Utang Indonesia Membengkak, Apa Kata Pengusaha?

Indonesia menempati peringkat ke-6 sebagai negara dengan utang tertinggi di antara negara berpenghasilan menengah

oleh Athika Rahma diperbarui 21 Okt 2020, 10:00 WIB
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laporan Bank Dunia bertajuk International Debt Statistics 2021 menyebutkan, Indonesia menempati peringkat ke-6 sebagai negara dengan utang tertinggi di antara negara berpenghasilan menengah dan bawah.

Hingga Agustus 2020, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mengalami peningkatan menjadi USD 413,4 miliar, atau sekitar Rp 6.098,27 triliun (kurs 14.751 per dolar AS).

Jumlah tersebut terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD 203,0 miliar atau sekitar Rp 2.982 triliun, dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 210,4 miliar atau sekitar Rp 3.091 triliun.

Menengok data di atas, jumlah utang swasta termasuk BUMN berkontribusi terhadap besarnya jumlah utang Indonesia. Lantas, amankah status keuangan Indonesia dengan bengkaknya utang ini?

Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Johnny Darmawan menyatakan, utang Indonesia saat ini memang meningkat jauh dan disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, fokus pembangunan Kabinet Indonesia Maju yang berorientasi pembangunan infrastruktur.

"Utang-utang yang ada digenjot untuk pembangunan infrastruktur, swasta juga ada yang proyek-proyek baru. APBN kan terbatas, jadi ini yang menuru saya meningkat jauh," ujar Johnny saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (20/10/2020).

Kendati, Johnny menyebut kondisi utang saat ini belum separah tahun 1998, dimana utang yang ditinggalkan Presiden Soeharto mencapai Rp 551,4 triliun atau sama dengan USD 68,7 miliar. Saat itu, rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Johnny sendiri tidak bisa menghakimi nilai utang saat ini dengan label wajar atau tidak wajar dan aman atau tidak aman. Yang pasti, menurutnya, pemerintah memiliki alasan atas utang yang besar tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Yang Perlu Diwaspadai

Tumpukan uang kertas pecahan rupiah di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Aliansi Usahawan Independen Indonesia (Alusindo) Sutrisno. Menurutnya, utang Indonesia yang tinggi saat ini juga turut disebabkan oleh pandemi Covid-19 sehingga pemerintah harus memberi stimulus untuk mempertahankan kondisi ekonomi.

"Yang perlu diwaspadai adalah debt service ratio (DSR), yaitu cicilan utang pokok dan bunga dibagi nilai ekspor. Kalau angkanya tinggi, berarti utang kita tidak mendorong ekspor. Ini perlu diwaspadai ke depan," ujarnya.

Menurut datanya, saat ini DSR Indonesia berada di atas level aman yaitu 29,5 persen (level amannya 25 persen). Ke depannya, pemerintah tentu harus memikirkan cara-cara mendorong ekspor agar negara bisa meraup deviden dan bisa membayar utang.

Johnny juga menambahkan, agar Indonesia bisa segera melunasi utang-utangnya, maka pemerintah harus memiliki pendapatan yang lebih tinggi dengan mengundang investasi masuk ke Indonesia.

"Mungkin dengan Omnibus Law, investasi bisa masuk. Dengan demikian lapangan kerja bisa meningkat, penerimaan pajak juga meningkat," katanya.

Selain itu, ekspor harus diusahakan surplus daripada impor, hampir sama seperti yang dijelaskan Sutrisno. Tentu, impor harus dikurangi dan jika dibutuhkan, pemerintah juga harus mencari alternatif pendanaan lain.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya