Liputan6.com, Jakarta - Tudingan maskapai Spring Airlines menolak mengizinkan penumpang yang dirawat karena depresi naik salah satu pesawatnya memicu perdebatan sengit di dunia maya. Saking ramai, para ahli sampai menyerukan peraturan lebih rinci terkait pelayanan bagi penumpang berkebutuhan khusus.
Mengutip laman AsiaOne, Kamis (22/10/2020), seorang pengguna Sina Weibo bermarga Yu yang pertama mengungkap kejadian tersebut. Dalam sebuah unggahan, ia menyebut, maskapai berbasis di Shanghai itu menolak membiarkan pacarnya yang mengalami depresi naik pesawat di Weihai, Provinsi Shandong, pada 13 Oktober 2020.
Yu menuduh maskapai itu mendiskriminasi orang-orang depresi. Ia juga mengatakan, penolakan itu mungkin menyebabkan pacarnya melewatkan janji dengan dokter di Nanjing, Provinsi Jiangsu. Yu menulis bahwa sang pacar menangis sepanjang malam, kondisi yang mungkin menyebabkan keadaannya memburuk.
Baca Juga
Advertisement
Ia menjelaskan, pacarnya telah mengambil penerbangan ke Nanjing setiap bulan untuk menemui dokter spesialis yang mengobati depresi. Kondisinya pun telah meningkat pesat.
Menurut peraturan transportasi penumpang penerbangan sipil China, maskapai penerbangan dapat menolak pasien dengan penyakit menular dan penyakit mental atau penumpang yang kesehatannya dapat membahayakan diri mereka sendiri maupun penumpang lain.
Lewat sebuah pernyataan resmi, Spring Airlines menanggapi kontroversi tersebut dengan berkata, "Penumpang dan pacarnya jadi gelisah ketika anggota staf bertanya tentang gejala dan riwayat penerbangannya baru-baru ini."
Dalam percakapan itu, kondisi depresi sang penumpang sempat disebut. Tangannya gemetar dan ia berteriak di pintu keberangkatan, tindakan yang menyebabkan penumpang lain mengeluh.
Perusahaan mengatakan, karyawannya mencoba menghiburnya beberapa kali, tapi ia tak juga mau tenang. Untuk alasan keamanan, anggota staf menolak membiarkan pasangan tersebut naik ke pesawat dan memberi mereka pengembalian uang penuh.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kepedulian pada Kesehatan Mental
Beberapa warganet menuduh maskapai tak simpatik pada penumpang berkebutuhan khusus, sementara yang lain mendukung keputusan tersebut. Mereka mengatakan perlu bertanggung jawab atas keselamatan penumpang lain sesuai peraturan.
Zhang Qihuai, seorang pengacara senior yang berspesialisasi dalam penerbangan sipil, mengatakan bahwa itu bukan satu-satunya kasus, di mana maskapai Tiongkok menolak mengizinkan penumpang berkebutuhan khusus untuk terbang. Zhang menuturkan, setiap maskapai punya standar penerbangan sendiri karena tak ada yang universal.
"Peraturan universal harus dibuat, dan maskapai penerbangan harus memastikan itu dijalankan," katanya.
Dalam kasus terbaru, Zhang menganggap pihak maskapai tak memenuhi syarat untuk mengatakan pasien tidak fit untuk terbang. Profesional medis harus membuat keputusan itu, katanya.
Ia juga mengatakan, institusi medis harus membentuk mekanisme kerja sama bagi pasien tersebut untuk mendapat bukti medis yang dapat menunjukkan apakah mereka layak menggunakan transportasi umum. Pasien dan keluarganya juga harus menyadari gejala dan kondisi, serta kemampuan perjalanan mereka.
Guo Xiamei, seorang profesor yang berspesialisasi dalam penyakit mental di Universitas Xiamen, mengatakan bahwa di tengah pandemi, orang-orang lebih memperhatikan kesehatan mental dan menuntut perawatan lebih manusiawi. "Maskapai penerbangan bisa (memberlakukan aturan) lebih baik," katanya. Ia menambahkan, bagaimana pun, mengekspos masalah seperti itu secara daring, seperti yang dilakukan Yu, mungkin tidak membantu meringankan gejala depresi.
Baca Juga
Kereta Cepat Berlin-Paris Resmi Diluncurkan, Warganet Indonesia Sindir Harganya Lebih Murah dari Tiket Jakarta-Bandung
Kereta Java Priority Layani Rute Jakarta-Yogyakarta di Musim Libur Nataru, Apa Bedanya dengan Direct Train?
Dugaan Zat Beracun Tak Terbukti, Penyebab 7 Turis Asing Jatuh Sakit di Fiji Menyisakan Misteri
Advertisement