Dirut PT CMIT Ajukan Banding Vonis Kasus Bakamla

Menurut Saut, dalam putusan Pengadilan Tipikor, majelis hakim menilai perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tersebut tidak tepat.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 23 Okt 2020, 16:58 WIB
Dirut PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (11/5/2020). Rahardjo diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT CMI Teknologi Rahardjo Pratjihno mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Rahardjo tak terima dengan vonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor atas kasus korupsi di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

"Demi kemandirian bangsa, kami akan banding," ujar tim penasihat hukum Rahrdjo, Saut Edward Rajagukguk dalam keterangannya, Jumat (23/10/2020).

Alasan pengajuan banding lantaran menurut Saut, tudingan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kerugian negara Rp 63 miliar terkait pengadaan backbone coastal surveillance system (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) berbeda dengan putusan pengadilan.

Menurut Saut, dalam putusan Pengadilan Tipikor, majelis hakim menilai perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tersebut tidak tepat.

"Berdasarkan hasil perhitungan majelis, kerugian negara yang ditimbulkan dalam proyek BCSS hanya Rp 15 miliar. Meskipun sesuai perhitungan kami tidak ada kerugian negara, malah negara diuntungkan," kata Saut.

Saut juga menyebut, sesuai amar putusan, pihak BPKP sebagai auditor negara, instansi yang ditunjuk KPK ternyata tidak pernah memeriksa PT CMI Teknologi atau Rahardjo Pratjinho, apalagi melakukan audit di lokasi.

Selain itu, menurut Saut, saksi ahli dari BPKP, Sapto Agung Riyadi, di persidangan menyatakan bahwa audit tersebut hanya berdasarkan data yang sudah disajikan oleh KPK.

"KPK telah menzalimi klien saya," kata Saut.

Selain itu, Saut mengungkapkan, BIIS yang merupakan Pusat Komando Pengedalian (Puskodal) Bakamla tidak memiliki platform. Sehingga, Bakamla terpaksa harus menyewa dari pihak swasta atau perusahaan lain.

Proyek tersebut, sambung Saut, menyangkut informasi kerahasiaan negara seperti pengadaan BCSS yang harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012. Menurut Saut, PT CMI Teknologi sebagai pabrikan swasta nasional di industri militer bekerja sesuai UU, bahwa proyek harus seizin pihak Kementerian Pertahanan.

"Jadi bagaimana bisa PT CMI Teknologi punya niat jadi pemenang kontrak kalau semua harus tunduk pada hukum yang mengaturnya? Kalau tidak mandiri, pengawasan laut kita bisa diterobos terus oleh kapal asing di Zona Ekonomi Ekslusif," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Singgung Komitmen Fee Rp 3,5 M

Saut juga menyinggung soal pemberian komitmen fee Rp 3,5 miliar kepada staf khusus Kepala Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi. Menurut dia, kliennya tidak pernah memberikan komitmen fee seperti yang didakwa jaksa penuntut umum.

Menurut Saut, kliennya hanya meminta bantuan Hardy Stefanus untuk menukar cek menjadi valas untuk keperluan korporasi.

"Kemudian dititipkan kepada Fahmi Habsyi. Fahmi Habsyi meneruskan titipan tersebut ke Rahardjo dan sudah diterima kembali, serta diakui oleh klien saya di tahun 2016" kata dia.

Diketahui dalam kasus ini Rahardjo divonis 5 tahun penjara, denda sebesar Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim menilai Rahardjo telah memperkaya diri dan pihak lain dalam proyek Bakamla. Sehingga, merugikan keuangan negara sebesar Rp 63,8 miliar.

Rahardjo melakukan korupsi bersama dengan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku staf khusus Kepala Bakamla, Bambang Udoyo (PPK), Leni Marlena selaku Ketua ULP serta Juli Amar Maruf selaku koordinator ULP Bakamla.

Majelis hakim juga menjatuhi hukuman tambahan terhadap Rahardjo dengan membayar uang pengganti senilai Rp 15 miliar subsider 3 tahun penjara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya