Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Jokowi-Maruf genap berusia setahun 20 Oktober kemarin. Sejumlah capaian dan kekurangan mewarnai pemerintahan pasangan yang memenangi Pilpres 2019 tersebut. Sejumlah kebijakan dan regulasi yang dicetuskan juga menjadi perbincangan.
Dari sisi pendidikan misalnya, sejumlah terobosan telah dicanangkan. Salah satu yang paling menjadi pergunjingan adalah penghapusan Ujian Nasional (UN) dan mengganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Advertisement
Keputusan "radikal" itu diambil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim setelah melalui tarik ulur yang panjang. Hasilnya, UN resmi dihapus di 2021!
"Penyelenggaraan UN 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter," jelas Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Nadiem menganggap bahwa selama ini UN dirasa kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar peserta didik. Materi UN juga terlalu padat, sehingga cenderung berfokus pada hafalan, bukan kompetensi.
"Kedua, ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orang tua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ucap dia.
Padahal, kata Nadiem, semangat UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan. Baik itu sekolahnya, letak geografisnya, maupun sistem pendidikan secara nasional.
Mantan bos Gojek Indonesia itu juga menanggap UN tak menyentuh pengembangan karakter siswa dan hanya menilai satu aspek, yakni kognitif siswa. Bahkan menurutnya belum menyentuh aspek kognitif, tapi lebih kepada penguasa materi.
"Dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," ujar dia.
Kebijakan Nadiem direspons positif Jokowi. Dia sepakat UN digantikan dengan asesmen kompetensi minimum.
"Sudah diputuskan oleh Mendikbud, bahwa UN mulai 2 021 sudah dihapus. Artinya sudah tidak ada UN lagi 2021. Nanti sudah dihitung, saya kira kita mendukung apa yang sudah diputuskan Mendikbud," kata Jokowi di Tol Layang Jakarta-Cikampek, Kamis (12/12/2019).
Jokowi disebut sudah sejak periode pertama menginginkan penghapusan UN. Namun langkah itu terganjal lantaran Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mendampingi Jokowi dalam periode pertama kepemimpinannya tak menyetujui langkah tersebut. Kebijakan menghapus UN itupun urung dieksekusi.
"Sebenarnya kita mau menghapuskan itu. Tapi namanya di dalam policy kan ada pertimbangan politik. Ini saya terus terang ajalah di ruangan ini. Dulu yang mengawali kan Pak JK ya," kata Anggota Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Jakarta, Kamis (19/12/2020).
Legislator Partai Golkar itu mengaku sulit untuk meloloskan kebijakan yang ditentang oleh JK. Mengingat saat itu posisi JK masih sebagai Ketua Umum Golkar.
"Akhirnya kita kompromi, komprominya oke UN tidak jadi satu-satunya penentu kelulusan, terus berapa persen dan lainnya," ungkapnya.
Ditambah lagi suasana kebatinan publik kala itu belum sejalan sepemahaman mengenai UN. Apalagi tidak adanya basis data yang menunjukkan bahwa UN tidak memberdayakan anak.
"Maka bisa saja akhirnya kompromi politik. Jadi kebijakannya tuh begini Bu, mau A mau B komprominya A aksen. Terkadang aneh juga sih, tapi di dalam politik kita selalu ada namanya kontestasi policy," jelas dia.
JK, saat mendengar UN dihapuskan tentu saja menentang. Namun, karena posisinya saat ini sudah tak berkuasa, pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan itu tak bisa berbuat banyak.
Penolakan JK waktu itu cukup dipahami oleh pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno, yang kala itu masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud. Dia menerangkan, penolakan JK atas dihapuskannya UN lantaran kekhawatirannya jika UN dihapuskan anak-anak tak bekerja keras untuk lulus.
Pemikiran JK itu berangkat dari asumsi bahwa tanpa adanya UN, maka anak-anak akan berleha-leha dalam belajar.
"Maka persoalan bukan UN tidak UN, tapi membuat anak belajar lebih keras gitu ya dan disiplin belajar," ucap Totok di Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Totok sendiri mengaku sependapat dengan JK, menurutnya anak-anak meskipun harus belajar dalam kondisi menyenangkan, tapi mereka juga mesti diberikan tantangan.
"Karena kalau senang terus bosan loh, siapa yang pernah mengalami senang terus bosan gitu," gurau Totok.
"Tetap harus ada koridor challenge yang tepat untuk anak. Dan letaknya di mana challenge itu? Tak harus di akhir, tak harus UN tok," jelas dia melanjutkan.
Bagi Totok pendidikan merupakan perjalanan sepanjang hayat, oleh karenanya anak mesti diberikan sejumlah tantangan di setiap ruas kehidupan. Bukan hanya menjelang kelulusan.
"Tantangan-tantangan yang membuat anak bekerja keras dan disiplin," jelasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Konsep Asesmen
Nadiem menjelaskan nantinya konsep asesmen kompetensi akan mengukur kemampuan numerasi (matematika), literasi (bahasa), dan survei karakter.
"Satu literasi, kemampuan memahami konsep bacaan. Kedua numerasi, bukan kemampuan menghitung, tapi kemampuan mengaplikasikan konsep menghitung dalam suatu konteks abstrak dan nyata," kata Nadiem dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (12/12/2019).
"Ngerti ya perbedaannya bapak ibu bedanya, ini merupakan kompetensi fundamental," tambah Nadiem.
Menurut Nadiem pemilihan asesmen literasi dan numerasi didasarkan pada pemahaman dia yang menyebut bahwa peserta didik akan memahami semua pelajaran jika mereka paham akan logika literasi dan numerasi.
"Kenapa kita pilih literasi? Bisa memahami semua pelajaran kalau memahami logikanya literasi dan numerasi. Ini kompetensi inti untuk bisa belajar apapun, untuk fisika, IPS, matematika, bahasa sastra, sejarah, semua hal informatika, ini basisnya," jelas dia.
Sementara itu mengenai survei karakter, Nadiem menyebut survei ini akan mengukur seberapa jauh pemahaman dan aplikasi asas Pancasila oleh para peserta didik.
"Terakhir survei karakter, di sini lah kita menanyakan pertanyaan untuk menemukan seberapa jauh asas pancasila. Caranya bukan tanyakan sila yang mana? Atau apa sila kedua?. Tapi poinnya apa itu gotong royong, apa itu toleransi. Akan dibuat survei apakah ini anak di-bully di kelas, apa anak ini mendapat tekanan, apa dia diberi ajaran tidak toleran, apa diberi kesempatan beropini," terangnya.
Nadiem bahkan mengungkapkan bahwa asesmen kompetensi ini sudah ada landasannya, bahkan bertolak dari survei berbagai macam asesmen di seluruh dunia.
"Kita bekerja sama berbagai macam organisasi, seperti yang membuat PISA, yang semuanya mengasses secara murni kompetensi bernalar," kata Nadiem.
Berbeda dengan UN yang digelar menjelang kelulusan, asesmen ini akan dilangsungkan di pertengahan jenjang pendidikan. Alasannya agar tidak menjadi alat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
"Asesmen ini dilakukan di tengah jenjang, kenapa? Karena tidak bisa lagi jadi alat seleksi masuk tahap berikutnya tidak bisa lagi digunakan (sebagai) tanda prestasi siswa. Ini sangat penting untuk mengakhiri penghukuman siswa," ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Nadiem menguraikan alasan asesmen itu tak dilakukan pada 2020. Pada 2020 Nadiem masih memberikan jalan agar UN terlaksana sebab sudah banyak siswa dan orang tua yang sudah terlanjur menyiapkan berbagai bimbingan belajar untuk UN tahun depan itu.
"Kami simpati dengan banyaknya bapak ibu sudah mengeleskan anaknya, sudah belajar keras, mereka sudah melakukan investasi pada anak dan karena itu jangan disia-siakan," ujar Nadiem.
Advertisement