Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden, Ma'ruf Amin menyayangkan pemanfaatan teknologi digital yang dilakukan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanah Air masih sangat rendah.
Bahkan, tercatat baru ada 13 persen, atau hanya sekitar 8,3 juta dari 64,2 juta pelaku UKM secara nasional yang memanfaatkan teknologi digital, khususnya platform e-commerce.
Advertisement
"Padahal penggunaan teknologi digital justru semakin diperlukan apalagi saat pandemi Covid-19 yang berlangsung saat ini," katanya dalam Peresmian Peluncuran Program Pelatihan Digitalisasi Pemasaran dan Manajemen Halal bagi UMKM, secara virtual di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Dia menekankan pemanfaatan teknologi digital diperlukan untuk mendorong pengembangan UMKM. Teknologi digital juga perlu dilakukan sebagai bagian dari transformasi ekonomi dan penguatan ekonomi kelompok masyarakat terbawah agar lebih produktif dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi.
Bahkan, lanjut dia, berdasarkan hasil survei Bank Dunia, beberapa usaha yang tidak mengalami penurunan pendapatan selama pandemi Covid-19 ini adalah mereka yang menggunakan penjualan online sebagai sarana pemasaran mereka.
"Oleh karena itu, upaya perluasan akses pasar, melalui kerjasama dengan berbagai platform digital marketplace untuk memfasilitasi UMKM menjadi semakin diperlukan," jelasnya.
Hal tersebut penting dilakukan, karena UMKM memiliki kontribusi yang besar dan krusial, yaitu mencakup 99 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia. Selain itu, UMKM juga memberikan kontribusi 97 persen penyerapan tenaga kerja, 60 persem terhadap PDB nasional, serta penyumbang 58 persen dari total investasi, dan 14 persen dari total ekspor.
"Saya memandang bahwa fasilitasi yang dilakukan terhadap UMKM agar mampu memanfaatkan platform digital untuk pemasarannya dapat mengakselerasi berbagai dukungan pemerintah yang telah ada saat ini," katanya.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Manfaatkan Teknologi Digital, UMKM Tetap Bisa Jualan di Tengah Pandemi
Perkembangan teknologi terus membawa perubahan sosial di masyarakat, utamanya di Indonesia. Sebab, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kendala akses terhadap berbagai hal termasuk teknologi, yang menimbulkan gap.
Dalam istilahnya, Staf Ahli Bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mira Tayyiba menyebutkan adanya digital paradox, di mana digital memberikan peluang kepada semua orang dan negara untuk berkembang, bahkan melakukan leap frog.
Namun, di sisi lain juga memperbesar kesenjangan apabila tidak memiliki kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan, serta bertransformasi.
"Saya ambil contoh UMKM yang sudah bisa menggunakan tekno digi bisa menggunakan e-commerce, meskipun terkena PSBB tidak bisa melakukan produksi seperti biasanya, mereka tetap bisa berjualan, tapi UMKM yang tidak bisa menggunakan digital ya dianggap ngapa-ngapain lah ibaratnya begitu," kata Mira dalam Ngopi Teko - The Next Normal: Desain Transformasi Digital yang Inklusif, Selasa (16/6/2020).
Digital gap ini, lanjut Mira, juga terjadi di pemerintah, misalnya ketika dua K/L harus menyusun kebijakan secara bersama, dimana salah satu pihak sudah paham potensi ekonomi digital, sementara lainnya belum menguasai isu atau tema tersebut.
"Banyak isu pembangunan yang sifatnya lintas, apabila kemampuan dan cara pikir ini berbeda dan harus membuat kebijakan bersama, ini akan sulit," ujar Mira.
"Jadi sekali lagi pada saat bicara digital yang harus ditanamkan pertama kali bagaimana digital ini harus bisa melayani semuanya, artinya inklusif," sambung dia.
Advertisement