Liputan6.com, Makassar - Bidang Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar menargetkan perampungan penyelidikan kasus dugaan pungutan liar (pungli) di kawasan kuliner Kanre Rong, Makassar akhir bulan Oktober 2020.
"Insya Allah kita target penyelidikan rampung akhir bulan ini," kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Makassar, Adriansyah Akbar.
Hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh bidang Intelijen nantinya, lanjut dia, akan diserahkan ke bidang Pidana Khusus (Pidsus) guna penyelidikan lebih lanjut.
"Hasil dari Intelijen ini nantinya dilimpahkan ke Pidsus untuk proses hukum lanjut," jelas Adriansyah.
Baca Juga
Advertisement
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pengelola kawasan kuliner Kanre Rong Makassar, M. Said mengatakan dirinya sangat menghargai proses hukum yang sedang berjalan ditingkat Kejari Makassar.
Namun menurutnya ada hal yang perlu diketahui oleh masyarakat khususnya warga Makassar tentang perjalanan dirinya meniti keberlangsungan aktivitas kawasan kuliner Kanre Rong diantaranya meniti lapak untuk Pedagang Kaki Lima (PKL) yang saat ini diketahui sudah cukup ramai dengan banyaknya pengunjung setiap hari.
Tentunya, kata dia, untuk mencapai keberhasilan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Dimulai dari menghadapi berbagai karakter PKL yang tentunya harus dimaklumi satu persatu. Kemudian nyawa juga menjadi taruhan ketika melakukan kesalahan sedikit saja.
"Setelah adanya tanda-tanda keberhasilan atas pengelolaan Kanre Rong ini. saya secara pribadi diserang oleh orang-orang yang sama sekali tidak memahami bagaimana perjuangan untuk dapat dipercaya oleh PKL yang direlokasi ke Kanre Rong agar mau menempati lapak waktu itu, dimana situasinya saat ini sudah menjadi perhatian publik," kata Said kepada Liputan6.com, Minggu (18/10/2020).
Memahami PKL untuk direlokasi, lanjut dia, berbeda dengan situasi menjalankan program lainnya, karena tentu tidak sedikit cobaan yang dihadapi utamanya dari tuntutan PKL utamanya PKL tahap pertama yang menempati lapak dengan dasar keberadaan Tanda Daftar Usaha (TDU) yang terdaftar sebagai PKL.
"Mereka sama sekali terkadang tidak menghiraukan aturan main yang dijalankan oleh pengelola berdasarkan regulasi yang ada. Namun sebagai pengelola itu menjadi konsekuensi dalam bertugas dimana harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan PKL itu sendiri yang mau tidak mau, harus terakomodir dengan baik," terang Said.
Ia menceritakan awal mula lapak di kawasan kuliner Kanre Rong terbangun, tepatnya kurang lebih 2 tahun lalu. Hampir tidak ada masyarakat apalagi PKL saat itu yang mau melirik untuk menempati lapak yang sudah terbangun atau ada beberapa PKL yang mencoba berdagang, satu-persatu mundur karena kurangnya pengunjung untuk berbelanja dan pada akhirnya mereka mengalami kebangkrutan sementara masa Tanda Daftar Usaha (TDU)nya waktu itu masih berjalan.
"Karena TDU masih aktif, kami tetap berharap saat itu agar pedagang yang berhenti tetap berupaya untuk kembali berjualan di Kanre Rong dengan berbagai dukungan yang kami layani agar tetap bertahan," ungkap Said.
Solusi Pengelola agar Kanre Rong Ramai
Demi menjalankan sebuah amanah, maka semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan Kanre Rong diminta untuk tetap bersabar dan tetap memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada PKL untuk berusaha di lokasi kanre Rong.
Ia mengaku memahaml betul kondisi yang ada saat itu. Dimana pertama kali dibentuknya lapak Kanre Rong ditempati oleh PKL yang berdagang di beberapa titik badan jalan Kota Makassar yang tentunya sangat mengganggu lalu-lintas. Mereka kemudian direlokasi ke Kanre Rong.
"Saat itu kondisinya PKL yang ada tidak semua pedagang makanan sedangkan dagangan yang menjadi prioritas di Kanre Rong adalah PKL makanan dan minuman. Otomatls ketika PKL yang tadinya memiliki usaha misalnya tempel ban, setelah direlokasl ke Kanre Rong, usaha mereka tentu beralih 100 persen ke jajanan makanan dan minuman," ucap Said.
Tak hanya itu, lanjut dia, dengan peralihan usaha Iini PKL waktu itu, hampir setiap bahan makanan yang tersimpan, terkadang busuk dengan sendirinya karena sedikitnya para pengunjung. Bahkan banyak yang gulung tikar akibat situasi yang tidak menguntungkan waktu itu.
"Sedangkan pada sisi lain, pemilik lapak yang telah terdaftar, masa penguasaannya hanya sebatas 2 tahun, selanjutnya harus bermohon kembali kepada Pemerintah Kota Makassar melalui UPTD," kata Said.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa penataan PKL Kanre Rong semata-mata upaya kreatif yang dilakukan Pemerintah Kota Makassar melalui proses penetapan lokasi, pemindahan, penertiban dengan tidak melepaskan tanggungjawab agar kepentingan umum tetap terjaga, sosial estetika, kesehatan, ekonomi mandiri, keamanan, ketertiban dan dijamin kebersihannya yang tentu kesemuanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk setiap PKL yang akan memperoleh lapak di kawasan kuliner Kanre Rong harus memiliki Tanda Daftar Usaha (TDU) yang diterbitkan oleh pejabat tertentu. Dimana, kata dia, kegunaan TDU ini sebagai bentuk alat administrasi kendali yang harus pula diikuti oleh setiap PKL, utamanya syarat-syarat sesuai yang diatur pada Perwali Nomor 29 tahun 2017 tentang padagang kaki lima Kanrerong Karebosi dan TDU yang dimaksud memiliki masa berlaku selama 2 tahun apabila TDU-nya tidak diperpanjang.
"Jadi saya kira kita bersama harus mengetahui itu semua tentang peliknya perjalanan pengelolaan Kanre Rong ini," tutur Said.
Jika berbicara aturan, ia mengaku banyak kebijakan-kebijakan yang juga telah dirasakan oleh seluruh Pedagang Kaki Lima. Contohnya saja, kata dia, setiap PKL seharusnya memperpanjang TDU-nya dulu lalu bisa berjualan dan menempati lapak sejak diterbitkannya TDU yang bersangkutan. Namun sebagai pengelola tentu punya kemanusiaan.
Dengan mengedepankan kondisi PKL yang awal-awalnya memasuki Kanre Rong dengan berkorban bahkan memulai usahanya dengan modal awal pertama untuk mengisi dagangannya, namun beberapa kali mengalami kebangkrutan seperti yang telah dijelaskan diatas.
Dengan banyaknya PKL yang tidak sanggup lagi berdagang, pada akhirnya ada beberapa PKL yang sempat menyewakan lapaknya kepada pedagang lain.
"Dan jujur, saya memang ketahui hal itu terjadi, namun harus pula kita sadari secara kemanusiaan, kebijakan itu penting untuk diambil agar semua lapak yang ada dapat beroperasi sebagaimana mestinya," ujar Said.
Meski demikian, ia tak memahami jika kebijakan yang diambilnya itu seakan-akan membuatnya berstatus tertuduh dan seakan-akan ia dianggap telah memperoleh keuntungan dari hasil sewa-menyewa dari pengguna awal yang diserahkan kepada pengguna baru. Padahal yang menyewakan tempat tersebut, justru pemegang TDU yang selama ini belum habis masa berlaku TDU-nya.
"Coba saja kita bayangkan, jika semua lapak yang bangkrut kemudian tidak diganti PKL lainnya, justru itu kurang baik kelihatan dan bisa saja pengunjungnya pun semakin berkurang dan pada akhirnya Kanre Rong ini hanya tinggal nama dan itu yang kami khawatirkan," ungkap Said.
Terlepas dari itu, ia juga menyadari bahwa proses hukum yang sedang berjalan harus dijunjung bersama tanpa pengecualian, meski di waktu tertentu kebijakan atau kearifan lokal juga harus menjadi perhatian utama dalam menentukan suatu keadaan tertentu, khususnya dilakukan ]ika keadaan tersebut sangat dibutuhkan dalam mencapai cita-cita regulasi itu sendiri
"Sebab jika waktu itu kami tetap berkeras untuk tetap dalam koridor aturan dalam meraih simpatik pedagang, maka saya tidak yakin kalau hari ini Kanre Rong bisa seramai yang kita llhat bersama. Sebab pengelolaan lapak-lapak Kanre Rong sama sekali tidak bertujuan untuk mengelar profit atau keuntungan.
"Justru keberadaannya adalah semata-mata untuk menumbuhkan usaha Kreatif PKL dan sekaligus mendukung pada sektor pariwisata yang waktu itu adalah salah satu program unggulan Pemerintah Kota Makassar," ujar Said.
Di akhir kata ia berharap pihak-pihak yang sudah menuduh dirinya telah mengambil keuntungan di balik pengelolaan PKL Kanre Rong, seharusnya memiliki bukti yang cukup dan tidak menuangkan opini-opini atau asumsi-asumsi yang nantinya dapat menjadi keresahan pedagang, pengelola serta masyarakat Kota Makassar pada umumnya.
"Tentu kami punya kesabaran juga jika ini terus menerus merebak dan menyudutkan kami selaku UPTD Kanre Rong yang dianggap telah melakukan sebuah kejahatan, saya kira tidak menutup kemungkinan kami pun akan mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum," Said menandaskan.
Advertisement
Pengakuan Pedagang
YL, seorang pedagang yang baru beberapa hari berjualan di kawasan kuliner Kanre Rong, mengaku menyewa kiosnya dengan harga Rp8 juta. YL menyebutkan bahwa dirinya menyewa kiosnya itu dari Muhammad Said selaku pengelola kawasan kuliner Kanre Rong.
"Saya tanya langsung ke pengelola bagaimana prosedur untuk menyewa kios di sini, pengelola atas nama Pak Said, dia sebutkan kios yang mengadap keluar itu Rp700 ribu dan yang menghadap kedalam itu Rp500 ribu per bulan," kata YL saat ditemui di kawasan kuliner Kanre Rong, Selasa 15 September 2020 sore.
Tak butuh waktu lama, pihak pengelola kemudian menunjukkan salah satu lapak kepada YL. Pihak pengelola kemudian menyebutkan bahwa lapak tersebut hanya bisa disewa per tahun.
"Awalnya dikasih Rp8,4 juta per tahun, katanya sekarang tidak ada lagi lapak yang di kontrakan perbulan. Terus ditawar Rp7 juta, tapi katanya tidak bisa karena sudah banyak orang yang mau ini tempat, tapi dealnya itu Rp8 juta," jelas YL.
Setelah sepakat untuk membayar Rp8 juta ongkos sewa kios dengan luas 2x2 meter itu, YL pun langsung memberikan uang tunai tersebut kepada Muhammad Said selaku pengelola kawasan kuliner Kanre Rong. YL sempat meminta tanda bukti penyewaan lapak kepada Muhammad Said, namun saat itu Muhammad Said mengatakan bahwa akan menyerahkan buktinya pada keesokan harinya.
"Saya langsung bayar ke Pak Said. Saya kasih uang Rp8 juta langsung dan besoknya itu saya diberikan kuitansi. Yang bertanda tangan di kuitansi itu bukan Pak Said, tapi atas nama NR," aku YL.
Belakangan terungkap, ternyata lapak yang disewa oleh YL bukanlah milik pengelola kawasan kuliner Kanre Rong, melainkan milik seorang pedangan kaki lima yang pada Januari 2019 direlokasi ke kawasan kuliner itu.
"Setelah beberapa hari berjualan saya baru tahu kalau ada pemilik pertamanya ini kios atas nama NR," ungkap YL.
Sementara NR, pemilik pertama kios yang disewa oleh YL mengakui bahwa kios itu adalah miliknya. Pria berusia 65 tahun itu menyebutkan bahwa dirinya telah lama mencari orang yang mau menyewa kiosnya tersebut.
"Saya memang sudah lama cari orang yang mau sewa," kata NR.
NR tiba-tiba didatangi oleh Muhammad Said dan mengatakan bahwa ada seseorang yang hendak menyewa lapaknya. Saat itu, NR langsung diminta untuk menanda tangani selembar kuitansi yang dibawa oleh Muhammad Said.
"Saya tidak perhatikan, saya langsung tanda tangan saja," ucap pria lanjut usia itu.
Ironisnya, NR hanya diberi uang sebesar Rp4,5 juta oleh Muhammad Said. Padahal nominal sewa kios itu adalah Rp8 juta.
"Saya dikasih uang dari hasil kontrak lapak saya sebesar Rp4,5 juta, yang diberikan oleh Pak Said," aku NR.
NR bahkan tidak pernah dipertemukan dengan YL, orang yang menyewa lapaknya. NR baru mengtahui siapa yang menyewa lapaknya setaelah melihat YL berjualan di lapak yang telah ia sewa.
"Saya tidak pernah bertemu dengan orang yang mau menyewa lapak saya. Nanti tau yang mana orangnya setelah ketemu di sini," ucapnya