Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Malang menolak kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun depan. Alasannya, industri hasil tembakau tengah terdampak pandemi COVID-19. Hal ini dinilai akan menurunkan serapan tenaga kerja dan bahan baku tembakau.
Ketua Gapero Malang Johni SH mengusulkan agar tarif cukai rokok tahun depan tidak dinaikkan.
Advertisement
“Usulan dari asosiasi, tarif cukai tidak dinaikkan dulu karena industri hasil tembakau (IHT) juga terdampak saat pandemi,” ungkapnya Rabu, (28/10/2020).
Menurutnya, hal ini berimbas pada penurunan hasil produksi sehingga pemasarannya ikut turun.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 13-20 persen pada 2021. Selama pandemi, IHT tercatat mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni sebesar -10,84 persen year-on-year (yoy).
Selain itu, penurunan produksi rokok pada kuartal II 2020 juga menyebabkan terjadinya kontraksi sebesar -17,59 persen. Apabila cukai rokok naik mencapai 13-20 persen, produksi rokok akan menurun signifikan.
Sementara itu, Ketua Gapero Surabaya Sulami Bahar juga mendesak pemerintah agar tidak menaikkan cukai rokok dengan alasan yang sama yakni penurunan produksi dan serapan tenaga kerja.
“Kalau cukai naik sampai 17 persen itu benar kami prediksi produksi akan terjadi penurunan sekitar 40-45 persen pada 2021,” kata Sulami.
Itulah sebabnya Gapero meminta agar pemerintah tidak mengubah kebijakan tarif cukai yang sudah ada. Saat ini memang belum ada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), namun Gapero tidak bisa menjamin serapan tenaga kerja jika cukai tembakau terlalu tinggi.
Gapero berharap jika pemerintah harus menaikkan cukai rokok 2021, kenaikannya jangan terlalu tinggi. “Ya naik moderatlah,” tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Bertentangan dengan UU Cipta Kerja
Anggota DPR Komisi XI Indah Kurnia meminta Kementerian Keuangan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 13-20 persen.
Ia mengaku telah menerima aspirasi para pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT), khususnya para pekerja di industri tersebut.
Menurutnya, persentase kenaikan tersembut terlampau tinggi, terlebih jika diterapkan di masa pandemi COVID-19. Hal ini akan menurunkan volume produksi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja.
“Tentunya hal ini bertentangan dengan semangat pemerintah meningkatkan lapangan pekerjaan, seperti yang tecermin melalui undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja,” ujarnya, Rabu (28/10/2020).
Padahal, kata Indah, saat ini terdapat kurang lebih 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri hasil tembakau.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa kondisi IHT tengah tertekan akibat kenaikan cukai yang tinggi sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen pada tahun ini. Volume IHT pun diperkirakan turun tajam hingga 20 persen.
Dia khawatir, jika IHT mendapat tekanan tambahan, seperti kenaikan cukai yang tinggi pada tahun depan, nantinya justru memperparah kinerja. Sebab, sektor ini turut berkontribusi bagi penerimaan negara, yakni kurang lebih 10 persen dari total APBN. Jika kinerja melemah, lanjut Indah, ini dapat berpengaruh pada penerimaan negara dari sektor cukai rokok.
Di samping itu, penurunan volume produksi IHT juga berimplikasi pada serapan tembakau dan cengkih. Jika hal ini terjadi, para petani tembakau dan cengkih akan merugi besar.
“Saya berharap pemerintah berpikir ulang jika menaikkan tarif cukai rokok pada 2021, khususnya segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya,” jelas Indah.
Adapun untuk segmen sigaret kretek mesin (SKM), dia menyarankan agar kenaikan cukai sebaiknya dilakukan di level moderat yang sesuai dengan laju inflasi.
Advertisement