Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan, menilai rezim pemerintahan saat ini adalah rezim berutang. Hal tersebut disematkan karena tingginya rasio utang Indonesia.
“Saya sampaikan rezim saat ini adalah rezim berutang. Presiden dan Menteri Keuangan boleh saja selalu menutupi soal utang ini dengan kalimat kasuistis yang dimana negara lain juga mengalami lonjakan utang,” kata Hinca kepada Liputan6.com, Selasa (20/10/2020).
Advertisement
Menurutnya cap tersebut sangat mudah untuk dibuktikan. Salah satu keberhasilan kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 lalu dikarenakan "Janji Manis" yang terngiang dalam benak publik yakni "tidak mau utang".
Ada banyak jejak digital yang bisa ditelusuri oleh publik soal janji manis tersebut. Namun ternyata janji tersebut tidak bisa dibuktikan sampai saat ini.
“Nah, saya tidak mau berhenti pada persoalan pemenuhan janji tersebut sebab sudah secara nyata janji tersebut tidak terealisasi bahkan sejak periode pertama itu terjadi,” ujarnya.
Masalahnya menurut Hinca hingga hari ini utang Indonesia cukup mengkhawatirkan. Utang Indonesia terus meningkat, namun pertumbuhan ekonomi tersendat bahkan saat ini turun signifikan. Artinya, penggunaan utang kita tidak efektif.
Lanjutnya, pandemi covid-19 memang secara tidak langsung "menyelamatkan" muka istana dalam hobi rezim ini yang terus menumpuk utang. Defisit anggaran akibat pandemi ini memang membuat pemerintah mau tidak mau menambah utang.
Namun kata Hinca hal tersebut berbahaya bagi pemerintahan yang akan mengambil estafet pergantian pimpinan di 2024 nanti, beban berat menanti siapapun ia yang akan menjadi Presiden di negeri ini.
“Saya pinjam catatan Indef, masing-masing kita sebagai penduduk Indonesia kini menanggung hutang Rp 20,5 Juta. Angka ini bahkan diproyeksikan akan terus meningkat,” ujarnya.
“Selamat ulang tahun yang pertama periode kedua bagi pemerintahan Jokowi-Amin. Ada banyak kado yang diberi pada bangsa ini. Sayangnya tumpukan kado tersebut bukanlah hal yang menggembirakan bagi masyarakat, justru cemas dan takut yang menghantui,” pungkasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Indef: 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin Wariskan Utang Rp 20,5 Juta ke Tiap Penduduk Indonesia
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyoroti beberapa masalah di bidang ekonomi selama 1 tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat. Salah satunya terkait nilai utang negara yang terus meninggi dan jadi warisan bangsa.
Mengutip catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia, Bhima memaparkan, Indonesia tercatat menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN), yakni USD 402 miliar.
Beban utang luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding negara berpendapatan menengah lain seperti Argentina, Afrika Selatan hingga Thailand. Bahkan berpotensi semakin membesar di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.
"Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," ujar Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).
Pada 2020, pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar USD 4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Artinya, ia menegaskan, pemerintah tengah mewarisi utang pada generasi ke depan.
"Setiap 1 orang penduduk di era Pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta. Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk," tutur dia.
Bhima pun tak menyangkal jika beban utang itu bakal semakin membesar. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional alami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen di kuartal II 2020 akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan.
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan China yang merupakan negara asal pandemi. Negeri Tirai Bambu mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama. Sementara Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.
Di sisi lain, kesiapan Pemerintaham Jokowi dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi relatif kecil, hanya 4,2 persen dari PDB dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang 20,8 persen dan Singapura 13 persen.
"Stimulus kesehatan dalam PEN hanya dialokasikan 12 persen, sementara korporasi mendapatkan 24 persen stimulus. Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonom," seru Bhima.
Advertisement