Kenaikan Cukai Tak Efektif Turunkan Perokok Usia Dini, Begini Penjelasannya

Faktor utama penyebab perokok usia dini adalah lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan si anak, pengendali stress, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orang tua yang rendah.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Okt 2020, 18:45 WIB
Bea Cukai pun terus melakukan pengawasan di daerah produksi dan pemasaran rokok ilegal antara lain di Malang, Jawa Timur dan Teluk Bayur, Sumatera Barat.

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan kenaikan harga rokok baik melalui kenaikan harga jual eceran (HJE) maupun kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah dinilai tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini, dan prevalensi stunting. Faktor utama penyebab perokok usia dini adalah lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan si anak, pengendali stress, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orang tua yang rendah.

Hal tersebut merupakan kesimpulan dari hail penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur.

“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok,” papar Anggota Peneliti PPKE Universitas Brawijaya Imanina Eka Dalilah dalam keterangannya, Kamis (22/10/2020).

Sementara itu, Anggota Peneliti Joko Budi Santoso menyatakan industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp. 150 Trilyun pertahun selama 5 tahun terkahir. Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi.

Fakta ini juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemic covid-19. Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara. Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok.

Data menunjukkan, volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59 persen dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10 persen (487 perusahaan) di 2017.

Disamping itu, IHT juga menghadapi tekanan yang terus menggerus IHT, salah satunya adalah isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalansi merokok pada anak usia dini. Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.

Hal ini memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok. Harapannya dengan kebijakan harga akan merubah behavior masyarakat dalam mengkonsumsi produk IHT.

“Di tengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3 persen pada 2013 menjadi 28,8 persen pada 2018. Akan tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini," jelas dia.

"Fakta ini menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. Fenomena ini menjadi salah satu reason perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia," lanjut Joko Budi Santoso.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Volume Produksi Rokok

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Lebih lanjut Tim Peneliti dari PPKE Universitas Brawijaya memaparkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dan kenaikan harga rokok yang beberapa kali dilakukan pemerintah nyatanya tidak searah dengan tren jumlah perokok usia dini dalam beberapa tahun terakhir.

Di tengah penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, jumlah perokok usia dini meningkat dari 7,2 persen di 2013 menjadi 9,1 persen di 2018.

“Hal ini mengindikasikan kebijakan pemerintah melalui kenaikan harga rokok berpotensi tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok. Kebijakan tersebut justru dapat mengancam keberlangsungan IHT yang memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional,” jelas Joko Budi Santoso.

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah mulai tahun 2021 mentargetkan akan menurunkan prevalensi perokok anak usia sekolah.

Jika tahun 2021 terdapat 9,1 persen perokok anak usia sekolah, tahun 2022 akan menjadi 9,1 persen. Sehingga tahun 2024 tinggal 8,8 persen anak usia sekolah yang masih merokok. Bahkan diharapkan lebih rendah lagi. Penurunan prevalensi ini bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia agar lebih berkualitas dan berdaya saing.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya