Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah bersiap melakukan penyuntikan vaksinasi Covid-19.
Bahkan, Pemerintah telah berencana memborong 3 juta dosis vaksin Sinovac sebagai tahap awal pemberian antibodi kepada masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat yang berhak menerima vaksin telah disiapkan.
Advertisement
Ada enam kelompok prioritas yang dianggap paling berhak lebih dahulu menerima penyuntikan vaksin Covid-19.
Secara berurutan mereka terdiri dari tenaga kesehatan, pelayan publik, tokoh masyarakat, tenaga pendidik, aparatur pemerintah, peserta BPJS, serta yang terakhir akan diberikan kepada masyarakat dengan rentang usia 18-59 tahun.
Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto memaparkan alasan mengapa vaksin Covid-19 tidak diperuntukkan untuk kelompok usia 18 hingga 59 tahun dan para penderita penyakit komorbid.
Menurut dia, hal itu dikarenakan Indonesia hanya melakukan uji klinis terhadap kelompok usia antara 18 hingga 59 tahun dalam keadaan sehat.
"Saat ini vaksin yang diuji klinis di Indonesia diberikan kepada kelompok usia 18 hingga 59 tahun. Diupayakan dengan minimal komorbid," ujar Terawan.
Meskipun begitu, Terawan menegaskan, tidak menutup kemungkinan bila ternyata vaksin Covid-19 aman digunakan untuk lansia, anak-anak, maupun penderita penyakit komorbid.
"Nanti kalau hasil uji klinis menunjukkan ada keamanan untuk anak-anak, lansia atau komorbid, ya kita akan kerjakan," tegas Terawan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kata Para Ahli
Namun apa yang diungkap Terawan tidak senada dengan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio.
Dia justru mengkritik, apabila vaksin tidak diberikan kepada masyarakat penderita komorbid.
Menurut Amin, para penderita komorbid seharusnya menjadi penerima prioritas nomor dua vaksin Covid-19.
"Orang yang punya komorbid alias yang rentan terpapar Covid-19 sebenarnya menjadi prioritas nomor dua setelah garda terdepan. Lazimnya seperti itu. Tapi kalau di indonesia, yang punya komorbid tidak termasuk," kata Amin saat dihubungi merdeka.com, Kamis malam, 22 Oktober 2020.
Untuk penerima vaksin Covid-19 paling diutamakan, Amin sudah setuju dengan pemerintah. Pemerintah menetapkan tenaga medis dan dan tenaga kesehatan sebagai prioritas utama. Selain itu, para pelayan publik termasuk TNI/ Polri juga masuk ke dalam daftar.
Senada dengan Prof Amin, Dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Erlina Burhan menilai bahwa para seseorang yang punya penyakit komorbid perlu masuk ke dalam daftar penerima prioritas vaksin Covid-19.
Terlebih lagi jika penderita komorbid tersebut merupakan tenaga kesehatan maupun pelayan publik yang sering berinteraksi dengan banyak orang.
"Yang prioritas itu kan orang yang terpapar ya. Sebaiknya orang yang punya komorbid perlu mendapatkan perlindungan dari vaksin ini," kata Erlina kepada merdeka.com, Kamis, 22 Oktober 2020.
Erlina merasa pemerintah tidak perlu tergesa-gesa dalam menetapkan sasaran penerima prioritas vaksin Covid-19. Pasalnya, menurut dia, masih banyak kriteria yang harus dipertimbangkan.
Dia mencontohkan, misalnya ada seorang tenaga medis yang usianya sudah lansia dan memiliki komorbid, lantas dia pun bertanya-tanya, apakah tenaga medis tersebut tidak menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19.
"Ini perlu dipertimbangkan lebih seksama. Ayo ditentukan sasaran penerima yang lebih rinci. Tidak perlu terburu-buru," jelas Erlina.
Advertisement
Semua Berhak Dapat Vaksin Covid-19
Berbeda dengan keduanya, Pakar Virologi Universitas Indonesia Fera Ibrahim menyatakan, sebaiknya seluruh masyarakat Indonesia berhak atas vaksinasi Covid-19.
Namun, dia mengakui, keinginannya itu mungkin tidak bisa terwujud. Lantaran, kata Fera, pemberian vaksin Covid-19 harus mengacu pada hasil uji klinis agar pemberian vaksin tersebut dipastikan aman.
"Ya semua orang prioritas lah. Pemerintah kan memang sudah menetapkan ya, tapi menurut saya semua orang sebenarnya menjadi prioritas," kata Fera saat dihubungi merdeka.com.
Dia mengakui memang harus dilakukan uji klinis pada anak-anak maupun lansia jika ingin memberikan vaksin ke seluruh kelompok usia.
Namun, kata Fera, di Indonesia uji klinis memang hanya dilakukan pada kelompok usia 18 hingga 59 tahun.
"Ya harus dilihat uji klinisnya dulu. Kalau dikasih ke anak kecil atau lansia bagaimana, kalau ke orang yang punya komorbid bagaimana," tegas dia.
Usaha Pemerintah
Secara terpisah, Satgas Penanganan Covid-19 menyatakan, pemerintah akan berusaha untuk melakukan pemerataan vaksinasi Covid-19 setinggi-tingginya demi mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity.
Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan keputusan terkait daerah yang akan mendapatkan vaksin prioritas. Namun, keputusan tersebut belum diumumkan kepada publik.
"Pemerintah pusat belum umumkan daftar daerah yang akan menjadi prioritas. Selagi dalam masa menunggu, kami harapkan pemerintah daerah tidak mengeluarkan pengumuman berdasarkan asumsi sepihak," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito saat konferensi pers di Gedung BNPB Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2020.
Wiku menjelaskan, penetapan daerah prioritas tersebut mempertimbangkan aspek urgensi kebutuhan daerah tersebut akan vaksin.
Hal ini dinilai dari berbagai variabel. Seperti jumlah penduduk, tingkat kasus aktif, penularan dan sebagainya. Yang mana nantinya akan tertuang dalam roadmap vaksinasi. Informasi terkait hal ini, kata Wiku, akan disampaikan kepada publik secara terbuka dan transparan.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengakui bahwa penentuan wilayah prioritas penerima vaksin Covid-19 memang ditentukan oleh pemerintah.
Begitu pula jumlah yang akan diedarkannya. Meskipun begitu, Ridwan Kamil mengatakan, dia sudah mengajukan tiga juta vaksin Covid-19 ke pemrintah pusat untuk didistribusikan ke Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek).
"Arahnya memang diberikan di daerah yang epidemiologis termasuk tinggi penyebarannya, yaitu Jabodetabek. Sehingga Jabar mengajukan 3 juta vaksin untuk Bodebek," kata Ridwan Kamil saat konferensi pers yang digelar secara virtual pada 19 Oktober 2020 lalu.
Jika permintaannya disetujui oleh pemerintah pusat, maka ia akan mengutamakan penyuntikan vaksin untuk tenaga kesehatan, TNI/ Polri, serta berbagai macam profesi yang banyak melayani publik. Termasuk para petugas stasiun dan terminal.
Advertisement
Kebutuhan Dosis
Sementara itu, BPJS akan dilibatkan dalam menentukan penerima prioritas vaksin Covid-19. Pasalnya, BPJS memiliki big data seluruh masyarakat Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Eksekutif Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Raden Pardede saat webinar di Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2020.
Data yang akan digunakan adalah data peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Meski begitu, pihaknya masih terus melakukan penyaringan penerima agar bisa dipastikan bahwa vaksin Covid-19 hanya diberikan secara gratis kepada masyarakat menengah ke bawah saja.
Sebelumnya, pada 11 September 2020 lalu, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Erick Thohir mengusulkan adanya skema vaksin Covid-19 secara mandiri.
Melalui skema ini, masyarakat kelas atas tidak mendapatkan vaksin Covid-19 secara gratis dari pemerintah, namun harus membelinya. Erick berharap, masyarakat kelas atas bisa membantu menambah pemasukan negara.
"Saya usulkan, vaksin ini dibagi menjadi dua, vaksin bantuan pemerintah bagi masyarakat yang membutuhkan dan vaksin mandiri. Untuk masyarakat mampu atau punya uang, bisa menggunakan vaksin mandiri," ungkap Erick.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio menyebutkan, pemerintah setidaknya harus menyediakan sekitar 540 juta vaksin Covid-19 bila ingin melakukan vaksinasi kepada seluruh rakyat Indonesia.
Hitungannya, jumlah penduduk Indonesia dikali jumlah dosis yang akan diberikan, yakni sebanyak 2 kali. Hal ini dikarenakan setiap orang diwajibkan untuk disuntik vaksin sebanyak dua kali. Sehingga tidak bisa hanya satu kali suntik saja.
"Misalnya jumlah penduduk Indonesia yang harus divaksin 270 juta, maka perlu 540 juta vaksin karena dosisnya dua kali disuntik. Nah sedangkan vaksinnya baru datang di bulan pertama 10 juta, bulan kedua 8 juta, dan baru bisa mencapai 100 juta dalam setahun. Inilah mengapa harus ditentukan 10 juta pertama itu untuk siapa," tutup Amin.
Penjelasan WHO
Sebagai informasi, World Health Organization menyatakan, sebuah negara bisa dikatakan terbebas dari pandemi jika melakukan vaksinasi terhadap 2/3 dari penduduknya.
Artinya, 180 juta penduduk RI wajib divaksin. Sehingga, setidaknya Indonesia harus menyediakan 360 juta vaksin Covid-19.
Oleh karena itu, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KP-PEN) Airlangga Hartarto memperkirakan akan ada 160 juta warga Indonesia yang akan disuntik vaksin Covid-19, dengan kebutuhan vaksin sebanyak 320 hingga 370 juta.
Sebanyak 160 juta orang yang terdiri dari enam kelompok akan menjadi penerima vaksin gratis dari pemerintah. Airlangga mengatakan, pembagian vaksin tersebut terbagi menjadi lima tahapan.
Tahapan Pertama akan dibagikan pada kuartal IV/2020 dengan jumlah 36 juta vaksin. Selanjtnya, pada triwulan I/2021 sebanyak 75 juta.
"Lalu triwulan II 105 juta. Periode berikutnya 80 juta, dan 3 bulan terakhir di tahun 2021 sebanyak 80 juta vaksin akan disuntikkan," kata Airlangga pada 2 Oktober lalu.
Kemudian, ia juga menjabarkan dengan rinci enam kelompok prioritas tersebut beserta jumlahnya.
Kelompok pertama, terdiri dari tenaga medis, pelayan publik, termasuk TNI/Polri sebanyak 3.497.737 orang. Kelompok kedua terdiri dari tokoh masyarakat/agama, perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW), dan sebagian pelaku ekonomi sebanyak 5.624.010 orang.
"Kelompok ketiga, tenaga pendidik Paud/TK, SD, SMP, SMA, dan sederajat serta perguruan tinggi sebanyak 4.361.197 orang, Kelompok keempat terdiri dari aparatur pemerintah pusat, daerah, dan legislatif berjumlah 2.305.689 orang," ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Senin (12/10).
Kelompok kelima diberikan bagi para peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 86.622.867 orang, dan terakhir untuk masyarakat dengan rentang usia 19-59 tahun sebanyak 115 juta dosis.
Reporter : Rifa Yusya Adilah
Sumber : Merdeka
Advertisement