Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegur jajaran menterinya karena komunikasi publik yang sangat jelek saat menjelaskan soal RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, rencana pengesahan RUU Cipta Kerja mendapat banyak penolakan dari masyarakat.
"Khusus dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja, memang sebuah masukan dari berbagai pihak dan Presiden juga sangat-sangat tahu. Kami semuanya ditegur oleh Presiden bahwa komunikasi kita sungguh sangat jelek," jelas Moeldoko kepada wartawan, Rabu (21/10/2020) kemarin.
Advertisement
Dia mengakui, di era di mana teknologi berkembang pesat, pemerintah terkadang kewalahan menghadapi disinformasi dan hoaks di media sosial. Kendati begitu, dia memastikan pemerintah selalu memperbaiki komunikasi publik agar tak muncul polemik di masyarakat.
"Tetapi itu bukan sebuah alasan bagi kami untuk tidak berkomunikasi dengan baik. Kami selalu membenahi diri, kita selalu ingin memperbaiki diri," ucap Moeldoko.
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, saat ini publik tengah menunggu perubahan apa yang akan terjadi serta langkah yang akan diambil Presiden dari kekecewaan itu. Pada intinya, ada kekecewaan dari Presiden terhadap para menteri.
"Jadi setelah ini mau apa? Reshuffle kah? Atau pergantian menteri terbatas? Atau para menteri dikasih kursus komunikasi publik? Kan kalau komunikasi tak bagus mungkin Presiden akan mengkursuskan mereka, jadi maunya apa?" ujar Hendri kepada Liputan6.com, Kamis (22/10/2020).
Yang jelas, lanjut dia, para menteri terkait sekarang bisa bertindak dengan benar setelah ada teguran. Minimal mereka dapat bergerak memberikan penjelasan tentang kebijakan pemerintah saat ini kepada publik. Namun, dia menolak menyebutkan nama-nama menteri yang harusnya berubah tersebut.
"Sebetulnya kan Presiden cuma ingin menteri-menterinya berubah, lebih sering komunikasi ke rakyat. Kalau saya tak akan spesifik menyebut nama menteri, tapi yang jelas komunikasi publik pada saat RUU Cipta Kerja itu buruk banget. Bayangkan saja, sampai saat ini muncul lagi draft 1.187 halaman versi baru. Itu saja sudah enggak beres," tegas Hendri.
Menurut dia, yang ingin Presiden ingatkan adalah, walau ketuk palu ada di DPR, tapi kan yang menyelenggarakan eksekutif dan bebannya ada di eksekutif, kalau dari sisi sosialisasi saja kacau balau, kan tambah berat nanti pelaksanaannya.
"Jadi menurut saya, kalau mau menunjuk nama, ya tunjuk para menteri yang terlibat dengan perumusan RUU Cipta Kerja secara keseluruhan," ujar Hendri.
Permasalahan utama para menteri ini, menurut dia, ada keengganan bertemu stake holder, mereka enggan bertemu untuk menjelaskan apa yang disoal. Padahal, tidak semua pasal dalam RUU Cipta Kerja harus dijelaskan, ada poin-poin penting yang disoal dan bisa mereka jelaskan dan dikomunikasikan kepada publik.
"Akhirnya mereka (menteri) defensif, kalau nggak setuju judicial review saja, bukannya menjelaskan duduk soalnya. Kenapa sih tidak membuka dialog saja? Dan menurut saya itu yang disasar Presiden sebagai teguran terhadap menterinya, mendorong membuka ruang publik, bicara dengan rakyat," beber Hendri.
Menurut dia, banyak alasan dan dugaan kenapa menteri malas turun ke masyarakat, apakah karena sibuk dengan agenda lain, ada konflik kepentingan mereka belum baca detil RUU Cipta Kerja.
"Tapi saya garis bawahi, teguran Presiden agar menteri membuka ruang dialog bersama rakyat, sehingga semakin jelas, daripada buang uang ke buzzer, mending buka saja ruang publik satu per satu, agendakan saja. Misal temu dengan buruh, temu dengan mahasiswa," tegas Hendri.
Kendati Jokowi mengaku kecewa dengan para pembantunya, dia melihat Presiden belum akan mengambil langkah ekstrem.
"Belum akan bicara reshuffle dulu, minimal evaluasi besar-besaran, nanti buntutnya seperti apa terserah Pak Presiden," Hendri menandaskan.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Mampat Informasi, Gaduh di Jagat Maya
Data dari social media monitoring tool Drone Emprit Academic yang didukung UII Yogyakarta, menunjukkan bahwa terhitung mulai dari 1 September hingga 22 Oktober percakapan mengenai Omnibus Law di Twitter berjumlah nyaris 600 ribu. Percakapan ini mencapai puncaknya pada 6 Oktober dengan total 159.766.
Sentimen negatif menjadi sangat dominan di dalam percakapan ini dengan porsi 89 persen. Sisanya, sentimen positif dan netral masing-masing hanya berkontribusi 8 dan 3 persen. Sebagai gambaran bagaimana para pengguna yang terlibat di percakapan ini saling terkait, berikut ini social network analysis yang terdiri dari 2.639 Nodes (titik yang merepresentasikan pengguna) dan 9.999 Edges (garis yang merepresentasikan relasi di antara Nodes).
Sementara itu, 10 besar akun Twitter yang menjadi top influencers di dalam diskursus ini adalah akun @CNNIndonesia, @tempodotco, @ardimanto, @okkymadasari, @Dandhy_Laksono, @detikcom, @RanggaWidigda, @TirtoID, @PUKAT_UGM, dan YourAnonCentral.
Beberapa akun Twitter lain yang juga termasuk ke dalam top 100 influencers adalah @ismailfahmi, @GreenpeaceID, @ustadtengkuzul, @Lini_ZQ, @faridgaban, @MataNajwa, @ZAEffendy, @OposisiCerdas, @susipudjiastuti, @msaid_didu, @musniumar, @fadlizon, @hnurwahid, @Dennysiregar7, @andreasharsono, @AgusYudhoyono, @FaisalBasri, @BEMUI_Official, @MCAOps, @MardaniAliSera, @FraksiRakyatID, dan lainnya--penyebutan nama akun tidak menunjukkan urutan tingkat influence.
Satu temuan menarik dari top 10 influencers adalah salah 1 dari 10 akun itu sebetulnya bukan sosok berpengaruh, yakni @ardimanto. Saat artikel ini disusun, akun yang sudah berusia sekitar 11 tahun ini hanya memiliki 86 followers. Kendati demikian, twit dia yang melibatkan akun resmi @UNHumanRigths, justru menjadi twit dengan respons terbanyak.
Dalam sebuah twit tertanggal 11 Oktober, Ardi meneruskan twit lain yang menampilkan video dengan narasi bahwa Polisi Indonesia menjemur para pelajar / mahasiswa di atas aspal tanpa mengenakan pakaian atasan yang mengikuti aksi tolak Omnibus Law sebagai hukuman.
"Ini merupakan perlakuan tidak manusiawi dan menyiksa! TOlong lakukan sesuatu!" kata Ardi menegaskan.
Hingga saat ini twit itu telah mendapat lebih dari 43 ribu retweets dan 30 ribu likes. Sementara video di twit itu telah ditonton lebih dari 1 juta kali.
Menyikapi pola komunikasi pemerintah kepada publik tentang RUU Omnibus Law, Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing juga mengatakan hal senada dengan Hendri Satrio. Dia mengatakan, komunikasi pemerintah kepada masyarakat memang belum baik, kalau tak dibilang jelek.
"Istilah yang saya gunakan, manajemen komunikasi pemerintah itu belum terkelola dengan baik, walau Pak Presiden melalui Pak Moeldoko bilang kalau itu tingkatnya sudah dikatakan jelek. Di satu sisi saya apresiasi apa yang menjadi penilaian Presiden, artinya ada pengakuan dan keterbukaan," papar Emrus kepada Liputan6.com, Kamis (22/10/2020).
Tak hanya komunikasi soal RUU Cipta Kerja, dia juga melihat kelemahan dalam penanganan komunikasi Covid-19. Dia mengambil contoh saat menteri terkait yang kadang berbeda satu dan lainnya dalam memberikan penjelasan. Terutama menjelang mudik Lebaran 2020.
"Saya berpandangan, cara komunikasi pemerintah ini harus utuh, artinya boleh setiap menteri berkata lain namun tetap dalam satu kesatuan, sesuai tugas dan pokok fungsinya, sesuai job description, siapa mengatakan apa. Jadi jelas. Jangan mengambil gaya komunikasi pemadam kebakaran, ada isu baru meng-counter," tegas Emrus.
Padahal, lanjut dia, komunikasi tidak seperti itu, manajemen komunikasi yang baik itu antisipatif dan proaktif, jangan ada isu baru repot. Caranya, semua itu harus dikelola oleh komunikolog, ilmuwan komunikasi.
"Jadi, saya sarankan Presiden mengevaluasi dalam hal komunikasi ini, jadi dibuat kriteria evaluasinya, evaluasi mulai dari jubir, menteri, dan kepala biro humas kementerian itu lihat background, lulusannya apa? Dari komunikasi bukan?" tanya Emrus.
Dia menegaskan, penanganan komunikasi tidak kalah nilainya dengan penanganan ekonomi, hukum ataupun politik. Dia mengakui, komunikasi memang bukan satu-satunya yang dapat menyelesaikan persoalan, tetapi semua persoalan tidak dapat diatasi jika tidak menggunakan komunikasi yang baik. Kendati demikian, dia tak ingin Presiden mengambil langkah ekstrem, seperti reshuffle.
"Sebaiknya evaluasi dulu saja. Bentuk saja tim kordinator manajemen komunikasi pemerintah. Atau unit kerja manajemen komunikasi pemerintah di bawah Presiden langsung, jadi ada koordinatornya," Emrus memungkasi.
Sementara itu, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menegaskan bahwa teguran yang dilayangkan tidak spesifik menyasar menteri tertentu, tapi secara umum. Artinya, teguran itu untuk semua kementerian yang terkait dengan penanganan Covid-19 dan RUU Cipta Kerja.
"Saya kira ini lebih ke imbauan dan arahan agar dalam berkomunikasi itu tidak kemudian mengundang kontroversi dan benar-benar berbasis pada data dan fakta. Artinya, ketika komunikasi malah menimbulkan kesalahpahaman, justru menambah pemahaman publik tentang apa sebenarnya RUU Cipta Kerja ini. Intinya, lebih berhati-hati," ujar Donny kepada Liputan6.com, Kamis (22/10/2020).
Dia juga menampik buruknya komunikasi itu karena diduga sang menteri lebih fokus dengan agenda pribadi atau partai politik tempat dia bernaung. Yang terjadi menurut dia lebih pada beban kerja yang cukup berat karena permasalahan yang dihadapi juga multikompleks.
"Kita sedang dalam kondisi yang juga cukup berat. Pasti tentu saja ini berpengaruh pada beban kerja. Saya pikir kita harus agak berimbang dalam melihat. Tapi yang jelas menteri-menteri akan memperbaiki komunikasinya sesuai arahan Presiden," tegas Donny.
Yang jelas, lanjut dia, kinerja para menteri akan terus dimonitor dan dievaluasi. Bahkan, Kantor Staf Presiden (KSP) membuat yang namanya daily briefing, berisi isu-isu terkini, narasinya dan berbagai informasi terkait isu tersebut. Ini dilakukan supaya semua pemangku kepentingan punya pemahaman yang sama dan ketika berkomunikasi punya basis yang seragam.
Lantas, apakah Presiden tak punya opsi reshuffle kabinet dalam waktu dekat?
"Kalau itu sangat berpulang pada kebijakan Presiden sendiri, apakah ini sampai harus reshuffle atau tidak. Itu saya kira hak prerogatif Presiden kalau itu. Kalau evaluasi dari waktu ke waktu. Pasti Presiden akan evaluasi, tak pernah berhenti. Tapi saya kira itu semua pada akhirnya akan menjadi keputusan Presiden," tutup Donny.
Advertisement
Reshuffle, Siapa Berani?
Tak semua partai politik mengamini langkah yang diambil pemerintah, khususnya terkait dengan kebijakan dalam masalah penanganan pandemi Covid-19 serta kemunculan RUU Cipta Kerja. Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan, misalnya, bahkan merasa aneh kalau pemerintah baru menyadari buruknya komunikasi para menteri itu
"Terlambat untuk menyadari itu. Publik merasa tidak puas atas komunikasi para menteri dan pejabat lain di lingkungan Istana sejak pandemi dimulai, tidak hanya berkaitan dengan Omnibus Law Cipta Kerja saja," tegas Hinca kepada Liputan6.com, Kamis (22/10/2020).
Menurut dia, sudah terlambat bagi pemerintah menyadari buruknya komunikasi itu, padahal jarak Presiden dan menteri begitu dekat. Artinya komunikasi yang buruk itu tidak hanya dari elite kepada publik, tetapi antarelite juga terindikasi buruk.
"Saya tidak ingin menggali memori beberapa bulan ke belakang, sebab publik sangat mudah melihat jejak digital komunikasi para elite tersebut. Terakhir, mungkin dari sahabat saya Menkominfo saat di acara Mata Najwa. Saya sangat menyayangkan ucapan itu. Lihat, public trust menurun cukup jauh setelah ucapan tersebut, ini yang patut dikoreksi," ujar Hinca.
Apa yang disampaikan Hinca merujuk pada perdebatan sengit di acara Mata Najwa yang disiarkan Rabu 15 Oktober 2020 malam. Ketika, program ini mengangkat tema Cipta Kerja: Mana Fakta Mana Dusta dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny Gerard Plate terlibat perdebatan panas dengan Direktur YLBHI Asfinawati.
"Sejumlah kegaduhan yang lahir itu bukan akibat menteri yang tidak fokus, melainkan minim arahan dari pimpinan tertingginya. Saya sejujurnya masih menanti Presiden kembali menaikkan semangat revolusi mental, khususnya pada jajaran menteri dan elite pejabat di Istana," papar dia.
Mantan Sekjen Partai Demokrat ini mengatakan, mental yang ditunjukkan para pembantu presiden saat ini tak memperlihatkan mental untuk menang, melainkan hanya upaya untuk menahan beban.
"Buatlah Istana Presiden itu tidak tertutup untuk mereka yang gemar kritik kebijakan Presiden selama ini. Presiden butuh itu, ia butuh secondary opinion yang mungkin tidak terucap oleh jajarannya. Mencari teman sebanyak-banyaknya dalam suasana krisis seperti ini adalah keniscayaan yang harus diwujudkan segera," tegas Hinca.
Dia juga merasa skeptis Presiden akan membuat langkah tegas, seperti mengganti para menteri yang dinilai kurang cakap. Padahal, dia melihat ada sejumlah nama yang punya kinerja di bawah harapan.
"Isu reshuffle sudah mengemuka beberapa kali, tapi tidak terjadi. Padahal ada banyak catatan publik pada sejumlah menteri yang punya kinerja stagnan, terlebih komunikasi yang buruk. Pertanyaannya saat ini, apakah Presiden berani?" tanya Hinca.
Sementara, Anggota Fraksi PKS di DPR Ledia Hanifa Amaliah melihat komunikasi publik pemerintah semestinya dapat dikelola dengan baik. Meskipun gaya berkomunikasi sangat dipengaruhi personal, tetapi arahan menjadi pedoman.
"Salah satu yang kurang baik komunikasi publiknya adalah Mendikbud. Mengandalkan press conference namun tidak menyiapkan stakeholder yang akan terkena imbas dari keputusannya," ujar Ledia kepada Liputan6.com, Kamis (22/10/2020).
Dia memaparkan contoh pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ketika mengatakan jika siswa memerlukan pulsa untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ) silakan minta kepada kepala sekolah karena pemerintah sudah menganggarkan.
"Ini jadi masalah besar karena uangnya belum turun, mekanismenya belum disampaikan pada kepala sekolah. Dan orangtua segera mempertanyakan kepada kepsek sementara kepsek tidak mendapat info," jelas Ledia.
Akibatnya, lanjut dia, menimbulkan distrust pada pihak sekolah. Sementara, dalam dunia pendidikan distrust orangtua terhadap pendidik akan menimbulkan permasalahan lanjutan.
"Komunikasi publik pemerintah juga seringkali blunder plus penyebarluasannya melalui influencer dan buzzer. Harusnya selesaikan dulu di internal pemerintah sebelum mengungkapkannya kepada publik," tegas Ledia.
"Kalau berniat serius memiliki pemerintahan yang baik, maka evaluasi terhadap pembantunya harus menyeluruh. Bukan hanya soal komunikasi, soal kinerja juga harus dievaluasi. Komunikasi yang baik belum tentu kinerjanya baik," Ledia memungkasi.
Teguran yang Berulang
Sejak wabah Covid-19 menyerang Tanah Air, Presiden Joko Widodo atau Jokowi jadi rajin menegur para pembantunya. Bahkan, menegur menteri Kabinet Indonesia Maju seolah sudah menjadi agenda bulanan Jokowi. Karena, bukan saat ini saja Sang Presiden mengkritisi kinerja bawahannya.
Jauh-jauh hari, Jokowi bahkan sempat mengeluarkan ancaman reshuffle kabinet di hadapan para menterinya saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta pada 18 Juni 2020 lalu. Informasi ini baru terungkap dalam video yang ditayangkan akun YouTube Sekretariat Presiden pada Minggu 28 Juni 2020.
Mulanya saat membuka rapat, Jokowi menyampaikan kejengkelannya kepada para menteri lantaran masih bekerja secara biasa saja di masa krisis seperti ini. Padahal, Presiden meminta ada kebijakan luar biasa untuk menangani krisis, baik itu pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap perokonomian.
"Langkah extraordinary ini betul-betul harus kita lakukan. Dan saya membuka yang namanya entah langkah politik, entah langkah pemerintahan," kata Jokowi.
"Akan saya buka. Langkah apa pun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara," ucap Presiden.
Menurut Jokowi, langkah luar biasa itu bisa dalam bentuk mengeluarkan aturan tertentu, bahkan pembubaran lembaga dan perombakan kabinet. Ia lantas menyampaikan ancaman reshuffle bagi menterinya yang masih bekerja biasa-biasa saja.
"Entah buat perppu yang lebih penting lagi kalau memang diperlukan. Karena memang suasana ini harus ada, suasana ini, (jika) Bapak Ibu tidak merasakan itu, sudah," kata dia.
Ia pun meminta para menterinya agar bekerja di luar standar normal dan banyak memunculkan inovasi agar bisa melalui krisis ini. Jokowi meminta para menterinya tak lagi terjebak dalam peraturan di masa krisis.
"Kecepatan dalam suasana seperti ini sangat diperlukan. Tindakan-tindakan di luar standar saat ini sangat diperlukan dan manajemen krisis. Sekali lagi, kalau payung hukum masih diperlukan saya akan siapkan. Saya rasa itu," kata Kepala Negara.
Berselang tak lebih dari sebulan, Jokowi menyinggung sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH) yang dilakukan para menteri selama ini justru tampak seperti cuti.
Pernyataan itu disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas bersama menteri dan kepala lembaga negara mengenai Percepatan Penyerapan Anggaran di 6 Kementerian/Lembaga pada Selasa 7 Juli 2020 lalu. Video itu kemudian diunggah dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu 8 Juli 2020.
"Saya minta kita memiliki sense yang sama. Sense of crisis yang sama. Jangan sampai 3 bulan yang lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, work from home. Yang saya lihat ini kayak cuti malahan. Padahal pada kondisi krisis kita harusnya kerja lebih keras lagi," kata Jokowi.
Jokowi pun meminta para menterinya bekerja lebih keras. Dia meminta para menterinya tidak bekerja biasa-biasa saja di tengah kondisi krisis akibat pandemi virus Corona.
"Jangan kerja biasa-biasa saja. Kerja lebih keras dan kerja lebih cepat. Itu yang saya inginkan pada saat kondisi seperti ini. Membuat permen yang biasanya dua minggu yang sehari selesai. Buat PP yang biasanya sebulan ya dua hari selesai. itu loh yang saya inginkan," tuturnya.
Jokowi juga meminta adanya sebuah terobosan. Dia meminta para menterinya bekerja menggunakan cara yang tidak biasa.
"Kita harus ganti channel. Dari ordinary, pindah channel ke extraordinary. Dari cara-cara yang sebelumnya rumit, ganti channel ke cara-cara yang cepat dan cepat dan cara-cara yang sederhana. Dari cara yang SOP normal, kita harus ganti channel ke SOP yang shortcut. SOP yang smart-shortcut," kata Jokowi.
"Gimana caranya? Bapak-Ibu dan Saudara-saudara lebih tahu dari saya menyelesaikan ini. Kembali lagi, jangan biasa-biasa saja," sambungnya.
Masih di bulan yang sama, Jokowi kembali menegur para pembantunya yang tidak segera membelanjakan anggaran. Jokowi menginginkan jajarannya membelanjakan anggaran negara secara cepat di tengah pandemi corona. Hal itu penting karena rakyat sangat membutuhkan.
Demikian dikatakan Jokowi dalam acara Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2019 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Istana Negara, Jakarta, Senin 20 Juli 2020.
"Kecepatan itu sangat penting. Sangat penting apalagi di era krisis kesehatan dan krisis ekonomi sekarang ini. Percuma kita memiliki anggaran tetapi anggaran tersebut tidak bisa secara cepat dibelanjakan untuk rakyat," tandasnya.
Menurut Jokowi, rakyat sangat menunggu anggaran yang digelontorkan pemerintah, khususnya di tengah pandemi corona saat ini. Karena itu, dia mengingatkan jajarannya agar mempercepat langkah belanja negara namun tetap memerhatikan efisiensi dan akuntabilitas.
"Padahal rakyat menunggu, padahal rakyat membutuhkan pada saat perekonomian juga sangat membutuhkan. Sekali lagi diperlukan langkah yang cepat, langkah yang tepat, langkah yang efisien, dan tentu saja jangan dilupakan akuntabilitas. Ini penting sekali," tandasnya.
Selanjutnya, Presiden menegur para menterinya soal komunikasi terkait virus corona. Pasalnya, pernyataan para menteri akan memberikan pengaruh bagi pandangan masyarakat terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. Jokowi meminta agar komunikasi terkait Covid-19 berkonsultasi dengan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito.
"Karena komunikasi kita yang tidak firm, tidak gamblang, tidak jelas sehingga yang mereka tulis itu sering hal-hal yang tidak baik," ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin 24 Agustus 2020.
Komunikasi tersebut penting dalam membuat persepsi pasar. Pasalnya penanganan Covid-19 akan berpengaruh bagi perkembangan ekonomi di sebuah negara.
"Kita harapkan dengan perbaikan komunikasi yang baik tadi confident market, confident dunia usaha bisa kita berikan ke mereka," terang Jokowi.
Selain itu, selagi menunggu vaksin yang sedang dalam uji klinis, kampanye penggunaan masker perlu dilakukan. Hal itu untuk mencegah penularan Covid-19.
"Saya melihat urusan promosi pemakaian masker belum kelihatan," jelas Jokowi.
Padahal sebelumnya Jokowi meminta agar kampanye penggunaan masker dilakukan dengan masif sehingga dapat meningkatkan penggunaan masker. Jokowi minta percepatan sosialisasi serta pembagian masker kepada masyarakat.
Terakhir, Jokowi menyatakan kerisauannya soal isu vaksin Covid-19 yang diplintir hingga memicu demonstrasi seperti kasus RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dia menegaskan, itu karena pola komunikasi pemerintah yang kurang koordinasi dan tak terbuka kepada publik. Tak cukup cuma klaim, kejujuran didorong untuk memicu kepercayaan warga.
"Hati-hati disiapkan betul, siapa yang gratis dan siapa yang mandiri dijelaskan betul, harus detail. Jangan sampai nanti dihantam isu, diplintir kemudian kejadiannya bisa masyarakat demo lagi," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin 19 Oktober 2020.
Ia memang sempat menyebut demo menolak Omnibus Law dipicu oleh hoaks soal sejumlah poin aturan tersebut. Misalnya, soal isu penghapusan cuti panjang, pesangon, hingga upah minimum kabupaten/kota (UMK).
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilatarbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," kata Jokowi, Jumat 9 Oktober 2020.
Kini, hanya ada dua pilihan bagi Jokowi, pertama kembali menegur menteri bersangkutan jika kembali bermasalah, atau kedua memberikan sanksi tegas untuk sang menteri. Reshuffle kabinet tentu saja menjadi sebuah keniscayaan.
Advertisement