Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia menyampaikan bahwa saat ini pengelolaan penyandang disabilitas bukan lagi berbasis charity atau penerima sumbangan melainkan rights based.
Dengan kata lain, penyandang disabilitas memiliki hak hidup, bebas dari stigma, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, politik, pelayanan publik, pendataan, bebas dari diskriminasi, dan hak lainnya yang dijamin dalam undang-undang.
Advertisement
“Penyandang disabilitas bukan sebagai charity base namun diberikan jaminan terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia yaitu human right. Penyandang disabilitas juga dipandang sebagai isu multi sektor tidak hanya terkait sektor sosial saja namun juga berkaitan dengan sektor lainnya di antaranya pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transportasi, tenaga kerja, dan komunikasi,” ujar Angkie dalam webinar Tantangan dan Implementasi Rencana Induk Penyandang Disabilitas, Rabu (21/10/2020).
Simak Video Berikut Ini:
Amanah UU Nomor 8 2016
Sebagai amanah UU nomor 8 tahun 2016, telah diterbitkan enam Peraturan Pemerintah dan dua Peraturan Presiden yang mengatur soal hak-hak penyandang disabilitas. Sementara itu, dalam upaya mempercepat implementasi pembangunan yang inklusif penyandang disabilitas di Indonesia, perlu rencana induk (masterplan) pembangunan inklusif, disusul dengan intervensi skala besar pada pemberantasan stigma terhadap kelompok disabilitas dan pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang akan bertindak sebagai pengawas masalah disabilitas.
Menyangkut hak politik penyandang disabilitas Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra menegaskan bahwa konstitusi menjamin setiap orang berhak, bebas, dan dilindungi dari perlakuan yang bersifat diskriminatif serta mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan keadilan.
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur sejumlah hak politik bagi penyandang disabilitas, di antaranya menyangkut hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum. Membentuk, menjadi anggota, dan/pengurus organisasi masyarakat dan/partai politik.
Selain itu, penyandang disabilitas juga berhak membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional dan internasional, berperan secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/bagian penyelenggaraan. Hal yang tak kalah penting adalah memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, pemilihan kepala desa, serta memperoleh pendidikan politik.
Advertisement
Upaya KPU dalam Pemenuhan Hak Politik Disabilitas
Terkait pemenuhan hak politik pemilih disabilitas, KPU telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya melibatkan dan mengundang perhimpunan penyandang disabilitas, sosialisasi pendidikan pemilih, simulasi pemungutan suara, melibatkan disabilitas dalam relawan demokrasi baik KPU RI maupun KPU Provinsi/Kab/Kota.
Memberikan informasi dengan menggunakan bahasa isyarat untuk setiap penyampaian informasi/iklan layanan masyarakat untuk memudahkan disabilitas, melakukan update pendataan pemilih disabilitas pemilihan umum maupun pemilih daerah, melakukan pelatihan pemilu aksesibel bagi para pendamping pemilih disabilitas agar dapat memahami pemungutan suara. Menyusun modul pelatihan aksesibel serta melibatkan penyandang disabilitas sebagai penyelenggaraan pemilu, di antaranya sebagai anggota KPU kabupaten serta anggota PPK, PPS dan KPPS.
Berbagai Tantangan
Masih terdapat sejumlah tantangan dan hambatan dalam pemenuhan hak politik penyandang disabilitas, di antaranya terkait update daftar pemilih tetap (DPT) pemilih disabilitas yang belum maksimal mendata para penyandang disabilitas (Baru mencapai 5,52 persen).
Di sisi lain, TPS belum sepenuhnya ramah akses disabilitas karena dibuat non permanen, surat suara tanpa template khusus yang menyulitkan penyandang disabilitas, terjadinya penolakan dari lingkungan sekitar terhadap penyandang disabilitas mental, semakin terbatasnya ruang gerak pemilih disabilitas akibat pandemi, serta masih rendahnya partisipasi pemilih disabilitas untuk datang ke TPS.
Advertisement