Selama Pandemi, Kebijakan Restrukturisasi Kredit Masih Sangat Dibutuhkan

Sejak awal, langkah OJK melakukan restrukturisasi kredit bisa membantu menahan dampak pandemi agar tidak semakin parah.

oleh Athika Rahma diperbarui 26 Okt 2020, 17:17 WIB
Ilustrasi bank (Sumber: Istockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan restrukturisasi kredit yang dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bukan cuma regulasi semata. Di tengah dampak pandemi, restrukturisasi kredit diperlukan bagi mereka yang kesulitan membayar cicilan karena menurunnya pendapatan.

Ekonom Center of Reforms on Economic (CORE) Piter Abdullah menyatakan, kebijakan restrukturisasi kredit masih akan terus dibutuhkan selama pandemi masih belum berakhir. Dengan demikian, keputusan OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dinilai bijak, apalagi berakhirnya pandemi masih belum pasti.

"Di tengah pandemi, dunia usaha mengalami tekanan cashflow yang sangat berat. Penerimaan turun sementara pengeluaran tetap tinggi, termasuk untuk pembayaran pokok dan bunga kredit bank," ujar Piter saat dihubungi Liputan6.com, Senin (26/10/2020).

Lanjut Piter, jika dunia usaha tidak dibantu maka kredit mereka ke bank akan macet. Imbasnya, pelaku usaha tidak bisa mendapat kredit baru, bangkrut dan yang paling parah, krisis ekonomi akan terjadi.

"Kalau kredit mereka macet, permasalahan akan bergeser ke sektor keuangan. NPL (Non Performing Loan) naik tajam, permodalan bank tergerus dan ujungnya kita krisis perbankan dan krisis sistem keuangan," ujar Piter.

Oleh karenanya, sejak awal, langkah OJK melakukan restrukturisasi kredit bisa membantu menahan dampak pandemi agar tidak semakin parah.

"Selama masih berlangsung pandemi, saya kira, kita masih memerlukan kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


OJK Perpanjang Relaksasi Restrukturisasi Kredit Setahun

Kepala OJK Wimboh Santoso menyampaikan paparan dalam pertemuan dengan pimpinan bank umum Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit selama 1 tahun. Hal ini setelah memperhatikan asesmen terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini saat Rapat Dewan Komisioner OJK pada 23 September 2020.

"Perpanjangan restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam keterangan resminya, pada Jumat 23 Oktober 2020.

Namun, lanjut dia, kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi ditengah masa pandemi ini

OJK segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk Peraturan OJK (POJK), termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan terkait.

Antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA), serta penundaan implementasi Basel III.

Realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per 28 September 2020 sebesar Rp904,3 Triliun untuk 7,5 juta debitur. Sementara non-performing loan (NPL) di bulan September 2020 sebesar 3,15 persen, menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22 persen.

Wimboh melanjutkan, untuk menjaga prinsip kehati-hatian, bank juga telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dalam 6 bulan terakhir menunjukkan kenaikan.

"OJK senantiasa mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan di sektor jasa keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional," ujar Wimboh.


Stimulus

Untuk diketahui, pada 13 Maret lalu, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease. Peraturan tersebut berlaku sampai 31 Maret 2021.

POJK ini diharapkan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus corona (Covid-19), sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Pemberian stimulus ditujukan kepada debitur pada sektor-sektor yang terdampak penyebaran virus Covid-19, termasuk dalam hal ini debitur UMKM dan diterapkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan ketentuan.

Kebijakan stimulus dimaksud terdiri dari:1. Penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit s.d Rp10 miliar; dan2. Restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa batasan plafon kredit.  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya