Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, menilai sistem ekonomi dan keuangan berbasis syariah sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia.
Menurut dia, saat ini merupakan momentum bagi Indonesia agar sistem syariah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Sekaligus menjadi role model dalam berbagai produk keuangan.
Advertisement
Demi menggapai tujuan tersebut, Wimboh menekankan pentingnya peran fatwa dalam pengembangan sistem ekonomi syariah. Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) menganggap fatwa sebagai faktor utama berlangsungnya kegiatan ekonomi dan keuangan syariah.
"Fatwa merupakan ruh atau jiwa dari ekonomi dan keuangan syariah, karena fatwa ini akan memberikan koridor dan batasan atas kesyariahan suatu transaksi yang seyogyanya sejalan dengan dinamika dan perkembangan zaman," jelasnya dalam sesi teleconference, Selasa (27/10/2020).
"Oleh karena itu, fatwa merupakan hal yang sangat penting dan menjadi pembeda antara keuangan yang bersifat syariah dan keuangan yang bersifat bukan syariah," Wimboh menekankan.
Wimboh menerangkan, keputusan atau fatwa yang diberikan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) merupakan hasil ijtihad kolektif atau dikenal dengan nama ijtihad jama'i.
"Tentu dari derajatnya ijtihad ini mempunyai kekuatan yang lebih kuat atau lebih tinggi, terutama apabila dibandingkan dengan ijtihad yang dilakukan oleh individual ulama," tegasnya.
Adapun di Indonesia, fatwa yang diterbitkan khususnya mengenai transaksi keuangan syariah, berperan sangat penting dalam pengembangan industri keuangan berbasis syariah.
"Karena itu akan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap syariah kesyariahannya atas produk dan layanan yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah," tukas Wimboh.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK: Perusahaan Asuransi, Jangan Persulit Nasabah Kalau Mau Klaim
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Nasrullah menyatakan, kunci utama suksesnya industri asuransi berasal dari kepercayaan masyarakat, baik calon nasabah maupun nasabah.
Ketika masyarakat percaya, maka mereka tidak akan segan untuk membeli produk asuransi. Nasrullah bilang, mendapatkan kepercayaan dari masyarakat itu mudah.
"Yang tak kalah penting, karena bisnis kita berbasis trust (kepercayaan), asuransi harus bisa bangun kepercayaan itu. Gampang. Nggak usah mempersulit kalau (nasabah) mau klaim, itu aja," katanya dalam webinar, Selasa (27/10/2020).
Tak cuma itu, agar masyarakat lebih percaya, maka penggunaan teknologi untuk layanan asuransi juga harus dioptimalkan. Digitalisasi asuransi bisa membuat masyarakat mendapatkan produk yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi finansial mereka dengan mudah.
Peluang ini dinilai sangat baik, mengingat penerapan teknologi di Indonesia sudah cukup baik. Hal ini juga dinilai bisa mendukung penetrasi asuransi yang dinilai masih minim.
"Ini peluang bagi kita karena potensi kita masih besar, karena penduduk Indonesia ini besar dari 270 juta jiwa, kalau 20 persennya saja sadar berasuransi, ini pasti meningkat signifikan," katanya.
Nasrullah juga mengingatkan, membangun bisnis asuransi ialah rencana jangka panjang. "Nggak ada bisnis ini 1-2 tahun langsung untung. Menurut studi kami, minimal 7 tahun, cuma ketika dia sudah mulai take off, itu insya Allah cepat bertumbuh untuk mengganti (modal) di masa investasi," katanya.
Nasruah bilang, industri asuransi harus memiliki pandangan yang jauh ke depan. Menurutnya, meskipun pandemi Covid-19 menjadi musibah, namun hal ini harus dihadapi sebagai tantangan untuk industri asuransi agar bisa berpikir kreatif dan inovatif.
"Industri juga harus resilien dan bisa tahan banting dan adaptatif, jangan sampai kita kalah saing dengan yang lain. Harus tough," katanya.
Advertisement