Omnibus Law, Produk Hukum Paling Membingungkan Sejak Indonesia Merdeka

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menerima soft copy dan hard copy omnibus law UU Cipta Kerja yang berbeda.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 23 Okt 2020, 20:30 WIB
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kelompok masyarakat masih bersikeras menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Hal ini karena selain sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, juga terkait transparansi dari UU itu sendiri. Mulai dari pembahasan, pengesahan, hingga naskah akhir.

Diketahui, ada sejumlah naskah atau draft yang beredar dengan berbagai versi halaman. Sehingga masyarakat mengalami kesulitan untuk melakukan pendalaman lantaran ada banyak versinya.

Omnibus Law atau UU Cipta Kerja merupakan satu-satunya produk hukum yang paling membingungkan sejak Indonesia merdeka. Bagaimana bisa sebuah rancangan peraturan perundang undangan yang niatnya bagus dan dibahas di DPR tidak mempunyai RUU yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya,” ujar Pemerhati Kebijakan Publik, Agus Pambagio dalam keterangan tertulis, Jumat (23/10/2020).

Sejak disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, Agus menilai tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah terkait hal ini. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terus menurun. Ditandai dengan munculnya berbagai demo dan protes masyarakat.

Bahkan, baru-baru ini dua Organisasi Kemasyarakatan Islam terbesar yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menerima soft copy dan hard copy UU Cipta Kerja yang berbeda.

Jumlah halaman Softcopy UU Cipta Kerja adalah 1.187 halaman, sedangkan Hard Copy berjumlah 1.038 halaman. Dimana keduanya juga berbeda dengan dokumen yang ada di tangan Presiden, yakni 812 halaman.

“Ini sebuah dagelan legislasi yang paling tidak lucu sepanjang sejarah Indonesia. Bagaimana bisa dua Ormas besar memperoleh dokumen yang berbeda dan juga berbeda dengan yang diterima oleh Presiden dari DPR-RI,” kata Agus.

Selain perbedaan jumlah halaman, Agus menjelaskan bahwa menurut beberapa Ahli Hukum Tata Negara Senior, proses pembuatan UU Cipta Kerja ini juga melanggar UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang Undangan.

“Semakin tidak jelasnya keberadaan omnibus law UU Cipta Kerja ini membuat para pihak enggan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena menurut mereka enam Hakim MK sudah pasti akan berpihak ke Pemerintah dan DPR,” tegas Agus.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Akui Salah Satu Pencetus UU Omnibus Law Cipta Kerja, Begini Cerita Luhut

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengakui jadi salah satu pencetus lahirnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Banyaknya aturan yang tumpang tindih di Indonesia, menjadi dasar dia mencetuskan ide tersebut.

"Ini terus terang jujur, saya mulai waktu saya mulai waktu saya Menkopolhukam waktu itu saya melihat betapa semrawutnya UU peraturan kita yang ada sekian puluh itu satu sama lain saling tumpang tindih," kata Luhut, kemarin.

 

Dengan adanya kesemrawutan aturan tersebut, dia menilai, praktik korupsi akan semakin tinggi. Tidak hanya itu inefisiensi akan terjadi di mana-mana.

Dengan adanya ide tersebut, Luhut kemudian bertemu Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie, serta Sofyan Djalil di kantornya untuk berdiskusi untuk membuat aturan lebih ringkas. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih.

"Waktu itu saya kumpulkan Pak Mahfud, dan juga Pak Jimly Ashdiiqi Seno aji, pak Sofyan Djalil dari kantor saya ada pak Lamboko untuk mendiskusikan bagaimana caranya karena kalau satu persatu uu itu di revisi enggak tahu sampai kapan selesainya," terang dia.

Kemudian muncul gagasan Omnibus Law dari Sofyan Djalil yang pernah mengeyam pendidikan di Amerika Serikat. Luhut menjelaskan aturan tersebut bisa menyelaraskan isi aturan UU sehingga tidak saling tumpang tindih.

"Nah itu kemudian karena kesibukan sana sini belum terjadi baru mulai dibicarakan kembali oleh pres akhir tahun lalu dan itulah sekarang buahnya sekarang jadi itu proses panjang bukan proses tiba-tiba," tutup Luhut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya