Liputan6.com, Jakarta - Jaringan Sekolah Digital Indonesia mengingatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) soal efektivitas pembelajaran jarak jauh atau PJJ.
Respons ini disampaikan menyusul adanya siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan yang mengakhiri hidupnya lantaran depresi karena banyaknya tugas sekolah selama menjalani PJJ.
Advertisement
Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Muhammad Ramli Rahim menilai bahwa kejadian tersebut bukan kali pertama terjadi. Di mana, peserta didik merasa depresi akan beban soal yang menggunung selama melakukan PJJ.
"Kejadian bunuh diri siswa ini seharusnya menjadi alarm yang sangat keras kepada pemerintah dan dengan tegas memperingatkan pemerintah bahwa masalah penugasan-penugasan ini adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa," tegas kepada Liputan6.com, Rabu (21/10/2020).
Tak adanya standar baku PJJ membuat PJJ yang merupakan alternatif pembelajaran di tengah pandemi Covid-19, justru dianggap banyak membebani siswa.
"Stres yang dialami siswa akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak memiliki standar khusus, dan cenderung sangat memberatkan siswa dari sisi tugas-tugas dari guru telah mengakibatkan depresi terhadap siswa yang akhirnya dapat berujung pada kejadian bunuh diri seperti ini," ujar Ramli.
Ramli melihat standar penugasan oleh guru tidak diatur, baik oleh Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Ramli menganalogikan, jika setiap guru memberikan satu tugas setiap minggu, maka setiap siswa akan mendapatkan 14-16 tugas yang harus dituntaskan sebelum mata pelajaran dilanjutkan minggu depannya.
"Memang guru sangat mudah memberikan tugas apalagi mereka saat ini dengan dukungan LMS (learning management system) tak perlu tampil di depan kelas lagi dan cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut," urai dia.
Ramli menganggap, beban mata pelajaran yang diterima siswa menjadi masalah utama rendahnya kualitas pendidikan saat ini. Namun hingga kini tampaknya upaya penyederhanaan kurikulum masih mengalami jalan buntu.
"Nadiem Makarim seolah tidak punya formulasi untuk menuntaskan masalah jumlah mata pelajaran yang sangat membebani anak didik ini," tegas dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tidak Tergantung Kuota
Di samping itu, Ramli mengingatkan, seharusnya kepala sekolah dan para guru konseling (BK) mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa akibat banyaknya penugasan-penugasan yang dilakukan oleh para guru di suatu sekolah terhadap siswa.
Sehingga, bisa menjadi standar bagi guru-guru di sekolah tersebut untuk memberikan penugasan kepada siswanya.
"Setiap daerah seharusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet di daerahnya ketersediaan alat baik berupa tablet, smartphone maupun laptop dan komputer di daerah tersebut yang dimiliki oleh siswanya," katanya.
Guru dan pemerintah juga dituntut untuk mempertimbangkan kemampuan ekonomi siswa di daerah-daerah tersebut. Sehingga pemerintah tidak berlepas tangan cukup dengan memberikan kuota data kepada siswa saja tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
"Dan semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemendikbud," ungkap Ramli.
Diberitakan sebelumnya, siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan berinisial MI berusia 16 tahun nekat bunuh diri dengan meminum racun, Sabtu (17/10/2020). Korban bunuh diri diduga akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya.
Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.
Mirisnya, MI merekam aksi bunuh dirinya dalam sebuah video. Rekaman ponsel berdurasi 32 detik itu menunjukkan detik-detik ketika korban meminum racun rumput.
Advertisement