Liputan6.com, Makassar - Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya menyatakan banding atas vonis yang ditetapkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Negeri Makassar kepada Hamri Haiya, terdakwa perkara korupsi penyetoran fee 30 persen guna pemulusan pembahasan APBD Makassar tahun anggaran 2017, Senin 12 Oktober 2020.
Eks Camat Rappocini itu sebelumnya dijatuhi hukuman pidana tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila tidak membayar denda maka dikenakan hukuman 2 bulan kurungan.
Tak hanya itu, ia juga turut dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp448 juta dalam waktu satu bulan setelah mendapat putusan tetap, maka harta benda dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut. Jika harta benda miliknya tidak mencukupi, maka ia dipidana dengan hukuman penjara selama satu tahun.
"Iya JPU banding," ucap anggota tim JPU dalam perkara tersebut, Kamariah, kepada Liputan6.com via pesan singkat, Jumat (23/10/2020).
Baca Juga
Advertisement
Vonis Majelis Hakim kepada terdakwa dinilai lebih rendah dari tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dimana sebelumnya, JPU telah menuntut terdakwa 7 tahun penjara subsider 4 bulan kurungan.
Selain tuntutan pidana badan, Mantan Camat Rappocini itu juga dituntut untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp2,4 miliar. Jika ia tak mampu membayar uang pengganti, maka hartanya disita sesuai nilai uang pengganti dan jika hartanya tak mencukupi, maka diberi hukuman pidana tiga tahun penjara.
Tak hanya itu, dalam tuntutannya, JPU juga meminta kepada Majelis Hakim agar terdakwa ditahan di sel Rutan. "Pada vonis malah tidak ada perintah agar terdakwa dimasukkan ke dalam Rutan. Tuntutan kami ada perintah masuk," ucap JPU, Imawati sebelumnya.
Untuk diketahui, dalam dakwaan JPU terdakwa Hamri Haiya didakwa bersalah telah melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1), jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Saat menjabat sebagai Camat Rappocini, Hamri diduga telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan Erwin Syarifuddin Haiya dan Helmy Budiman, selaku Kepala Bidang Anggaran BPKAD Kota Makassar terhitung sejak bulan Juli 2016 hingga Desember 2017 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2016 sampai dengan tahun 2017 bertempat di kantor BPKAD Kota Makassar.
Erwin Syarifuddin Haiya sendiri diketahui merupakan saudara kandung Hamri Haiya. Dimana Erwin yang lebih awal divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Negeri Makassar itu, diketahui pada saat itu bertindak selaku Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Makassar.
JPU menilai perbuatan Hamri Haiya merupakan tindak pidana dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.
Ia dinilai menguntungkan dirinya sebesar Rp2.378.754.753,70 hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara pada Kecamatan Rappocini sebesar Rp1.928.754.753,70 yang merupakan bagian dari total kerugian keuangan negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksan Investigatif BPK RI Nomor:104/LHP/XXI/12/2018 tertanggal 31 Desember 2018 yakni sebesar Rp26.993.804.083,79.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Desakan Aktivis Antikorupsi Makassar
Kalangan aktivis anti korupsi gencar mendesak pihak penegak hukum dalam hal ini Kepolisian agar segera membuka kembali penyidikan lanjutan perkara korupsi penyetoran fee 30 persen tersebut.
"Penyidikannya harus dilanjutkan kembali. Jelas masih banyak dugaan keterlibatan pihak-pihak lain dan itu merupakan fakta persidangan," kata Direktur Kadir Wokanubun, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) via telepon.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara fee 30 persen itu, kata Kadir, seharusnya menindaklanjuti apa yang menjadi fakta persidangan dengan berkordinasi ke penyidik Bareskrim agar penyidikan kembali dilanjutkan guna mencari pertanggungjawaban pidana pihak-pihak lain yang turut serta ikut dalam kegiatan yang merugikan negara tersebut.
"Dalam fakta persidangan terungkap perbuatan para camat di Makassar yang jelas-jelas menyetor dana 30 persen yang mana dana tersebut diambil dari anggaran kegiatan sosialisasi yang dikucurkan ke tiap-tiap Kecamatan," terang Kadir.
Perbuatan para camat tersebut dinilai sebagai bentuk dugaan penyalahgunaan kewenangan karena memotong anggaran untuk kegiatan sosialisasi yang didapatkannya.
"Para camat yang dimaksud harus dimintai pertanggungjawaban. Apalagi dugaan keterlibatannya merupakan fakta persidangan dan itu merupakan alat bukti yang sah serta patut didalami dengan melalui proses penyidikan," jelas Kadir.
Tak hanya dugaan keterlibatan para camat, pada persidangan perkara korupsi penyetoran fee 30 persen yang mendudukkan Hamri Haiya sebagai terdakwa itu, juga terungkap fakta lainnya yakni adanya tradisi penyetoran fee untuk pemulusan pembahasan APBD oleh sejumlah SKPD di Makassar.
"Ini harusnya ditindaklanjuti karena jelas adalah fakta hukum dan kekuatan pembuktiannya sah karena terungkap sebagai fakta persidangan," tutur Kadir.
Fakta adanya dugaan keterlibatan para camat hingga tradisi penyetoran fee oleh sejumlah SKPD dalam rangka pemulusan pembahasan APBD Kota Makassar sebelumnya diungkap oleh Mantan Wali Kota Makassar satu periode, Moh. Romdhan Pomanto saat memberikan kesaksian di sidang perkara fee 30 persen yang menjerat Hamri Haiya.
Dalam persidangan yang digelar Kamis 4 Juni 2020 saat itu, Danny sapaan akrab Moh. Romdhan Pomanto yang dihadirkan sebagai saksi, mempertegas jika penganggaran kegiatan sosialisasi yang dijalankan oleh semua OPD termasuk di dalamnya Kecamatan itu, bermasalah.
Kejanggalan itu diketahui oleh Danny setelah ia memasuki hari kerja pertama pascacuti mengurus pencalonannya untuk maju dalam Pilkada Makassar kala itu.
"Saya lihat keanehan itu. Kok anggaran sosialisasi sangat besar. Dengan begitu saya langsung perintahkan untuk mengunci brankas dan meminta Inspektorat untuk memeriksa atau mengauditnya," tutur Danny di dalam persidangan.
Alhasil dari hasil pemeriksaan Inspektorat ditemukan ada kejanggalan. Ia pun lalu memanggil para camat dan mempertanyakan dana bernilai besar untuk kegiatan sosialisasi yang dimaksud.
"Dan apa kata Camat, itu katanya sudah tradisi di kepemimpinan sebelumnya. Bahkan kata mereka (Camat), tradisi fee yang diambil itu bukan lagi 30 persen tapi 50 persen," ungkap Danny dalam persidangan.
Saat ditanya siapa-siapa Camat saat itu yang ia panggil mempertanyakan temuan Inspektorat yang dimaksud, Danny lalu mengatakan diantaranya ada Camat Biringkanaya, Tamalate dan Mariso.
"Oh iya seingat saya juga ada terdakwa, Camat Rappocini. Silahkan ditanya langsung ke terdakwa," tutur Danny menjawab pertanyaan anggota Majelis Hakim dalam persidangan.
Terdakwa yang duduk tepat berada di bagian sebelah kanan Danny, membenarkan apa yang dikatakan Danny.
"Iya betul," singkat terdakwa, Hamri Haiya dalam persidangan.
Advertisement
Dukungan Akademisi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina dimintai tanggapannya menjelaskan bahwa kesaksian Danny terkait adanya pengakuan para camat kepadanya bahwa penyetoran fee sudah ada jauh sebelumnya dan telah menjadi tradisi bahkan fee yang disetor jumlahnya hingga 50 persen itu, secara hukum dapat dijadikan pintu masuk pengembangan kasus hukumnya untuk melibatkan kembali peran pelaku lain sehubungan dengan pemberian fee yang dimaksud.
"Pemberian fee 30 persen bahkan sampai 50 persen, kalau itu hanya tradisi yang tidak ada norma hukum pemberlakuannya, maka itu merupakan perbuatan melawan hukum yakni penyalahgunaan kewenangan dibidang administrasi pemerintahan (on recht matigee over heid daad)," kata Jermias.
Kebiasan tanpa dukungan norma dasar yang mengatur perbuatannya di lapangan yakni hukum administrasi, tentu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan yang disebut perbuatan tanpa dasar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan hukum UU NO. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang didalamnya mengatur mengenai penyalahgunaan kewenangan dibidang administrasi dan salah satunya adalah perbuatan tanpa dasar atau tidak ada norma hukum yang mengatur sesuatu perbuatan adminitrasi yang diambil oleh pejabat serta berakibat menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara.
"Keterangan saksi Danny Pomanto di muka persidangan dapat dijadikan sebagai bukti baru untuk pengembangan lebih lanjut mencari pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku lainnya yang selama ini mempraktikkan pemberian fee dengan dalih untuk memuluskan pembahasan APBD yang sifatnya menyalahi kewenangan dalam menjalankan perbuatan hukum dibidang administrasi," jelas Jermias.
Saksi Danny Pomanto, kata dia, wajib dipanggil untuk diperiksa oleh penyidik tipikor yang menangani perkara tersebut. Tujuannya untuk semakin membuat terang pelaku lainnya, yang tentunya secara ajaran hukum pidana dapat dipergunakan pertanggungjawaban pidana secara penyertaan (Delneming) atau pembantuan dengan melibatkan para Camat lainnya yang telah disebutkan oleh Danny Pomanto dalam kesaksiannya dalam persidangan sebelumnya.
"Sehingga tidak menutup kemungkinan wali kota atau pimpinan terdahulu dapat dilibatkan kembali dalam mengungkap kasus kebiasaan pemberian fee yang ilegal dalam praktiknya selama ini," Jermias menandaskan.
Para Camat juga wajib diseret untuk diminta pertanggungjawaban pidana agar masalahnya menjadi terang.
"Di persidangan kan, Danny Pomanto sudah sebut mereka," kata Jermias.
Perbuatan pidana para Camat yang disebut yakni mereka tahu adanya dugaan kejahatan dengan memberi fee tanpa dasar hukum, tapi mereka tetap menjalankannya.
"Minimal unsur sengaja menghindari perbuatan dalam arti mengetahui dan menghendaki terjadi delik," terang Jermias.