Lindungi IHT dan Petani Tembakau, Pemerintah Diminta Tolak FCTC

Pemerintah diminta untuk melindungi industri hasil tembakau (IHT) dan para petani tembakau dengan tegas menolak aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Okt 2020, 08:45 WIB
Seorang petani membawa daun tembakau di perkebunan tembakau di San Juan y Martinez, Provinsi Pinar del Rio, Kuba (24/2). Para peserta akan dibawa ke perkebunan tembakau terbaik di Pinar del Rio dan ke pabrik cerutu bersejarah. (AFP Photo/Yamil Lage)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk melindungi industri hasil tembakau (IHT) dan para petani tembakau. Salah satunya dengan tegas menolak aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang coba diterapkan secara ketat di Indonesia.

Anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah mengatakan, dalam klausul FCTC tembakau diindikasikan sebagai komoditas negatif karena mengakibatkan kecanduan (adiktif).

"Hal ini tidak adil karena keputusan ini dilakukan tanpa adanya riset dan pengembangan penelitian terlebih dahulu," tegasnya di Jakarta, Senin (26/10/2020).

Jamak diketahui, FCTC merupakan agenda asing untuk mengontrol Indonesia, karena dengan melemahkan IHT dan turunannya, maka penerimaan pajak akan ikut menurun.

“Kalau pajak terus dinaikkan, maka industri akan mati, kalau industri mati maka petani juga ikut mati,” tegas Luluk.

Legislator PKB itu mengungkapkan, apabila rokok itu harus dilarang, bukan berarti tembakau sebagai komoditas perkebunan harus diberangus, karena komoditas tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku lain.

“Contohya, ditengah pandemi ini, vaksin dari beberapa negara seperti Tiongkok dan Inggris ternyata kandungan terbesarnya berasal dari tembakau,” paparnya.

Luluk mengingatkan bahwa tembakau adalah tanaman khusus yang memerlukan suhu, tanah dan bentuk perawatan lain yang khas.

“Jadi sangat aneh kalau pemerintah terus menaikkan pajak serta cukai yang berdampak mematikan para petani,” ujarnya.

Mengenai simplifikasi, Luluk menolak rencana Kementerian Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun depan tersebut.

“Sebab jika dilakukan, maka akan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan penyederhanaan tarif cukai juga hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik skala menengah, kecil, termasuk para petani tembakau.

Berdasarkan hasil kajiannya, kebijakan penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama, pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head.

"Dampak serius lainnya adalah pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu-satunya, tidak akan mampu untuk bertahan," katanya.

Apabila PMK 77/2020 ini jadi diterapkan, sambungnya, serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau berkurang hingga 30 persen. Di samping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.

"PMK 77/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharian. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis-lapis," ungkap Luluk.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Cukai Rokok

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ia menyebutkan, cukai rokok sebenarnya sudah dinaikan sebanyak 23 persen pada akhir 2019 dan diberlakukan pada 2020. Apabila tahun depan dinaikkan kembali, akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal di saat semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi covid-19.

Luluk menyatakan fakta tahun lalu, harga tembakau turun drastis karena kebijakan kenaikan cukai rokok sebelumnya.

"Sekarang dengan PMK ini juga di tengah masa pandemi covid-19, saya rasa sangat tidak tepat kalau ini mau diterapkan. Seharusnya pemerintah justru memberikan perlindungan kepada industri rokok dan petani tembakau," lugas Luluk.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PKB, Hasanuddin Wahid menegaskan, IHT adalah warisan hasil kebudayaan nasional yang harus dilindungi dan dikembangkan agar memberikan kontribusi yang maksimal bagi bangsa dan negara.

“Jadi segala bentuk aturan yang merugikan IHT, termasuk di dalamnya para petani, harus segera dihentikan, bukan malah dicari celahnya seperti mengambil pajak atau penerapan cukai yang tinggi. Ini berkaitan erat dengan para petani yang ada di desa-desa dan itu sebagian besar warga PKB,” kata Hasanuddin.

Dia menambahkan, PMK No 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 sangat mengancam IHT. Pasalnya, aturan itu mengatur simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

Menurut Hasanuddin, kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai dampaknya serapan produk tembakau rendah dan mengancam eksistensi pabrik rokok. Juga tenaga kerja, petani, dan buruh rokok kena dampaknya.

“Dampaknya akan sangat panjang, bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya,” tuturnya

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya