Liputan6.com, Jakarta Secara umum ada dua metode persalinan yakni spontan (melalui vagina) dan sesar. Sejak adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, data menunjukkan peningkatan jumlah persalinan sesar di Indonesia. Dosen Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Sofia Al Farizi memaparkan penyebabnya dalam tulisannya di The Conversation berikut ini.
Advertisement
Persalinan melalui operasi sesar di Indonesia kini lebih populer dibanding sebelum pemerintah memberlakukan kebijakan asuransi sosial melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tingginya angka persalinan melalui pembedahan dinding perut ini bukan hanya meningkatkan beban BPJS Kesehatan, tapi juga bisa berdampak buruk pada kesehatan ibu jika dilakukan tanpa indikasi medis yang kuat.
Riset yang saya lakukan di empat rumah sakit rujukan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan ada kenaikan signifikan proporsi persalinan melalui operasi sesar sebelum dan setelah JKN diimplementasikan.
Sebelum JKN (2012-2013), sekitar 45 persen dari 4.435 persalinan di sana dilakukan lewat operasi sesar. Setelah implementasi JKN (2014-2016) proporsi ini meningkat signifikan di atas 10 persen, menjadi 53 persen dari 4.241 persalinan.
Yang mengkhawatirkan, proporsi kematian pada persalinan operasi sesar juga melonjak tinggi di sana.
Sebelum JKN, tindakan sesar menyumbang 50 persen (empat dari delapan kematian saat bersalin) dari keseluruhan kasus kematian ibu bersalin di empat rumah sakit rujukan di Banyuwangi.
Sedangkan, selama JKN, operasi sesar berkontribusi terhadap 60 persen (enam dari sepuluh kematian) dari keseluruhan kematian ibu bersalin. Memang, WHO menyatakan peningkatan persalinan sesar secara drastis tidak terbukti menurunkan kematian ibu maupun bayi yang dilahirkan.
Komplikasi obstetrik menjadi penyebab yang mendominasi kematian ibu pada tindakan persalinan sesar, seperti perdarahan pascapersalinan, rahim robek, kejang dalam kehamilan (preeklampsia/eklampsia) dan infeksi pascapersalinan.
Agar masalah ini tidak makin membesar, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan harus mengevaluasi standar operasi sesar dan meningkatkan pengawasan pelaksanaan standar tersebut.
Simak juga video berikut:
Bukan Hanya di Banyuwangi
Lebih dari 222 juta penduduk kini mengikuti program asuransi sosial yang dikelola BPJS Kesehatan ini sehingga JKN menjadi salah satu asuransi sosial terbesar di dunia.
Secara nasional, persalinan sesar sejak implementasi JKN cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada 2014, 52 persen dari 673.917 persalinan mendapatkan tindakan sesar. Operasi serupa, berturut-turut menjadi 55 persen tahun berikutnya, 57 persen pada 2016, dan pada 2017 naik jadi 59 persen dari sekitar 1,2 juta persalinan.
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) merekomendasikan bahwa persalinan sesar hanya 10-15 persen dari seluruh total persalinan.
Di tengah BPJS Kesehatan yang selalu defisit setiap tahun, klaim pembayaran persalinan sesar merupakan salah satu pelayanan yang menyedot anggaran terbesar dari 2014 sampai 2018. Pada 2018 saja, persalinan sesar menghabiskan biaya Rp 4,7 triliun.
Sedangkan biaya total untuk persalinan normal hanya Rp 1,2 triliun. Klaim pembayaran tindakan sesar menempati urutan pertama dalam INA-CBG (aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim).
Di level rumah sakit, sejumlah riset menunjukkan lonjakan operasi sesar tidak hanya terjadi di Banyuwangi tapi juga di daerah lain seperti Yogyakarta, Semarang, dan Manado.
Secara administratif, peningkatan tindakan sesar menjadi sebuah bukti bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan sudah berjalan lebih baik. Namun, jika peningkatan pemanfaatan pelayanan ini tidak disertai kualitas pelayanan yang baik, maka akan menimbulkan dampak yang buruk pada kesehatan ibu.
Advertisement
Mengapa Melonjak Drastis?
Dalam riset di Banyuwangi, terungkap ada beberapa penyebab melonjaknya operasi sesar dan kasus kematian ibu terkait persalinan.
Pertama, keterlambatan rujukan. Kurangnya deteksi dini oleh bidan wilayah menyebabkan komplikasi kehamilan tidak diketahui sejak dini, sehingga rujukan berencana tidak dapat dilakukan.
Penyebab lain keterlambatan rujukan adalah permasalahan komunikasi antara puskesmas dan bidan praktik mandiri mengenai indikasi rujukan. Kondisi ibu yang sudah dalam komplikasi adalah dampak dari keterlambatan rujukan. Parahnya komplikasi menjadi indikasi untuk dilakukan tindakan persalinan sesar.
Kedua, banyaknya riwayat persalinan sesar yang menjadi bom waktu pada persalinan berikutnya. Jika persalinan anak pertama lewat sesar, maka persalinan anak kedua dan seterusnya kemungkinan besar juga lewat sesar karena ibu memiliki indikasi untuk disesar. Dampaknya, metode persalinan ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tren serupa juga terjadi di sebuah rumah sakit di Aceh.
Ketiga, ada indikasi kecurangan pada fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan. Tidak sesuainya tarif yang ditetapkan dalam INA-CBGs dengan biaya riil menjadi indikasi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan diduga berbuat curang.
Rumah sakit mengeluhkan beberapa peraturan yang dibuat oleh BPJS Kesehatan. Misalnya, rumah sakit menghindari tindakan induksi persalinan untuk persalinan normal dan sebaliknya mendorong ibu untuk bersalin dengan metode persalinan sesar. Sebab, rumah sakit tidak mendapatkan penggantian biaya dari BPJS Kesehatan pada tindakan induksi yang diberikan kepada ibu yang ujungnya dilakukan tindakan sesar.
Padahal, rumah sakit sudah mengeluarkan biaya untuk tindakan induksi. Secara teknis, persalinan sesar cenderung dipilih oleh dokter karena waktunya lebih pasti dibanding persalinan normal yang butuh waktu lebih lama untuk mengobservasi.
Dalam praktiknya, pembayaran uang jasa untuk dokter saat menginduksi untuk persalinan normal lebih kecil dibandingkan dengan persalinan sesar. Apalagi, jika kondisinya ibu yang sejak awal direncanakan melahirkan normal dan ujungya bersalin dengan sesar, maka dokter tidak mendapatkan pembayaran jasa saat melakukan observasi persalinan normal.
Jadi secara ekonomi, bagi dokter persalinan sesar lebih menguntungkan dibanding persalinan normal.
Karena itu, Kementerian Kesehatan perlu mengevaluasi tentang sistem reimbursement bagi fasilitas kesehatan dan fee yang diberikan kepada tenaga kesehatan dalam sebuah sistem jaminan kesehatan. Sebab, permasalahan pendanaan memang menjadi indikasi terjadinya pemilihan tindakan yang merugikan pasien dan perilaku tenaga kesehatan yang berpotensi menabrak kode etik.
Dampak Ledakan Persalinan Sesar
Dalam konteks asuransi kesehatan, peningkatan persalinan sesar memang menjadi sebuah gambaran bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan semakin baik. Namun, pemanfaatan ini akan memberikan dampak buruk kepada ibu jika dilakukan tanpa indikasi medis.
WHO menyatakan operasi sesar dapat memberikan dampak positif kepada ibu dan bayi, selama tindakan ini dilakukan dengan indikasi medis. Hal itu seperti ari-ari menutupi jalan lahir, kelainan letak, janin besar, janin dalam posisi sungsang, denyut jantung janin melemah saat proses kelahiran, panggul sempit, dan lainnya.
Sebaliknya, persalinan sesar dapat memberikan dampak komplikasi, kecacatan sampai dengan kematian jika dilakukan tanpa indikasi medis. Diagnosis maupun tindakan yang tidak tepat pada proses pelayanan kebidanan akan menurunkan kualitas pelayanan, dan dampaknya akan meningkatkan risiko kematian ibu.
Sebuah riset di Belanda berkesimpulan persalinan sesar tidak selamanya memberikan dampak positif kepada ibu karena dapat meningkatkan risiko kematian ibu tiga kali lebih besar dibandingkan persalinan normal. Tindakan ini juga dapat menambah risiko infeksi pascapersalinan. Riset lain menyebutkan operasi sesar dapat meningkatkan risiko kematian pasca persalinan akibat perdarahan).
Beban psikologis juga akan dirasakan ibu ketika mereka dalam proses adaptasi setelah operasi sesar, khususnya pada operasi sesar darurat. Ibu akan mengalami trauma, kecemasan, sampai dengan kendala dalam memberikan air susu eksklusif kepada bayinya.
BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan perlu kembali mengevaluasi tentang parameter yang lebih jelas mengenai indikasi untuk pengambilan tindakan persalinan sesar.
Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menjadi peluang untuk terjadinya kecurangan di kalangan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Kecurangan ini bukan hanya menjebol anggaran BPJS Kesehatan, tapi juga berpotensi membahayakan nyawa ibu jika operasi sesar dilakukan tanda adanya indikasi yang memadai.
Advertisement