara,” kata ibu korban Martina Piur Novita Tagala (43.

Alvaro mengalami luka bakar 30 persen di area kepala, tangan, dan paha kanan. Proses penyembuhan berjalan lambat selama berobat di rumah sakit AW Sjahranie. Bahkan, luka bakar di jari kanannya sempat membusuk serta timbul nanah.

Tidak menunggu lama, Alvaro dibawa berobat ke Kuala Lumpur, Malaysia.

“Proses pembersihan bekas luka tidak maksimal di sekitar jari tangan sehingga darah kotor menempel di tulang. Untung sempat tertangani sehingga tidak amputasi,” ujar Novita.

Selama enam bulan bulan tahun 2017, medis Kuala Lumpur mengupayakan percepatan pertumbuhan kulit area kepala. Luka bakar Alvaro memang sebagian besar ada di area kepala.

“Dokter memasang balon di dalam kulit kepala mempercepat pertumbuhan kulitnya,” tutur Novita yang menghabiskan total biaya pengobatan Rp1 miliar.

Meskipun begitu, baik Novita dan Sarina tidak terlalu mempermasalahkan besaran biaya. Keduanya justru risau perkembangan mental Alvaro dan Trinity kala dewasa nanti.

“Alvaro tumbuh menjadi anak yang rendah diri. Perundungan dialaminya saat di sekolah,” ungkap Novita.

Sebagai seorang ibu, Novita mengaku turut terluka mendapati penderitaan anaknya. Di sisi lain, ia harus membesarkan hati anaknya akan kekurangan fisiknya.

“Sebagai ibu, tidak terkira sedihnya. Tapi saya harus kuat agar Alvaro juga bisa kuat,” dia menegaskan.

Sehubungan itu, Novita pun rajin membawa Alvaro konsultasi ke dokter psikolog. Beberapa kali, bocah ini masih mengeluhkan trauma pascaserangan bom.

“Dia takut kalau melihat api dan suara keras. Perlahan ketakutannya bisa dihilangkan,” ujarnya.

Demikian juga Sarina yang tidak lelah memotivasi Trinity. Sebagai orang tua, ia meminta Trinity menutupi kekurangan dengan kelebihan lainnya.

“Saya minta Trinity menutupi kekurangan fisik dengan kemampuan akademis,” ujarnya.

Trinity menjadi pusat perhatian keluarga Sarina. Seluruh perhatian dicurahkan sepenuhnya demi kemajuannya.

“Kalau perasaan saya sendiri sudah tidak penting, sekarang waktunya memberikan 100 persen untuk Trinity,” dia menegasan.

 


Anggaran LSPK di Masa Pandemi

Sementara itu, LPSK juga dalam posisi pelik. Sumber daya keuangannya tidak mampu mengakomodasi kepentingan korban pidana jumlahnya mencapai 490 orang.

“Kami paham mayoritas korban terorisme harus memperoleh penanganan serius, sebagian malah harus ditangani seumur hidup,” tutur Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.

Edwin mencontohkan korban bom Kedutaan Australia tahun 2004 yang butuh pemasangan rutin implan rahang. Keterlambangan pemasangan implan berdampak pusing luar biasa bagi korban.

“Artinya, kami harus bijak dalam perlindungan saksi dan korban. Selain menangani kasus lama juga mengakomodir kasus baru juga,” ungkapnya.

Di sisi lain, LPSK hanya memperoleh alokasi anggaran Rp50 miliar terpotong kondisi Covid 19, belanja rutin pegawai, dan investigasi korban. Praktis, lembaga hanya mengalokasikan belanja rehabilitas saksi dan korban sebesar Rp12 miliar.

“LPSK memang memperoleh tambahan anggaran tambahan sebesar Rp17 miliar. Namun jumlah ini jauh dari mencukupi,” keluhnya.

Apalagi sesuai amanat undang undang, LPSK menangani saksi dan korban kasus terorisme, kekerasan anak dan perempuan, tindak pidana pencucian uang. Korban kasus tindak pidana pun sudah tidak boleh dicover asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Korban-korban dari berbagai kasus pidana ini menjadi tanggungan LPSK,” papar Edwin.

Di tengah keterbatasan dana ini, LPSK akhirnya menggandeng lembaga negara untuk berperan serta; kementerian, BUMN, pegadaian syariah, lembaga sosial, dan pemerintah daerah. Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bandung menjadi contoh keterlibatan pemda.

“Pemprov Kaltim semestinya bisa lebih berperan dalam kasus bom Gereja Oikumene Samarinda. Payung hukumnya sudah ada di Undang-Undang LPSK, tinggal komitmen mereka saja,” ujar Edwin.

Bantuan penyintas korban terorisme seluruhnya lewat proses pengadilan. Hakim menentukan besaran bantuan pengobatan berhak diterima korban.

“Hakim yang menentukan besaran bantuan pengobatan, tidak serta merta seperti keinginan para korban,” ujar Direktur Perlindungan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Brigadir Jenderal Herwan Chaidir.

Total penyintas korban terorisme di Indonesia diperkirakan berjumlah 900 jiwa. Pengadilan sudah memutuskan 230 jiwa di antaranya memperoleh bantuan.

“Besaran sesuai keputusan hakim yang menentukan, sesuai besar kecilnya dampak dialami penyintas,” ungkap Herwan.

Herwan mengatakan, BNPT rutin memverifikasi penyintas terorisme agar memperoleh penanganan LPSK. Jumlahnya terus meningkat sejak temuan kasus pertama bom Bali I hingga sekarang.

“Penyintas sudah dilakukan verifikasi sebanyak 517 orang,” paparnya.

Sehubungan itu, Herwan memaklumi keterbatasan LPSK dalam menampung tuntutan korban. Negara pun dalam kondisi perekonomian sulit di tengah penanganan pandemi Covid 19.

“Negara dan LPSK sudah memberikan bantuan sesuai kemampuannya. Kami tentunya juga tidak bisa membantu selamanya pada korban. Ini selalu disampaikan pada korban,” tuturnya.

 


Kaltim dan Terorisme

Provinsi Kaltim memang dianggap rawan jalur perlintasan sekaligus persembunyian pelaku teror. Dalam pelbagai kasus ada temuan pelaku teror bersembunyi di provinsi kaya minyak gas ini.

"ISIS meskipun kalah perang, simpatisan ISIS banyak. Termasuk di Samarinda," kata Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltim Achmad Jubaidi.

Contoh terlawas, ditangkapnya pelaku bom Bali I Ali Imron bersembunyi di Delta Mahakam Kutai Kartanegara (Kukar) tahun 2003. Demikian juga pelaku bom Samarinda. Juhanda bersembunyi ke Sulawesi Selatan berpindah ke Samarinda.

Selama di Samarinda, residivis teror ini bergabung Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Kaltim. JAD sendiri merupakan organisasi yang berafiliasi dengan ISIS.

Selama tahun 2019, Detasemen 88 menggerebek tiga tempat dan menangkap tiga orang jamaah JAD terkait bom di Medan, Sumatera Utara. Sedangkan ada catatan pelaku teror dibekuk di beberapa kota di Kaltim.

Sebelum kejadian bom Samarinda, polisi membekuk pelaku teror di Sepinggan Balikpapan, awal 2016. Pelaku bernama Fajrun bin Slan diduga terkait pengeboman di Sarinah Jakarta. Selepas itu terjadilah peristiwa pelemparan bom Gereja Oikumene.

Perkembangan terbaru ini, polisi menangkap pemuda tanggung asal Berau inisial MZ (19) alias Abu Arkam alias Muhammad Al Indunisiy pada pertengahan 2019. Tersangka terkait jamaah JAD Sumut.

MZ terindikasi memiliki hubungan erat dengan Abu Hamzah yang sudah dibekuk polisi. Ia berkomunikasi aktif dan berniat melawan siapapun yang berseberangan dengan ISIS.

Dalam pemeriksaan pun diketahui MZ akan melakukan amaliah merampok bank sebagai modal jihad. Mereka pun menyebut polisi dengan istilah thogut sebagai sasaran utama serangan pelaku teror tunggal (lone wolf) ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya