Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badang Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas membenarkan soal penghilangan atau penghapusan pasal terkait minyak dan gas bumi dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).
Adapun pasal yang dimaksud dalam RUU Cipta Kerja tersebut yakni Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Advertisement
"Terkait pasal 46 yang koreksi itu, itu benar. Jadi kebetulan Setneg (Sekretariat Negara) yang temukan, jadi itu seharusnya memang dihapus," kata Supratman, Kamis 26 Oktober 2020 kemarin.
Dia menerangkan, pasal tersebut memang seharusnya sudah tak masuk dalam draf final RUU Cipta Kerja yang akan diserahkan oleh pihak Istana, dan sudah disepakati oleh Panja. Namun masih tercantum, sehingga dihapuskan.
"Saya pastikan setelah berkonsultasi semua ke kawan-kawan itu benar seharusnya tidak ada. Karena seharusnya dihapus, karena kembali ke Undang-Undang Eksisting jadi tidak ada di Undang-Undang Ciptaker," ungkap Supratman.
Dia menjelaskan, awalnya pemerintah memang ingin mengalihkan kewenangan BPH Migas ke Kementerian ESDM melalui RUU Cipta Kerja. Namun, di DPR khususnya di Panja Baleg, usula itu tak diterima.
"Awalnya itu adalah merupakan ada keinginan pemerintah untuk usulkan pengalihan kewenangan BPH Migas toll fee (Menentukan Tarif Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa) dari BPH ke ESDM. Atas dasar itu kami bahas di Panja, tapi diputuskan tidak diterima di Panja. Tetapi dalam naskah yang tertulis itu yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4," tukas Supratman.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Naskah RUU Cipta Kerja Berubah Jadi 1.187 Halaman
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno memastikan, isi naskah RUU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman, sama seperti draf yang diserahkan DPR kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi setebal 812 halaman.
"Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden," jelas Pratikno kepada wartawan, Kamis (22/10/2020).
Dia menjelaskan, sebelum disampaikan kepada Jokowi, setiap naskah RUU dilakukan formating dan pengecekan teknis terlebih dahulu oleh Kementerian Sekretariat Negara. Pratikno menegaskan, setiap perbaikan teknis dilakukan dengan persetujuan DPR.
"Setiap item perbaikan teknis yang dilakukan, seperti typo dan lain lain, semuanya dilakukan atas persetujuan pihak DPR, yang dibuktikan dengan paraf Ketua Baleg," kata Pratikno.
Dia menyebut jumlah halaman tidak bisa menjadi indikator mengukur kesamaan dokumen. Pasalnya, jumlah halaman bisa berbeda ketika format pada ukuran kertas dan jenis huruf yang digunakan berbeda.
"Setiap naskah UU yang akan ditandatangani Presiden dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku," ucap Pratikno.
Advertisement