Legenda Perahu Joko Tingkir Didorong Buaya dan Muasal Nama Dukuh Butuh Sragen

Kayu itu diyakini masyarakat setempat berumur ratusan tahun karena kayu itu merupakan sisa perahu atau gethek yang pernah dinaiki Joko Tingkir

Oleh SoloPos.com diperbarui 19 Okt 2020, 03:00 WIB
Seorang warga melihat-lihat kondisi kayu tua yang diyakini sebagai perahu atau gethek Jaka Tingkir di Punden Domba di Dukuh Butuh, Desa Karangudi, Ngrampal, Sragen, Jumat (16/10/2020). (Solopos/Tri Rahayu)

Sragen - Bongkahan kayu yang keropos dan tak berbentuk membujur sepanjang empat meter di sebuah rumah-rumahan permanen beratap asbes di Punden Domba. Bongkahan kayu yang diduga perahu Joko Tingkir terletak di perbatasan RT 015 dan RT 014, Dukuh Butuh, Desa Karangudi, Kecamatan Ngrampal, Sragen.

Kayu itu diyakini masyarakat setempat berumur ratusan tahun karena kayu itu merupakan sisa perahu atau gethek yang pernah dinaiki Joko Tingkir. Perahu itu didorong sekawanan buaya saat melintas di Bengawan Solo pada awal abad XVI.

Perahu tersebut ditempatkan di dekat pohon kesambi yang umurnya lebih tua daripada umur gethek tersebut. Lingkungan sekitar pohon kesambi itu disebut Punden Domba.

Di sebelah timur punden itu terdapat sendang tetapi dibuat seperti sumur yang dikenal dengan nama Sendang Klampok karena dulu ada pohon klampok, yakni seperti sejenis jambu air. Kini, pohon klampok itu tiada dan tergantikan dengan pohon beringin.

“Dulu pernah ada banjir karena luapan Bengawan Solo. Perahu itu bisa berjalan sendiri sampai Dukuh Jaten [masih wilayah Karangudi] dan saat menjelang surut, perahu itu kembali lagi ke lokasi sekarang,” ujar Suwarno, 60, warga RT 015, Dukuh Butuh, saat berbincang dengan Solopos.com, Jumat (16/10/2020), dikutip Solopos.com.

Cerita itu dibenarkan sesepuh Dukuh Butuh, Mbah Naryo, 74, saat ditemui secara terpisah. Mbah Naryo yang tinggal di RT 014, Butuh, itu pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa perahu Jaka Tingkir yang berjalan sendiri saat masih kecil dan masih berbentuk perahu yang panjangnya sampai 15 meter.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Perjalanan Jaka Tingkir

Galangan kapal Cilacap adalah salah satu yang terkenal di Indonesia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

“Dulu ada rantai yang terbuat dari emas dan cadiknya. Sekarang rantai dan cadik itu sudah menghilang menjadi gaib. Cerita dari simbah-simbah dulu, Kiai Karebet [Jaka Tingkir] menaiki perahu itu muter-muter dan akhirnya tiba di dukuh ini bisa menemukan apa yang dibutuhkan sehingga diberi nama Dukuh Butuh. Tempat muter-muter itu jadi Dukuh Nguter,” kata Mbah Naryo.

Mbah Naryo mencatat Dukuh Butuh yang ada di Sragen berkaitan dengan petilasan Jaka Tingkir. Ia mencatat ada empat dukuh dengan nama Butuh, yakni Butuh di Banaran Sambungmacan, Butuh di Wedi, Jenar, Butuh Karangudi Ngrampal, dan Butuh di Gedongan, Plupuh.

Mbah Naryo tak mengetahui asal muasal perahu Jaka Tingkir itu. Ia menduga perahu itu dibuat dari berbagai jenis kayu dan disabda jadi perahu.

Seorang pemerhati sejarah yang tinggal di Dukuh Butuh, Banaran, Sambungmacan, Priyanto, 55, mencatat ada tujuh nama Butuh di wilayah Sragen dan Ngawi yang semuanya berkaitan dengan perjalanan Jaka Tingkir.

Tercatat ada lima Butuh di Sragen, yakni Plupuh, Karangudi Ngrampal, dekat Cemeng Sambungmacan, Jenar, dan Banaran Sambungmacan. Dua nama Butuh lainnya ada di Karanganyar, Ngawi, dan Widodaren.

“Perahu itu dibuat Ki Ageng Banyu Biru yang masih bersaudara dengan Ki Ageng Pengging atau ayahnya Jaka Tingkir. Setelah geger di Keraton Pengging, Jaka Tingkir yang masih timur diungsikan oleh Ki Ageng Tingkir di Dukuh Karebet [Masaran] dan diasuh oleh seorang mbok randa [janda]. Di dukuh itulah, Jaka Tingkir dikenal dengan nama Mas Karebet. Setelah dewasa, Mas Karebet menanyakan ayah dan ibunya. Oleh janda itu diberitahu supaya mencari Ki Ageng Banyu Biru arahnya ke timur laut,” ujarnya.

 


Perahu Jaka Tingkir

Dalam pencariannya, Joko Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru yang sudah menyiapkan perahu di sebuah embung. Perahu itu terus berputar-putar hingga datang calon pemiliknya yang tidak lain Jaka Tingkir.

Priyanto melanjutkan setelah memberi berkal ilmu kepada Jaka Tingkir, Ki Ageng Banyu Biru memintanya mencari kedua orang tuanya dan turun pertama di perairan Bengawan Solo. Wilayah itu kini dikenal sebagai Kedung Tingkir, lokasinya di sekitar Ngrejeng, Sambungmacan.

Dari lokasi itu, Jaka Tingkir bergerak ke timur dan berhenti di Butuh wilayah Jenar, kemudian berhenti di Butuh Banaran. Saat di Butuh Banaran itulah, Jaka Tingkir bertemu ibunya, Nyi Ageng Pengging.

Makam Nyi Ageng Pengging masih ditemukan di Butuh, Banaran. Oleh ibunya, Jaka Tingkir supaya belajar kepada sosok syekh yang menjadi guru para wali yang dikenal dengan nama Syekh Iman Sampura.

“Saat itulah, Jaka Tingkir diarahkan untuk mencari Sunan Kalijaga di alas Ketangga. Joko Tingkir pun kembali menaiki perahu menuju ke Butuh Karanganyar, Ngawi, kemudian berhenti di Dukuh Butuh wilayah Payak, Widodaren, Ngawi. Jaka Tingkir berjalan darat menuju alas Ketangga. Di alas itulah, Jaka Tingkir bertemu Sunan Kalijaga dan Brawijaya V [Raja Majapahit]. Jaka Tingkir ini masih keturunan Brawijaya V. Di tempat itu, Jaka Tingkir menerima wahyu raja,” terangnya.

Setelah dari situlah, Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan mencari ayahnya, Kebo Kenanga. Saat hendak mengambil perahu, ada raja buaya yang mengadang yang bernama Raja Puan atau dikenal dengan nama Baureksa.

Jaka Tingkir bertarung melawan buaya itu dan akhirnya bisa menang. Raja buaya itu ingat dengan pesan Brawijaya V sebelum mengutuknya jadi buaya.

“Kalau ingin menjadi manusia kembali, Raja Puan harus membantu pemuda yang bernama Tingkir. Akhirnya Joko Tingkir menaiki perahu dengan melawan arus Bengawan Solo menuju barat. Saat itulah perahu Jaka Tingkir didorong oleh sekawanan buaya anak buah Raja Puan. Hingga sampai di Butuh Gedongan bertemu Ki Ageng Pengging,” terang Priyanto.

Dapatkan berita menarik Solopos.com lainnya, di sini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya