Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan angka penerimaan negara hingga September 2020 yang tercatat sebesar Rp 1.159 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 68,2 persen dari target APBN dalam Perpres Nomor 72 tahun 2020 yang sebesar Rp 1.699,9 triliun.
Realisasi penerimaan negara ini mencatatkan pertumbuhan negatif 13,7 persen apabila dibandingkan dengan realisasi di Januari-September 2019 yang sebesar Rp 1.342,25 triliun.
Advertisement
"Pendapatan negara kita masih sesuai dengan proyeksi, memang mengalami tekanan karena bisnis dan pembayaran pajak mengalami tekanan. Penerimaan negara kita kontraksi 13,7 persen atau mencapai Rp 1,159 triliun, yaitu 68,2 persen dari target Perpres 72," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam APBN KITA, Senin (19/10/2020).
Sri Mulyani menyebutkan, pemerintah tengah mengakselerasi belanja yang diharapkan bisa mendongkrak ekonomi di kuartal terakhir 2020. "Pemerintah berhasil akselerasikan belanjanya yang diharapkan dorong siklus positif pada kuartal III dan IV," tuturnya.
Adapun belanja negara hingga September 2020 mencapai Rp 1.841,1 triliun dengan pertumbuhan 15,5 persen. Rinciannya, belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1,211 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 629,7 triliun.
"Dengan keseimbangan primer kita mencapai negatif Rp 447,3 triliun dan untuk defisit keseluruhan mencapai Rp 682,1 triliun atau 4,16 persen ini masih dalam Perpres 72," kata Menkeu.
Dengan penerimaan negara Rp 1.159 triliun dan belanja Rp 1.841 triliun, maka APBN mengalami defisit Rp 682,1 triliun. "Kalau Rp 682,1 triliun atau 4,16 persen, tolong diingat defisit negara lain sampai belasan dan puluhan persen. Kalau defisit cuma 4,16 persen, kita berharap Indonesia jauh lebih baik dari peer group-nya,” kata Menkeu.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Penerimaan Pajak Diprediksi Kurang Rp 500 Triliun dari Target APBN 2020
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasi Nazara memproyeksikan Shortfall atau selisih penerimaan pajak dari target APBN 2020 bakal mencapai Rp 500 triliun.
"Penerimaan pajak kita perkirakan Rp 500 riliun tidak akan terkumpul. Artinya kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan isentif-insentif pajak. Rp 500 triliun kita perkirakan dari anggaran tahun ini tidak akan kita terima," tuturnya dalam sesi teleconference, pada Selasa 6 Oktober 2020.
Namun di sisi lain, Suahasi mengungkapkan, pemerintah tidak bisa menurunkan belanja negara. Menurut dia, hal tersebut harus di-support dan dinaikan untuk menunjang program pemulihan ekonomi nasional, sehingga postur belanja di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun.
"Kita lakukan defisit APBN menjadi 6,3 persen dari PDB atau sekitar Rp 1.000 triliun. Itu semua ditetapkan dalam bentuk UU Nomor 2 Tahun 2020," jelas dia.
Dengan kondisi defisit seperti ini, pemerintah disebutnya bakal fokus membantu perekonomian sehingga negara bisa lanjutkan proses pemulihan. Langkah ini dilakukan guna mengobati kontraksi ekonomi di kuartal II 2020 yang negatif 5,32 persen.
"Kita berharap di kuartal III ada pemulihan ekonomi. Mungkin angkanya masih kontraksi, tapi lebih rendah. Kita tunggu angka dari BPS (Badan Pusat Statistik). Sampai kuartal IV pemerintah terus support dari perekonomian," ungkapnya.
Suahasil menceritakan, pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal kedua kemarin terjadi lantaran situasi pandemi yang sangat buruk pada April-Mei 2020. Situasinya perlahan mulai berubah ketika mulai ada kegiatan ekonomi di periode Juni-Juli 2020.
"Kegiatan ekonomi mulai meningkat pada bulan Agustus, meski di satu dua titik ada peningkatan Covid-19, tapi ini bagian dari pemulihan. Dengan pemulihan kita berharap di kuartal III ada perbaikan dari pertumbuhan ekonomi," ujar Suahasil.
Advertisement