Penyuluh Informasi Publik Diminta Luruskan Disinformasi soal UU Cipta Kerja

Muara perumusan UU Cipta Kerja bertujuan untuk memperluas peluang lapangan kerja dan memangkas regulasi yang tumpang tindih.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Okt 2020, 19:08 WIB
Suasana Rapat Paripurna pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan, sementara tujuh fraksi lainnya menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa secara umum UU Cipta Kerja mengandung sebelas klaster yang bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.

Muara perumusan UU Cipta Kerja bertujuan untuk memperluas peluang lapangan kerja dan memangkas regulasi yang tumpang tindih serta prosedur yang rumit bagi pelaku usaha, seperti koperasi dan UMKM.

Hal tersebut diungkapkan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum, Prof. Henri Subiakto pada acara Forum Sosialisasi Online dengan tema Mengenal Lebih Baik Undang-Undang Cipta Kerja yang diikuti oleh 281 Penyuluh Informasi Publik dari seluruh Indonesia.

“Namun karena kesimpangsiuran informasi, disinformasi atas substansi UU Cipta Kerja dan hoaks beredar di media sosial, menimbulkan gejolak protes,” ujar dia dikutip Selasa (20/10/2020).

Menurutnya pemerintah perlu meluruskan disinformasi tersebut, dengan mensosialisasikan fakta-fakta tentang urgensi, manfaat, dan substansi penting UU Cipta Kerja kepada seluruh lapisan masyarakat.

“Peran pemerintah ini turut didukung oleh Penyuluh Informasi Publik (PIP) yang tersebar di 518 kecamatan di seluruh Indonesia. PIP diminta untuk menyampaikan informasi yang benar, serta meluruskan disinformasi dan hoaks lewat berbagai media komunikasi,” paparnya. Untuk itu PIP, menurut Henri perlu dibekali dengan wawasan dan pemahaman yang mumpuni terkait urgensi dan manfaat UU Cipta Kerja.

Pada kesempatan yang sama, Staf Khusus Bidang Ekonomi Kreatif Menteri Koperasi dan UKM Fiki Satari menyatakan PIP perlu memahami bahwa UU Cipta Kerja tersebut dibuat untuk kepentingan ekonomi kemasyarakatan terutama sektor UMKM.

Menurut Fiki, 64 juta atau 99,9 persen pelaku usaha di Indonesia  itu adalah UMKM. Dimana pelaku usaha UMKM ini mampu menyerap 97 persen tenaga kerja dan menyumbang PDB sekitar 60 persen.

“Sekali lagi bahwa apa yang ada dalam UU Cipta Kerja ini kami yakini betul adanya untuk mendukung koperasi dan UMKM. Dimana kita juga harus memikirkan masyarakat dan juga para investor. Investor itu kan bisa dari dalam negeri tidak melulu dari asing. Kita harus pikirkan juga investor dalam negeri yang mau bersaing dan berusaha, maka dari itu UU Cipta Kerja ini dibuat untuk mempermudah investor dalam berusaha. Kami mendorong PIP menyampaikan ini ke masyarakat luas,” ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Bantu UMKM

Pengunjung melihat produk dalam pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (12/7/2019). Pameran ini menampilkan produk-produk UMKM RI mulai dari kain, pakaian, tas, hingga berbagai kuliner seperti kopi buatan anak negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selain itu, dengan adanya UU Cipta Kerja ini bisa mendorong UMKM masuk dalam digitalisasi. Dimana anak muda yang ingin membuat koperasi dulu sangat sulit harus memiliki syarat-syarat yang membingungkan, namun dengan adanya UU Cipta Kerja ini akan menjadi lebih mudah.

“Dulu kan kalau mau bikin koperasi minimal 20 orang, nah sekarang anak muda bisa bikin startup aja kan, jadi ini juga untuk mewujudkan revolusi industri 4.0, yang akhirnya UMKM juga akan naik kelas,” ujarnya.

Dari sisi Kementerian Ketenagakerjaan, meyakini bahwa dengan adanya UU Cipta Kerja ini bisa mengakomodir para pengusaha dengan buruh. Dan juga membuka lapangan kerja yang semakin luas.

“Kita harus pikirkan tantangan bonus demografi, dimana dibutuhkan lapangan kerja yang luas. Dengan adanya UU Cipta Kerja ini untuk mempeluas lapangan kerja,” ujar Kepala Biro Humas Soes Hindharno.

Soes mengatakan permasalahan yang ada di bidang ketenagakerjaan sebenarnya “tidak berdiri sendiri”. Selain persoalan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, ada faktor-faktor di  luar ketenagakerjaan yang mempengaruhinya, seperti kondisi perekonomian nasional, kondisi politik, hukum, sosial dan budaya masyarakat.

Hal ini tentunya tidak dapat diselesaikan sendiri dengan hanya memperbaiki peraturan perundang-undangan di bidang  ketenagakerjaan tetapi juga harus diikuti dengan perbaikan regulasi di bidang lainnya. Demikian pula penanganannya, permasalahan ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

“Oleh sebab itu perlu adanya sinergi dengan Kementerian/Lembaga sektor lainnya. Beberapa hal inilah yang kemudian diwujudkan dalam RUU Cipta Kerja,” katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya