Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, menilai memberikan dua catatan penting atas kinerja satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Pertama, mendorong Jokowi tegas melakukan reshuffle kabinet terhadap kinerja pembantunya yang dinilai gagal dalam penanganan pandemi Covid-19.
Advertisement
"Kinerja yang buruk para menteri atas pandemi Covid-19 sayangnya tidak cepat disadari oleh Jokowi, terbukti hingga saat ini Jokowi tidak melakukan reshuffle. Sementara, saya kira masyarakat mengharapkan segera ada perubahan," ujar dia ketika dihubungi Merdeka.com, Rabu (21/10).
Menurutnya hal ini tercermin dari lemahnya koordinasi dan sinergi antar menteri dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kian membahayakan sektor kesehatan maupun ekonomi masyarakat. Padahal dalam berbagai kesempatan Jokowi kerap menekankan pembantunya agar mempunyai 'sense of crisis'.
"Hanya beberapa menteri yang terlihat hadir ditengah masyarakat yang sedang susah menghadapi pandemi. Sementara banyak menteri yang sepertinya tidak dikenal dan sudah dilupakan oleh masyarakat Karena tidak pernah muncul ditengah pandemi. Sementara mereka seharusnya ada dijajaran terdepan dalam setiap upaya menanggulangi pandemi dan dampaknya", terangnya.
Catatan kedua, yakni buruknya komunikasi politik dalam Pemerintahan Jokowi di periode kedua. Terutama dalam menyukapi polemik atas pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu.
Padahal, sambung Piter, regulasi anyar itu dinilai mempunyai spirit positif untuk perbaikan ekonomi nasional. Akan tetapi, pemerintah dinilai tidak mempunyai kemampuan dalam menyampaikan pesan secara utuh meningingat rendahnya kemampuan komunikasi politik.
"Terkait penerbitan UU Cipta Kerja, saya kira menunjukkan hal Itu. UU Cipta Kerja saya yakin didasarkan oleh sebuah niat yg baik. Isinya juga cukup baik. Tetapi silakukan dengan proses yg tidak cukup baik dan diperburuk oleh komunikasi yang tidak terencana baik," paparnya.
Oleh karena itu, Piter meminta Pemerintahan Jokowi segera melakukan evaluasi secara menyeluruh atas berbagai kebijakan yang di respon negatif oleh publik. Khususnya terkait penanganan pandemi dan pola komunikasi politik yang lebih elok.
"Saya menyarankan Pak Jokowi memperbaiki semua nya ini disisa masa pemerintahannya. Termasuk penanganan pandemi dan pola komunikasi yang handal," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1 Tahun Jokowi-Ma'ruf, Jurus Jitu Reformasi Birokrasi via UU Cipta Kerja
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin selama 1 tahun masa kerjanya berupaya untuk melakukan reformasi birokrasi dan regulasi. Tujuannya, untuk menyederhanakan sistem pemerintahan dengan pemangkasan eselon dan memperbanyak jabatan fungsional.
Langkah ini dilakukan untuk mencapai target Indonesia menjadi negara maju. Oleh karenanya, Jokowi-Ma'ruf selama 1 tahun pertamanya terus mereformasi diri, tidak hanya pola pikir tapi juga pada etos kerja. Kedua pasangan juga hendak berorientasi tidak hanya pada proses, tetapi juga hasil.
Melalui laporan tahunan 2020 yang dikeluarkan Kantor Staf Presiden (KSP), Selasa (20/10/2020), Jokowi-Ma'ruf menekankan birokrasi tak sekedar mengimplementasikan sebuah kebijakan, tapi memastikan masyarakat menikmati layanan.
Kuncinya yakni lewat kecepatan melayani dan memberikan izin. Selain itu, 1 tahun Jokowi-Ma'ruf menilai struktur organisasi perlu disederhanakan menjadi fungsional sesuai kompetensi, birokrasi bersih, pemangkasan izin, hingga penyelamatan keuangan negara menjadi strategi nasional pencegahan korupsi.
Reformasi birokrasi dilakukan seiring dengan reformasi regulasi. Penyederhanaan regulasi di antaranya melalui Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI.
Pemerintah Jokowi-Ma'ruf dalam 1 tahun ini coba menerobos penghalang yang membuat dunia usaha sulit tumbuh di Indonesia. Penyebabnya, banyak aturan yang saling tumpang tindih dan memperpanjang birokrasi izin yang berpotensi korupsi.
Omnibus Law dianggap menjadi solusi mengurai keruwetan aturan. UU Cipta Kerja dalam hal ini meringkas 79 undang-undang dan menyatukan 11 klaster menjadi 1 aturan. Metode Omnibus Law diharapkan jadi obat guna menghasilkan produk hukum yang efisien dan aspiratif.
Pemerintah memangkas lembaga non-struktural yang fungsinya saling tumpang tindih agar efektif dan efisien. Eselon disederhanakan hanya dua level saja, yakni eselon I dan II. Perannya digantikan jabatan fungsional yang menghargai kompetensi.
Sebagai catatan, 1 tahun Jokowi-Ma'ruf telah memangkas 3.667 jabatan eselon III, 10.340 eselon IV dan 14.793 eselon V menjadi 28.801 jabatan struktural. Selain itu, jumlah lembaga non-struktural juga dikecilkan menjadi 27 unit saja. Penyederhanaan itu dilakukan sejak masa awal pemerintahan Jokowi periode I pada 2014. Tercatat sebanyak 10 unit lembaga non-struktural (2014), 13 unit (2015-2017), dan 4 unit (2020) telah dihilangkan.
"Birokrasi yang lincah ini dipastikan untuk mencapai tujuan pembangunan. Tidak ada ampun bagi birokrat yang tidak serius dalam bekerja," tulis KSP.
Advertisement