Setahun Jokowi-Ma'ruf dan Terungkapnya Penyerang Novel Baswedan

Kabareskrim Polri mengumumkan dua anggota Polri aktif yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis sebagai pelaku penyerangan Novel Baswedan.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 20 Okt 2020, 09:00 WIB
Setahun Jokowi - Ma'ruf Amin (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Tabir gelap kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan terungkap di masa setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Dua tahun lebih, kasus ini menyita perhatian masyarakat.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo pada Jumat sore, 27 Desember 2019 mengumumkan dua anggota Polri aktif yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis sebagai pelaku penyerangan Novel Baswedan pada 11 April 2017 silam.

"Kami amankan kemarin malam di kawasan Cimanggis, Depok," kata Listyo di Polda Metro Jaya.

Kabareskrim Polri memenuhi permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Kala itu, Jokowi memberikan tenggat waktu pengusutan kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan kepada Kapolri Jenderal Idham Azis. Jokowi menyebut, paling lama Desember 2019 kasus tersebut harus terungkap.

Usai ditangkap, Rahmat dan Ronny digiring ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan selama 1X24 jam. Mereka kemudian dibawa ke Bareskrim Mabes Polri. Alasan pemindahan kedua pelaku sempat menimbulkan tanda tanya.

Akan tetapi, Karo Penmas Divisi Humas Polri yang saat itu dijabat Argo Yuwono, menolak memberitahukannya. Menurut dia, itu adalah kewenangan penyidik.

Pemeriksaan digelar untuk menyelesaikan kasus ini. Beberapa saksi termasuk korban diperiksa kembali. Handphone milik kedua pelaku turut diperiksa di Puslabfor Mabes Polri.

Tim advokasi Novel Baswedan pun mendesak kepolisian mengungkap aktor intelektual yang terlibat dalam kasus penyerangan terhadap penyidik KPK itu. Mereka tak percaya, hanya 2 pelaku tersebut yang bertindak.

"Kami mendesak agar kasus ini tidak hanya berhenti pada pelaku lapangannya saja. Tapi usut juga otak dan motif dari penyerangan itu," kata Muhammad Isnur, dalam keterangan tertulis, pada Jumat 27 Desember 2019.

Hal yang sama juga diutarakan anggota Tim advokasi Novel Baswedan, Yati Andriyani. Ia menilai penetapan dua polisi aktif sebagai tersangka penyerangan itu terkesan sebagai upaya 'pasang badan' untuk menutupi dalang kasus ini.

"Harus dipastikan bahwa yang bersangkutan bukanlah orang yang pasang badan untuk menutupi pelaku yang perannya lebih besar," kata Yati pada Jumat 27 Desember 2019.

Dalam pemeriksaan terungkap, kedua pelaku memiliki peran berbeda. Rahmat Kadir Mahulette menyiramkan asam sulfat (H2SO4) ke wajah Novel Baswedan. Sementara, Ronny Bugis hanya mengantarkan ke rumah Novel.

Tapi, motif penyerangan masih gelap. Kepolisian mengaku tak pernah menyebut, penyerangan atas dasar dendam pribadi. Dalihnya tugas kepolisian bukan menghakimi seseorang. Tapi membawa ke meja hijau.

"Polisi bukan menghakimi tapi membawa pelaku ke Penuntut Umum (PU) untuk dipersidangkan," ujar Argo.

Dia juga meminta publik mempercayakan sepenuhnya penanganan kasus penyerangan Novel Baswedan ini kepada Polri.

"Percayakan pada Polri, silakan ikuti perkembangannya," tegas Argo Minggu 29 Desember 2019.

Argo menjelaskan, tidak ada yang mendadak saat menetapkan kedua pelaku sebagai tersangka kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan. Dia menyebut, ada lima kali SPDP diterbitkan Polri sepanjang pengusutan kasus selama lebih dari 2 tahun 6 bulan itu. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Persidangan Novel Baswedan

Penyidik KPK Novel Baswedan usai memneuhi panggilan penyidik Komisi Kejaksaan di Jakarta, Kamis (2/7/2020). Novel Baswedan memberikan keterangan terkait aduan masyarakat terhadap penuntut kasus penyerangan air keras pada 2017. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Selang dua bulan, kedua tersangka dan barang bukti diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Selasa, 25 Februari 2020. Lebih dari satu bulan, Jaksa meneliti berkas perkara tersebut.

Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan pun digelar pada Kamis 19 Maret 2020. Ada tiga hakim yang menangani kasus tersebut, Djuyamto, Taufan Mandala, dan Agus Darwanta. 

Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum, Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin membacakan surat dakwaan. Dijelaskan, terdakwa Rahmat Kadir Mahulette mengaku dendam terhadap Novel Baswedan sehingga berniat memberikan pelajaran. Rahmat Kadir Mahulette bahkan mencap Novel Baswedan sebagai penghianat.

"Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)," ujar Fedrik.

Rahmat Kadir Mahulette kemudian menyusun rencana kejahatannya untuk menyerang Novel. Dia mencari alamat kediaman Novel Baswedan di google dan mempelajari rute masuk dan keluar kompleks kediaman penyidik KPK itu. 

Fredik menjelaskan, Rahmat Kadir Mahulette mencari cairan H2S04 untuk melukai Novel Baswedan. Cairan itu kemudian didapat di Pool Angkutan Mobil Gegana Polri pada Senin 10 April 2019 sekira pukul 14.00 WIB. Cairan itu pun ditaruh di sebuah tempat minum dan dibawa ke tempat tinggalnya.

Rahmat Kadir Mahulette menentukan tanggal untuk menyerang Novel Baswedan. Dipilihnya Selasa, 11 April 2017. Saat itu, Rahmat Kadir lebih dulu berkunjung ke rumahnya rekannya Ronny Bugis pada pukul 03.00 WIB sambil membawa cairan asam sulfat (H2SO4) dalam gelas (Mug) yang dibungkus plastik warna hitam.

Rahmat meminta untuk diantarkan ke Rumah Novel Baswedan. Keduanya berhenti di sekitar Masjid Al-Ikhsan yakni di ujung jembatan di belakang mobil yang terparkir.

Rahmat Kadir Mahulette duduk sambil membuka ikatan plastik warna hitam yang berisi cairan asam sulfat (H2SO4) yang tersimpan dalam Mug, sedangkan Ronny Bugis duduk di atas sepeda motor sambil mengamati setiap orang yang keluar dari Masjid Al-Ikhsan.

"Sekitar pukul 05.10 WIB Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis melihat Novel Baswedan berjalan keluar dari Masjid Al-Ikhsan menuju tempat tinggalnya," ujar Fredik.

Hingga akhirnya cairan asam sulfat (H2SO4) disiramkan ke bagian kepala dan badan Novel Baswedan. Keduanya pun langsung tancap gas meninggalkan Novel Baswedan yang tengah kesakitan itu.

Akibat penyiraman air keras, Novel Baswedan menderita luka berat di kedua matanya. Mata sebelah kiri mengalami kebutaan permanen. Sedangkan, penglihatan mata sebelah kanan menjadi sangat minim.

Dalam persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara, Djuyamto menyatakan Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis terbukti bersalah. Rahmat Kadir Mahulette diganjar hukuman 2 tahun penjara. Sementara, Ronny Bugis divonis 1 tahun 6 bulan penjara.

Putusan memang lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis selama 1 tahun penjara.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa Rahmat dan Ronny tidak terbukti punya niat awal untuk menyebabkan luka berat meski sudah merencanakan penyerangan.

"Perbuatan terdakwa telah menambahkan air aki ke dalam mug yang telah terisi air aki sebenarnya tidak menghendaki luka berat pada diri saksi korban Novel Baswedan. Sebab jika sikap batin terdakwa ingin menimbulkan luka berat, tentu terdakwa tidak perlu menambahkan air kepada mug yang telah terisi air aki yang merupakan air keras tersebut atau dengan cara lain apalagi terdakwa anggota pasukan Brimob yang terlatih melakukan penyerangan secara fisik," kata ketua majelis hakim Djuyamto.

 

 

 


Novel Baswedan Tak Terkejut Hasil Vonis

Polisi mengawal dua tersangka kasus penyiramanan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Tersangka berinisial RM dan RB dipindahkan dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim Mabes Polri untuk penyidikan lebih lanjut. (merdeka.com/Imam Buhori)

Sementara itu, Novel Baswedan mengaku tidak terkejut dengan vonis hakim yang dijatuhkan kepada kedua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis.

"Saya tidak terkejut dan hal ini tentunya sangat ironis. Karena penyimpangan yang begitu jauh dari fakta sebenarnya akhirnya mendapat justifikasi dari putusan hakim," ujar dia dalam keterangan tertulis, Jumat 17 Juli 2020.

Menurut Novel Baswedan, sejak awal persidangan banyak kejanggalan dan masalah. Dia mengaku sudah lebih dahulu mendapat informasi perihal ganjaran untuk para terdakwa sebelum hakim menjatuhkan vonis. Menurut dia, diprediksi hukuman tak lebih dari dua tahun penjara.

"Ternyata semua itu sekarang sudah terkonfirmasi," ujar dia.

Novel Baswedan bahkan sempat meminta kedua terdakwa kasus penyerangan air keras terhadapnya dibebaskan. Dia menduga Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis bukan pelaku sebenarnya.

Atas dasar itulah yang menjadi alasan Novel meminta para terdakwa yang merupakan anggota Brimob Polri dibebaskan. Novel tak mau hukum dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu.

"Sudah dibebaskan saja daripada mengada-ada," kata Novel. Dia juga tak yakin, keduanya merupakan penyerangnya. 

Novel mengingatkan, serangan yang dialaminya jelas merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK. Pasalnya, penyidik lembaga antirasuah lainnya pun turut mengalami intimidasi hingga serangan dalam berbagai bentuk.

"Ini tampak sekali bahwa serangan kepada KPK bukan hanya kepada diri saya dan banyak kepada insan KPK yang lainnya, pimpinan atau pegawai, tidak ada satu pun yang diungkap. Yang kasus saya sekarang sudah ada penangkapan, tapi dengan banyak kejanggalan," Novel menandaskan.

Perwakilan Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana kecewa dengan vonis terhadap penyerang kliennya. Dia menilai, dengan vonis tersebut, sandiwara hukum terhadap Novel Baswedan telah sempurna.

"Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan, misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Jumat 17 Juli 2020.

Kurnia menilai, vonis itu ditujukan agar terdakwa penyerang Novel Baswedan tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi whistle blower/justice collaborator.

"Ini skenario sempurna ini ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum," ujar dia.

Kurnia mengatakan, proses persidangan kliennya juga menunjukkan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak pernah berpihak pada korban kejahatan. Terlebih, korban kejahatan dalam perkara ini adalah penegak hukum.

"Kami meyakini, di masa yang akan datang para penegak hukum, khususnya Penyidik KPK, akan selalu dibayang-bayangi oleh teror yang pada faktanya tidak pernah diungkap tuntas oleh negara," kata dia.

Atas hal itu, Kurnia menuntut pertanggungjawaban Presiden Joko Widodo atau Jokowi karena dinilai mendiamkan citra penegakan hukum dirusak oleh kelompok tertentu.

Sementara itu, Polri menyatakan, dengan adanya vonis tersebut maka kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan sudah selesai. Hal ini mengenai kemungkinan dugaan adanya pihak lain yang terlibat penyerangan.

"Ya kan, kalau sudah vonis kan sudah inkrah, berarti sudah selesai," ujar Karo Penmas Brigjen Awi Setiyono pada Jumat, 17 Juli 2020.

Dia mengatakan, Polri menghormati keputusan pengadilan terhadap dua penyerang Novel Baswedan. 


Dinilai jadi catatan buruk

Penyidik KPK Novel Baswedan usai memneuhi panggilan penyidik Komisi Kejaksaan di Jakarta, Kamis (2/7/2020). Novel Baswedan memberikan keterangan terkait aduan masyarakat terhadap penuntut kasus penyerangan air keras pada 2017. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara itu, Penasihat Hukum Novel Baswedan, Saor Siagian berpendapat, pengungkapan kasus Novel Baswedan hanya sandiwara pemenuhan formil saja, terbukti putusan sangat ringan. Menurutnya, Pemerintah tidak sungguh-sungguh mengungkap kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.

"Siapa pelaku aktor utamanya. Kita melihat bahwa pelaku-pelaku utama penganiayaan berat saudara Novel Baswedan kelihatannya sengaja ditutupi," kata dia saat dihubungi, Senin (19/10/2020).

Saor mengatakan, rendahnya vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepada penyerang Novel dinilai jadi catatan terburuk dalam kepemimpinan Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Bukan hanya soal Novel Baswedan, sejarah juga akan mencatat pemberantasan korupsi pada masa kepemimpinan Joko Widodo - Ma'ruf Amin lemah.

"Kita lihat sekarang ini pimpinan KPK tanpa prestasi atau malah melanggar kode etik. Menurut saya itu catatan buruk yang sangat serius," ujar dia.

Padahal, publik menaruh harapan besar kepada Joko Widodo - Ma'ruf Amin untuk memperkuat KPK. Namun, menurut dia, kenyataan tidak demikian.

"Sekarang korupsi sudah semakin gila dan merajalela kita lihat di semua sektor sudah tidak takut," ujar dia.

Saor berpandangan, tidak ada efek jera bagi pelaku yang menyerang baik penyidik maupun pimpinan KPK menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, saat ini para penyidik dibayangi ketakutan yang luar biasa.

"Kasus terakhir waktu penangkapan Harun Masiku misalnya yang Kompol Rossa mengejar Harun Masiku ke PTIK, dia bukan dilindungi pimpinan malah mau dikembalikan. Gajinya ditahan bahkan sampai bermuara di PTUN. Jadi pengejar koruptor bukan malah dilindungi oleh institusi KPK malah dibuang. Ini menurut kita kenapa catatan buruk selama satu tahun ini," ujar dia.

Saor berharap, sisa empat tahun kepemimpinan Joko Widodo - Ma'ruf Amin kembali kepada khitah mendukung pemberantasan korupsi. Rakyat pun, kata dia, sedang mengharapkan negara ini menjadi bersih.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya