Liputan6.com, Jakarta - Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menilai rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada 2021 sebesar 13-20 persen sangat memberatkan industri.
Industri hasil tembakau (IHT) mengalami tekanan sangat besar dampak pandemi COVID-19 dan kenaikan cukai hasil tembakau 2020 sebesar 23 persen dan harga jual eceran sebesar 35 persen.
Advertisement
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad mengatakan bahwa kenaikan cukai hasil tembakau berdampak negatif bagi pelaku usaha di sektor IHT.
“Kami meminta pemerintah agar tidak menaikkan tarif cukai rokok di tahun 2021. Pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi industri yang babak belur dihantam pandemi dan kenaikan cukai terlalu tinggi tahun ini,” katanya kepada wartawan, Senin (26/10/2020).
Seperti diketahui, selama pandemi sektor IHT mengalami kontraksi yang cukup dalam sebesar -10,84 persen Year on Year (YoY). IHT juga mengalami kontraksi yang cukup besar sebanyak -17,59 persen akibat menurunnya produksi rokok pada kuartal II 2020.
“Kondisi IHT saat ini sedang tertekan, produksi dan volume penjualan menjadi turun, dan ditambah Covid-19 memukul telak daya beli masyarakat. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula,” ujar Azami di Jakarta.
Padahal, sektor IHT memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara. Cukai rokok menyumbang 11 persen dari total APBN dan menyumbang hingga 97 persen dari total keseluruhan penerimaan cukai. Kontribusi pada negara terbukti pada realisasi penerimaan cukai sepanjang Januari-September 2020 tetap tumbuh 7,24 persen year on year (yoy).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Berpotensi Hilang
Azami mengatakan kontribusi yang besar ini justru berpotensi hilang akibat kebijakan CHT yang naik eksesif tiap tahun. “Jika terus menerus begini, akan ada titik optimum di mana industri tidak sanggup lagi membayar cukai atau mengalami diminishing returns,” katanya.
Dia berharap pemerintah lebih bijak dan jangan menekan industri dengan kenaikan cukai rokok yang eksesif. Jika sektor IHT tumbang, maka potensi kerugian penerimaan negara sangat besar.
“Sekarang saja setidaknya butuh waktu sekitar 2 tahunan untuk bisa pulih dari krisis akibat kenaikan cukai yang eksesif dan pandemi COVID-19,” tandas Azami.
KNPK juga menilai sektor IHT yang paling rentan terdampak kenaikan cukai adalah petani dan buruh di sektor hulu. Petani tembakau dan cengkih mengalami keterpurukan karena serapan bahan baku yang menurun hingga 40% akibat penurunan volume produksi di pabrikan.
Masalah tenaga kerja juga tidak terelakkan. Berdasarkan hasil survei peneliti Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung menunjukkan telah terjadi PHK di sektor IHT di Jawa Timur. Di wilayah Pandaan sudah terjadi 851 PHK, lalu di Kediri terdapat 1.327 buruh pabrik yang terkena PHK. Data ini belum mencakup wilayah-wilayah lain yang menjadi sentra produksi rokok di Indonesia.
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM – SPSI) mengancam akan melakukan aksi demo apabila pemerintah menaikkan cukai rokok terlalu tinggi.
“Kenaikan cukai di tahun 2020 sudah cukup mencekik dan menekan industri, dan ini berimbas pada pekerja dan anggota yang terlibat dalam industri ini,” ujar Ketua Umum PP FSP RTMM – SPSI Sudarto
Dia menilai penurunan produksi telah menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan, dan daya beli pekerja.
“Pemerintah butuh penerimaan cukai dan pajak hasil tembakau, akan tetapi pekerja juga butuh kelangsungan bekerja dan penghidupan yang layak,” pungkas Sudarto.
Advertisement