Sri Mulyani: Penerimaan Perpajakan Terkontraksi Tiap Ada PSBB

Penerimaan pajak nonmigas juga mencatatkan kontraksi hingga 15,4 persen.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 19 Okt 2020, 13:55 WIB
Suasana Taman Lapangan Banteng di Jakarta, Minggu (18/10/2020). Taman Lapangan Banteng kembali dibuka di masa PSBB Transisi dengan protokol kesehatan ketat. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatatkan total pendapatan perpajakan per September 2020 sebesar Rp 892,4 triliun. Realisasi ini setara 63,5 persen target perpres 72/2020 sebesar Rp 1.404,5 triliun. Namun, angka ini mengalami kontraksi 14,1 persen secara yoy.

"Penerimaan pajak realisasi kita mencapai Rp 798,1 triliun atau 63,5 persen dari target kita,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam APBN KiTa, Senin (19/10/2020).

Rinciannya, Sri Mulyani memaparkan penerimaan pajak dari PPh migas sebesar Rp 23,6 triliun, atau 74,2 persen dari target perpres 72/2020 sebesar Rp 31,9 triliun. Angka ini mengalami kontraksi 45,3 persen yoy.

Sementara penerimaan pajak nonmigas juga mencatatkan kontraksi hingga 15,4 persen. Dengan realisasi Rp 727,0 triliun atau 62,3 persen dari target perpres 72/2020.

Lebih lanjut, PPh nonmigas mencatatkan penerimaan Rp 418,2 triliun, terkontraksi 16,9 persen. Pajak Pertambahan Nilai Rp 290,3 triliun atau terkontraksi 13,6 persen. PBB Rp 14,0 triliun, terkontraksi 9,6 persen. Dan pajak lainnya Rp 4,5 triliun, juga terkontraksi sebesar 6,4 persen.

“Kita tetap waspada, karena setiap kali ada PSBB langsung terlihat di tekanan pajak kita,” kata Sri Mulyani.

Sementara dari sisi kepabeanan dan cukai mengalami pertumbuhan positif sebesar 3,8 persen. Atau Rp 141,8 triliun, setara 68,9 persen dari target Perpres 72/2020 Rp 205,7 triliun.

Rinciannya, untuk pendapatan dari bea masuk sebesar Rp 24,3 triliun dan bea keluar Rp 2,2 triliun. Keduanya mengalami kontraksi masing-masing 9,6 persen dan 2,4 persen.

Sri Mulyani mengatakan, penerimaan pajak setelah Juli sejatinya mulai menunjukkan perbaikan. Namun pemerintah juga perlu waspada jika sewaktu-waktu kebijakan PSBB kembali diberlakukan. Pasalnya kebijakan tersebut telah terbukti memberikan tekanan pada penerimaan pajak.

"Dari penerimaan pajak tren hijau itu ada perbaikan setelah Juli terdalam kontraksinya. Tren sesuai harapan menuju perbaikan ekonomi namun tetap waspada setiap ada PSBB kelihatan sekali pajak langsung tertekan,” ungkapnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Berbagai Cara Pemerintah Demi Tingkatkan Rasio Pajak

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu menyadari penerimaan perpajakan di 2020 akan mengalami tekanan cukup dalam. Akibatnya rasio pajak atau tax ratio akan semakin rendah.

"Tax rasio memang akan cukup tertekan dalam 2020 mungkin berada di sekitar 8 persen," kata dia dalam diskusi virtual di Jakarta, pada Senin 12 Oktober 2020.

 

Dia mengatakan, jika penerimaan pajak dan rasio pajak rendah maka menjadi risiko terhadap Anggaran Pendapata dan Belanja Negara (APBN) kita. Karena secara ortomatis akan menyebabkan tekanan defisit cukup besar.

"Kalau penerimaan perpajakan tida bisa keep up itu menjadi risiko fiskal, itu menajdi risiko, defisit lebar dan surat utang kita tidak diminati inevstor karena tercermin tentang risiko fiskal," imbuhnya.

Febrio mengatakan, saat ini Pemerintah Indonesia dihadapkan dengan dua tantangan. Pertama dihadapka pada perlambatan ekonomi cukup tajam akibat pandemi Covid-19. Imbasnya aktivtas ekonomi banyak terhenti, banyak perusahan rugi, sehingga penerimaan perpajakan akan sangat koreksi tahun ini

Kemudian kedua, pemerintah melihat kemampuan dalam memberikan insentif harus selalu dicocokan dengan kemampuan menciptakan aktivtas ekonomi tambahan. Apakaah perekonomian jadi lebih cepat dengan insentif itu atau justru sebaliknya.

Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja sendiri, pemerintah sudah jelas memberikan insentif pajak. Dalam bentuk yang sudah diperkenalkan di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. PPh badan diturunkan dari 25 jadi 20. Dan kalau yang IPO turun lagi 3 persen.

"Itu tujuannya untuk menarik inevstasi lapangan kerja baru supaya aktivitas ekonomi tumbuh lebih cepat. Dan itu dilakuakn dalam konteks membandingkan dengan negara lain supaya pastikan paling tidak dalam hal perpajakan kita memang cukup bersaing," jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya