Liputan6.com, Jakarta - Dua tahun berlalu, namun regulasi rokok elektrik di Indonesia melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 belum lagi terdengar kabarnya. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan turut mengawal revisi PP Nomor 109 Tahun 2012.
Revisi PP ini mengemuka sejak 2018. Peraturan tentang penggunaan rokok elektrik di Indonesia akan dimasukkan kedalam PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Advertisement
Lalu, apa kabar revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 sekarang? Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Riskiyana Sukandhi Putra hanya menegaskan, pembahasan revisi PP tersebut masih terus dilakukan.
"Ya, intinya masih dalam pembahasan. Soal kendala, tantangan, dan hambatan pembahasan itu yang bisa menjelaskan bagian Biro Hukum dan Organisasi," ujar Riskiyana saat dialog Bahaya dan Kebijakan Pengendalian Rokok Elektronik di Indonesia, Kamis 15 Oktober 2020.
"Mereka yang memegang peran tahapan-tahapan pembahasan antar kementerian/lembaga. Saya hanya bisa menjelaskan apa yang menjadi kewenangan saya selaku Direktur Promkes (menyampaikan secara umum revisi PP)," imbuhnya.
Video Pilihan
Pengamanan Kandungan Zat Adiktif
Isi PP Nomor 109 Tahun 2012 memuat pengamanan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Aturan ini meliputi produk tembakau (rokok dan produk tembakau lain), tanggung jawab pemerintah dan daerah, penyelenggaraan pengamanan, peran masyarakat, dan pembinaan pengawasan.
"Dalam hal pemasaran produk tembakau harus ada kebenaran kandungan kadar nikotin dan tar yang sesuai dengan klem pada kemasan. Kami melakukan pengawasan terkait pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau," kata Riskiyana.
"Itu juga sudah diatur di dalam PP 109 Tahun 2012. Kami juga menerima pelaporan contoh kemasan dan pengujian hasil kadar nikotin dan tar dari industri atau importir. Kemudian kami juga melakukan pengawasan iklan produk tembakau," ia menambahkan.
Advertisement
Kajian Dampak Kesehatan
Khusus rokok elektrik yang pengaturannya dimasukkan ke dalam PP 109 Tahun 2012, ada sejumlah langkah yang diusulkan.
"Ada beberapa usulan terhadap revisi PP 109 Tahun 2012, kami sudah sampaikan. Dan ini berproses sudah cukup lama. Usulan ditujukan ke Kementerian Kesehatan sebagai leading sector dalam peraturan ini," kata Riskiyana.
"Sebenarnya kalau boleh usul (bisa) juga mengundang Menko PMK Muhadjir Effendy. Karena yang mengkoordinir akhirnya nanti PMK, lalu menyampaikannya kepada Bapak Presiden Joko Widodo," ujarnya.
Adapun langkah yang diusulkan untuk revisi PP 109 Tahun 2012, yakni memasukkan kajian dampak kesehatan rokok elektrik oleh pihak-pihak terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan, organisasi profesi, dan rumah sakit. Ketentuan lebih lanjut dari rokok elektrik akan diatur kedalam Peraturan Menteri.
Potensi Toksisitas dan Iritasi
Kajian dampak kesehatan rokok elektrik yang menjadi usulan revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 dinilai Riskiyana sangat penting. Ini didukung berbagai temuan kasus terkait efek kandungan zat adiktif pada rokok elektrik.
"Rokok elektrik sendiri kan termasuk dalam produk dipanaskan atau jenis-jenis produk yang di panaskan. Dilihat dari kandungan yang kita temukan, memang ada kandungan yang berbahaya. Mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia. Uap yang dihasilkan juga mengandung bahan berbahaya yang mirip dengan rokok konvensional," ujar Riskiyana.
"Bahkan ada yang terbukti mengandung logam berat. Kandungan-kandungan berbahaya ini masuk kategori narkotika atau psikotropika. Berdasarkan beberapa literatur tahun 2016, potensi toksisitasnya untuk nikotin menimbulkan adiksi," dia memaparkan.
Adanya kandungan zat adiktif pada rokok elektrik, efek yang terjadi dapat menimbulkan iritasi saluran napas atau paru-paru.
"Zat lain yang bersifat karsinogenik juga menimbulkan inflamasi paru jantung sistemik dan kerusakan sel. Pada prinsipnya, kami mendukung pengaturan kajian dampak kesehatan rokok elektrik dalam revisi PP Nomor 109 Tahun 2012," lanjut Riskiyana.
Advertisement